Rakyat Irak harapkan masa depan lebih baik lewat pemilu
1 Mei 2014 11:51 WIB
Perdana Menteri Irak Nuri al-Maliki menunjukkan tinta pada jarinya setelah ia menggunakan hak suaranya dalam pemilu parlemen di Baghdad, Irak, Rabu (30/4). Rakyat Irak menggunakan hak pilih mereka dalam pemilihan umum nasional mereka yang pertama sejak pasukan AS ditarik dari Irak di tahun 2011, sementara Perdana Menteri Nuri al-Maliki berupaya untuk kembali menjabat untuk ketiga kalinya di tengah meningkatnya kekerasan. (REUTERS/Ahmed Jadallah)
Baghdad (ANTARA News) - Bagi Ahmad Ahmed, remaja yang berusia 18 tahun, Rabu menjadi awal baginya sebagai pemilih pemula dan untuk Irak saat negara itu keluar dari kerusuhan selama bertahun-tahun yang telah menewaskan atau membuat cacat ratusan ribu orang.
Ahmed termasuk di antara 21 juta orang yang berhak memberi suara di lebih dari 8.000 tempat pemungutan suara dalam pemilihan pertama anggota parlemen sejak penarikan tentara AS pada akhir 2011.
Mahasiswa itu tiba di satu tempat pemungutan suara di dekat Hotel Al-Mansour di pusat kota Baghdad, Ibu Kota Irak, bersama ayahnya, Raikay Ahmad (33), ibunya --Shatua Sharrb (43)-- dan adik perempuannya, yang masih bayi.
"Saya memberi suara buat negara saya," kata Ahmed muda, sebagaimana dikutip Xinhua. "Sebagai mahasiswa, saya berharap pemerintah baru dapat menawarkan lebih banyak sumber daya bagi sektor pendidikan di negeri kami. Pendidikan sangat penting."
Persis seperti putranya, Ahmed tua juga memberi suara buat mantan perdana menteri Ayad Allawi. "Kami memerlukan perubahan dan saya kira ia dapat membawa perubahan dan membangun Irak jadi negara yang lebih baik."
Namun sang ibu memiliki pilihan yang berbeda.
"Saya memberi suara buat seorang perempuan calon, sebab ia memusatkan perhatian pada hak asasi perempuan dan ia berjanji akan membawa perubahan bagi kehidupan kami," kata Shatua Sharrb.
Hukum Pemilihan Umum Irak mengharuskan semua blok yang ikut dalam proses demokrasi agar memiliki minimal satu perempuan calon untuk setiap tiga pria calon, yang berarti sedikitnya 25 persen calon harus lah perempuan.
Keluarga Ahmed adalah pemeluk paham Sunni, tapi mereka semua memberi suara buat calon dari kubu Syiah.
"Keluarga kami telah sepakat untuk melandaskan pilihan kami bukan pada latar belakang agama tapi pada blok mana yang memiliki kemampuan dan tekad untuk membangun Irak yang lebih baik," kata Shatua Sharrb. "Kami semua orang Irak. Kami mesti meninggalkan perbedaan dan membentuk negara buat semua orang Irak."
Tapi tak semua orang Irak datang ke tempat pemungutan suara seperti keluarga Ahmed.
Iqbal Abaas (55), ibu lima anak, misalnya, dengan susah payah hanya mampu meyakinkan seorang anaknya yang telah besar agar memberi suara.
"Memberi suara adalah cara terbaik bagi saat ini untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi negara saya," kata Iqbal Abaas. "Kami berharap pemilihan umum bisa meningkatkan keamanan dan layanan masyarakat.
Putri Iqbal Abaas, Raiha (25), mengatakan ia menghormati keputusan dua saudaranya untuk tidak mendatangi tempat pemungutan suara. Tapi ia sendiri tetap percaya pemilihan umum tentu saja akan membawa perubahan bagi Irak.
Di bawah kekerasan tanpa henti oleh gerilyawan, rakyat Irak masih menderita akibat pertumpahan darah, kurangnya layanan masyarakat dan pemerintah yang lemah setelah dua kali empat-tahun masa jabatan Perdana Menteri Nuri Al-Maliki.
Prasarana di negeri itu, terutama pasokan listrik, layanan kesehatan dan pendidikan, masih berjuang menyediakan layanan minimum buat rakyat Irak.
Pemilihan umum pada Rabu (30/4) dimulai di tengah berkobarnya bentrokan sektarian. Pada Rabu pagi, jumlah korban jiwa akibat serangan yang ditujukan ke tempat pemungutan suara di seluruh Irak sudah mencapai 10 sementara 22 orang lagi cedera.
Serangan yang berkaitan dengan pemilihan umum dalam beberapa hari belakangan saja telah menewaskan dan melukai ratusan orang.
"Saya kira situasi keamanan yang memburuk adalah masalah terbesar yang dihadapi Irak. Saya berharap itu dapat diselesaikan secepatnya setelah pemerintah baru terbentuk," kata Raikay Ahmed.
"Apa pun pilihan kami, kami semua memberi suara buat Irak, buat masa depan yang lebih baik," kata Raikay Ahmed. "Saya berharap pemilihan umum dapat mengakhiri kerusuhan dan membawa kestabilan serta perdamaian sejati ke negara saya."
(C003)
Ahmed termasuk di antara 21 juta orang yang berhak memberi suara di lebih dari 8.000 tempat pemungutan suara dalam pemilihan pertama anggota parlemen sejak penarikan tentara AS pada akhir 2011.
Mahasiswa itu tiba di satu tempat pemungutan suara di dekat Hotel Al-Mansour di pusat kota Baghdad, Ibu Kota Irak, bersama ayahnya, Raikay Ahmad (33), ibunya --Shatua Sharrb (43)-- dan adik perempuannya, yang masih bayi.
"Saya memberi suara buat negara saya," kata Ahmed muda, sebagaimana dikutip Xinhua. "Sebagai mahasiswa, saya berharap pemerintah baru dapat menawarkan lebih banyak sumber daya bagi sektor pendidikan di negeri kami. Pendidikan sangat penting."
Persis seperti putranya, Ahmed tua juga memberi suara buat mantan perdana menteri Ayad Allawi. "Kami memerlukan perubahan dan saya kira ia dapat membawa perubahan dan membangun Irak jadi negara yang lebih baik."
Namun sang ibu memiliki pilihan yang berbeda.
"Saya memberi suara buat seorang perempuan calon, sebab ia memusatkan perhatian pada hak asasi perempuan dan ia berjanji akan membawa perubahan bagi kehidupan kami," kata Shatua Sharrb.
Hukum Pemilihan Umum Irak mengharuskan semua blok yang ikut dalam proses demokrasi agar memiliki minimal satu perempuan calon untuk setiap tiga pria calon, yang berarti sedikitnya 25 persen calon harus lah perempuan.
Keluarga Ahmed adalah pemeluk paham Sunni, tapi mereka semua memberi suara buat calon dari kubu Syiah.
"Keluarga kami telah sepakat untuk melandaskan pilihan kami bukan pada latar belakang agama tapi pada blok mana yang memiliki kemampuan dan tekad untuk membangun Irak yang lebih baik," kata Shatua Sharrb. "Kami semua orang Irak. Kami mesti meninggalkan perbedaan dan membentuk negara buat semua orang Irak."
Tapi tak semua orang Irak datang ke tempat pemungutan suara seperti keluarga Ahmed.
Iqbal Abaas (55), ibu lima anak, misalnya, dengan susah payah hanya mampu meyakinkan seorang anaknya yang telah besar agar memberi suara.
"Memberi suara adalah cara terbaik bagi saat ini untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi negara saya," kata Iqbal Abaas. "Kami berharap pemilihan umum bisa meningkatkan keamanan dan layanan masyarakat.
Putri Iqbal Abaas, Raiha (25), mengatakan ia menghormati keputusan dua saudaranya untuk tidak mendatangi tempat pemungutan suara. Tapi ia sendiri tetap percaya pemilihan umum tentu saja akan membawa perubahan bagi Irak.
Di bawah kekerasan tanpa henti oleh gerilyawan, rakyat Irak masih menderita akibat pertumpahan darah, kurangnya layanan masyarakat dan pemerintah yang lemah setelah dua kali empat-tahun masa jabatan Perdana Menteri Nuri Al-Maliki.
Prasarana di negeri itu, terutama pasokan listrik, layanan kesehatan dan pendidikan, masih berjuang menyediakan layanan minimum buat rakyat Irak.
Pemilihan umum pada Rabu (30/4) dimulai di tengah berkobarnya bentrokan sektarian. Pada Rabu pagi, jumlah korban jiwa akibat serangan yang ditujukan ke tempat pemungutan suara di seluruh Irak sudah mencapai 10 sementara 22 orang lagi cedera.
Serangan yang berkaitan dengan pemilihan umum dalam beberapa hari belakangan saja telah menewaskan dan melukai ratusan orang.
"Saya kira situasi keamanan yang memburuk adalah masalah terbesar yang dihadapi Irak. Saya berharap itu dapat diselesaikan secepatnya setelah pemerintah baru terbentuk," kata Raikay Ahmed.
"Apa pun pilihan kami, kami semua memberi suara buat Irak, buat masa depan yang lebih baik," kata Raikay Ahmed. "Saya berharap pemilihan umum dapat mengakhiri kerusuhan dan membawa kestabilan serta perdamaian sejati ke negara saya."
(C003)
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2014
Tags: