"Kearifan lokal berupa kejujuran harus dimiliki masyarakat, termasuk setiap penegak hukum agar tidak terjerumus dalam praktik-praktik curang," kata Busyro dalam Sarasehan Budaya Melestarikan Kearifan Lokal di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Sabtu malam.
Ia mengatakan mata rantai korupsi di Indonesia akan sulit terputus apabila para pemimpin hingga masyarakatnya mengesampingkan nilai-nilai kearifan lokal.
Menurut dosen tetap Fakultas Hukum UII itu, pembentukan karakter berlandaskan kearifan lokal seharusnya sudah tertanam sejak pendidikan di dalam keluarga.
"Hendaknya mulai dalam keluarga-keluaraga kecil sudah menanamkan kearifan lokal berupa nilai-nilai kejujuran, dan tidak lengah terhadap uang," katanya, dengan mencontohkan sosok mantan Rektor UII Kahar Mudzakkir, sebagai tokoh yang tidak lengah dengan uang.
Ia mengatakan kearifan itu tidak serta merta melekat dalam diri kalangan terdidik, melainkan harus melekat dalam diri masyarakat sejak dini.
"Selain kami temukan banyak bupati yang memperjualbelikan Izin Usaha Perkebunan (IUP) bernilai jutaan rupiah, ada juga guru besar yang memiliki gaji ratusan juta rupiah, namun tetap merasa kurang lantas terjerumus korupsi," katanya dalam sarasehan yang juga menghadirkan budayawan Emha Ainun Najib itu.
Mengenai hal tersebut, ia mengatakan baru-baru ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara intensif melakukan studi mengenai korelasi kearifan lokal dengan berbagai tindakan korupsi di Indonesia.
"Saat ini kami mengajak untuk membangkitkan budaya antikorupsi dalam rumah tangga. Kami juga telah mengundang budayawan serta pakar antropologi untuk itu," katanya.
Sementara itu, Emha Ainun Najib mengatakan kearifan lokal tidak selalu tergambar dalam simbol fisik semata.
"Bukan hanya tergambar dengan blangkon atau peci. Kearifan lokal seharusnya telah terimplementasikan dalam diri manusia secara substansial," kata budayawan yang sering disapa Cak Nun ini.
(KR-LQH/M008)