BI ingatkan pembengkakan subsidi BBM sumber defisit fiskal
1 Mei 2014 02:39 WIB
Sejumlah kendaraan memasuki area pengisian bahan bakar minyak (BBM) di SPBU Pertamina, Kuningan, Jakarta, Jumat (3/1). Badan Pusat Statistik melaporkan inflasi tahun 2013 sebesar 8,38 persen atau jauh di atas target pemerintah pada APBN Perubahan 2013 yang dipatok sebesar 7,2 persen, dimana penyebab utamanya adalah kenaikan harga BBM premium menjadi Rp6.500 per liter dan solar Rp5.500 per liter. (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf) ()
Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia (BI) mengingatkan adanya risiko domestik berupa pembengkakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang akan mendorong pelebaran defisit fiskal sehingga dapat mengganggu perekonomian nasional.
"Dari sisi domestik, pembengkakan subsidi BBM diperkirakan akan kembali menjadi sumber risiko utama melebarnya defisit fiskal," kata Gubernur BI Agus Martowardojo ketika memberi arahan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) di Jakarta, Rabu (30/4).
Gubernur BI menyebutkan, saat ini perekonomian Indonesia terus bergerak menuju ke arah yang seharusnya di mana tekanan inflasi terus menurun, disertai dengan pergeseran struktur perekonomian ke arah yang lebih sehat.
Namun, lanjut Gubernur BI, Indonesia harus tetap waspada karena tahun 2014 masih terdapat beberapa risiko yang perlu menjadi perhatian, baik yang bersumber dari sisi eksternal maupun domestik.
"Dari sisi eksternal terdapat risiko bahwa berbagai permasalahan ekonomi global yang terjadi di tahun 2013 masih akan berlanjut. Risiko ekternal ini dapat kembali mengancam kestabilan nilai tukar Rupiah," katanya.
Menurut dia, dari sisi domestik, selain pembengkakan subsidi BBM, juga ada risiko lain seperti potensi El-Nino yang diperkirakan akan mulai terjadi pada bulan Mei menimbulkan risiko kerusakan lahan dan penurunan produksi pangan.
"Risiko-risiko domestik ini dapat berdampak negatif terhadap stabilitas nilai tukar dan inflasi," katanya.
Selain faktor-faktor risiko tersebut, pengendalian laju inflasi juga dihadapkan pada permasalahan struktural di sisi produksi dan distribusi, seperti terbatasnya produksi pangan akibat rendahnya laju penambahan lahan persawahan yang dalam lima tahun terakhir hanya tumbuh kurang dari satu per tahun, tingginya ketergantungan terhadap energi berbasis minyak sehingga impor minyak terus meningkat mencapai 47 persen dari total konsumsi BBM nasional.
Selain itu ada hambatan distribusi dan dukungan infrastruktur yang belum optimal terutama di Kawasan Timur Indonesia, dan struktur pasar yang kurang efisien, terutama di wilayah Jawa sebagai sentra produksi dan industri makanan, serta masih lemahnya konektivitas antardaerah. "Berbagai permasalahan tersebut pada akhirnya mengakibatkan disparitas harga antar daerah," katanya.
Gubernur BI menyebutkan pengendalian laju inflasi pada tingkat yang rendah dan stabil memainkan peranan yang sangat vital dalam upaya menjaga tingkat daya beli masyarakat, mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menurut dia, laju inflasi yang rendah juga penting dalam mendorong peningkatan daya saing dalam menghadapi integrasi pasar ASEAN tahun 2015.
"Kita tidak dapat bersaing dari sisi harga karena laju inflasi kita masih jauh lebih tinggi daripada negara negara ASEAN lain. Kita juga tidak dapat bersaing dari sisi suku bunga, yang saat ini juga masih jauh lebih tinggi daripada negara-negara ASEAN lain, karena suku bunga yang rendah hanya dapat diperoleh jika laju inflasi kita juga rendah," katanya.
Gubernur BI menyebut Indonesia perlu melirik keberhasilan yang dilakukan Filipina yang memilih untuk meniadakan subsidi BBM, sehingga laju inflasinya dapat dikendalikan pada tingkat yang rendah dan stabil, dan memungkinkan bank sentral negara tersebut menjaga suku bunga pada tingkat yang cukup rendah.
Pemerintah memperkirakan anggaran subsidi BBM tahun 2014 akan membengkak sekitar Rp30 triliun menjadi Rp240 triliun dari pagu anggaran yang ditetapkan sebesar Rp210,7 triliun. (A039/Z002)
"Dari sisi domestik, pembengkakan subsidi BBM diperkirakan akan kembali menjadi sumber risiko utama melebarnya defisit fiskal," kata Gubernur BI Agus Martowardojo ketika memberi arahan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) di Jakarta, Rabu (30/4).
Gubernur BI menyebutkan, saat ini perekonomian Indonesia terus bergerak menuju ke arah yang seharusnya di mana tekanan inflasi terus menurun, disertai dengan pergeseran struktur perekonomian ke arah yang lebih sehat.
Namun, lanjut Gubernur BI, Indonesia harus tetap waspada karena tahun 2014 masih terdapat beberapa risiko yang perlu menjadi perhatian, baik yang bersumber dari sisi eksternal maupun domestik.
"Dari sisi eksternal terdapat risiko bahwa berbagai permasalahan ekonomi global yang terjadi di tahun 2013 masih akan berlanjut. Risiko ekternal ini dapat kembali mengancam kestabilan nilai tukar Rupiah," katanya.
Menurut dia, dari sisi domestik, selain pembengkakan subsidi BBM, juga ada risiko lain seperti potensi El-Nino yang diperkirakan akan mulai terjadi pada bulan Mei menimbulkan risiko kerusakan lahan dan penurunan produksi pangan.
"Risiko-risiko domestik ini dapat berdampak negatif terhadap stabilitas nilai tukar dan inflasi," katanya.
Selain faktor-faktor risiko tersebut, pengendalian laju inflasi juga dihadapkan pada permasalahan struktural di sisi produksi dan distribusi, seperti terbatasnya produksi pangan akibat rendahnya laju penambahan lahan persawahan yang dalam lima tahun terakhir hanya tumbuh kurang dari satu per tahun, tingginya ketergantungan terhadap energi berbasis minyak sehingga impor minyak terus meningkat mencapai 47 persen dari total konsumsi BBM nasional.
Selain itu ada hambatan distribusi dan dukungan infrastruktur yang belum optimal terutama di Kawasan Timur Indonesia, dan struktur pasar yang kurang efisien, terutama di wilayah Jawa sebagai sentra produksi dan industri makanan, serta masih lemahnya konektivitas antardaerah. "Berbagai permasalahan tersebut pada akhirnya mengakibatkan disparitas harga antar daerah," katanya.
Gubernur BI menyebutkan pengendalian laju inflasi pada tingkat yang rendah dan stabil memainkan peranan yang sangat vital dalam upaya menjaga tingkat daya beli masyarakat, mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menurut dia, laju inflasi yang rendah juga penting dalam mendorong peningkatan daya saing dalam menghadapi integrasi pasar ASEAN tahun 2015.
"Kita tidak dapat bersaing dari sisi harga karena laju inflasi kita masih jauh lebih tinggi daripada negara negara ASEAN lain. Kita juga tidak dapat bersaing dari sisi suku bunga, yang saat ini juga masih jauh lebih tinggi daripada negara-negara ASEAN lain, karena suku bunga yang rendah hanya dapat diperoleh jika laju inflasi kita juga rendah," katanya.
Gubernur BI menyebut Indonesia perlu melirik keberhasilan yang dilakukan Filipina yang memilih untuk meniadakan subsidi BBM, sehingga laju inflasinya dapat dikendalikan pada tingkat yang rendah dan stabil, dan memungkinkan bank sentral negara tersebut menjaga suku bunga pada tingkat yang cukup rendah.
Pemerintah memperkirakan anggaran subsidi BBM tahun 2014 akan membengkak sekitar Rp30 triliun menjadi Rp240 triliun dari pagu anggaran yang ditetapkan sebesar Rp210,7 triliun. (A039/Z002)
Pewarta: Agus Salim
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014
Tags: