"Dalam kasus BTN lebih banyak kepada aspek tidak memenuhi penetapan kolektibilitas kredit restrukturisas atau kredit macet yang direstrukturisasi tidak sesuai ketentuan," kata Lubis, kepada wartawan, di Jakarta, Minggu.
Lebih jauh dia menjelaskan, ketidakberesan laporan keuangan BTN dilakukan dengan merestrukturisasi kredit macet kolektibilitas 5 menjadi lancar.
"Padahal khan harusnya melewati kolektibilitas 4 atau 3 terlebih dahulu, atau masuk kolektibilitas diragukan atau kurang lancar dulu," tuturnya.
Dia mengatakan, sampai saat ini BTN masih terus membenahi laporan keuangannya dan juga terus diawasi OJK. Ke depan, lanjutnya, apabila BTN akan melakukan restrukturisasi kredit macet alias non performing loan (NPL) harus memperoleh izin dari pimpinan regulator terkait.
"BI sudah mengambil tindakan tegas waktu itu, makanya direksi tidak lolos fit and proper test lagi waktu mau perpanjang. Dan kami di OJK meneruskan dan memastikan pengawasan itu," katanya.
Berdasarkan laporan keuangan BTN 2013, rasio kredit bermasalah netto bank tersebut mencapai 3,04 persen dan NPL gross sebesar 4,05 persen, tertinggi di antara tiga bank BUMN lainnya, yakni NPL Bank Mandiri (0,58 persen), BNI (0,5 persen), dan BRI (0,34 persen).
Nilai kredit macet BTN juga terus membesar setiap tahun. Sejak 2009-2013, kredit macet yang masuk kolektibilitas 5 naik dari hanya Rp 1,06 triliun (2009) menjadi Rp 3,15 triliun (2013).
Terus naiknya nilai kredit macet di BTN menimbulkan kecurigaan bahwa beberapa pengembang, yang selama ini menolak ide akuisisi, justru merupakan pihak yang membuat kualitas kredit bank tersebut memburuk.
Sementara itu, ketika diminta tanggapannya terkait rencana akuisisi BTN oleh Mandiri, Irwan mengaku mendukung aksi korporasi tersebut.
"Kalau akuisisi itu berdampak baik bagi kedua entitas tersebut, kenapa tidak? Yang penting dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku," ujarnya.