Akademisi: subak miliki keterikatan empat dimensi
2 Mei 2014 17:57 WIB
Sawah di Jatiluwih, Tabanan, Bali. Sawah seluas 303 ha di Kabupaten Tabanan itu kini diproteksi dari alih fungsi lahan sekaligus dikelola menjadi obyek wisata setelah diakuinya Subak oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia (WBD). (arsip/FOTO ANTARA/Nyoman Budhiana)
Denpasar (ANTARA News) - Organisasi pengairan tradisional bidang pertanian yang diwarisi secara turun-temurun di Bali merupakan keterikatan empat dimensi, kata Guru Besar Universitas Udayana Wayan Windia di Denpasar, Jumat.
Profesor Dr. Windia menyebutkan keempat dimensi yang mempunyai keterikatan petani dengan subak itu, yakni parhyangan (tempat suci Pura Ulun Suwi), pawongan (anggota subak), palemahan (wilayah subak), dan emosional (semangat kerja).
Windia yang juga Ketua Pusat Penelitian Subak Unud mengatakan bahwa keempat dimensi satu sama lain saling terikat menjadi kekuatan subak yang mampu menembus lintas wilayah, lintas sektor, dan lintas generasi.
Hal itu, lanjut dia, telah tumbuh sebagai harapan keunggulan dari kearifan lokal Bali untuk mampu menghadapi perubahan akibat pengaruh modernisasi dan globalisasi.
Masyarakat, kata Prof. Windia, menoleh kembali potensi kearifan lokal yang dibangun melalui kedalaman mitologi dalam sinergi nilai-nilai luhur kebudayaan, seperti religius, harmoni, kebersamaan, dan keseimbangan yang dinamik memperoleh roh dan basis modal spiritualitas.
Profesor Dr. Windia menyebutkan keempat dimensi yang mempunyai keterikatan petani dengan subak itu, yakni parhyangan (tempat suci Pura Ulun Suwi), pawongan (anggota subak), palemahan (wilayah subak), dan emosional (semangat kerja).
Windia yang juga Ketua Pusat Penelitian Subak Unud mengatakan bahwa keempat dimensi satu sama lain saling terikat menjadi kekuatan subak yang mampu menembus lintas wilayah, lintas sektor, dan lintas generasi.
Hal itu, lanjut dia, telah tumbuh sebagai harapan keunggulan dari kearifan lokal Bali untuk mampu menghadapi perubahan akibat pengaruh modernisasi dan globalisasi.
Masyarakat, kata Prof. Windia, menoleh kembali potensi kearifan lokal yang dibangun melalui kedalaman mitologi dalam sinergi nilai-nilai luhur kebudayaan, seperti religius, harmoni, kebersamaan, dan keseimbangan yang dinamik memperoleh roh dan basis modal spiritualitas.
Pewarta: I K. Sutika
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014
Tags: