Hakim Ketua dalami dana keluar PT RBT terkait kasus korupsi timah
9 September 2024 15:41 WIB
Suasana persidangan kasus korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk. pada tahun 2015–2022 di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (9/9/2024). ANTARA/Putu Indah Savitri
Jakarta (ANTARA) - Hakim Ketua Pengadilan Tipikor yang bertugas dalam perkara Harvey Moeis, Eko Ariyanto, mendalami dana keluar PT Refined Bangka Tin (RBT), khususnya terkait dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan, dalam kasus korupsi timah.
“Pasti perusahaan punya CSR (corporate social responsibility/tanggung jawab sosial dan lingkungan). CSR-nya berupa apa? Besarnya tiap tahun berapa?” ujar Eko Ariyanto kepada Manajer Keuangan PT Refined Bangka Tin (RBT) Ayu Lestari Yusman yang menjadi saksi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin.
Atas pertanyaan tersebut, Ayu pun mengungkapkan bahwasanya PT RBT mencadangkan dana CSR dengan jumlah yang variatif setiap tahunnya.
Ayu menjelaskan bahwa angka tersebut bersifat variatif dikarenakan pencadangan dilakukan berdasarkan permintaan. Adapun kisaran dana CSR yang dicadangkan berkisar Rp1 miliar hingga Rp3 miliar.
“Untuk kegiatan apa itu?” tanya Eko.
“Yang saya ingat, kegiatan Idul Adha, untuk kurban, terus ada sumbangan sembako,” ucap Ayu.
Ayu bersaksi dalam kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah pada tahun 2015–2022.
Kasus tersebut menyeret tiga perwakilan PT RBT sebagai terdakwa, yakni Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT RBT, Suparta selaku Direktur Utama PT RBT, dan Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT.
Harvey didakwa menerima uang Rp420 miliar bersama Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) Helena Lim, sementara Suparta didakwa menerima aliran dana sebesar Rp4,57 triliun dari kasus yang merugikan keuangan negara Rp300 triliun itu.
Keduanya juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari dana yang diterima. Dengan demikian, Harvey dan Suparta terancam pidana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sementara itu, Reza tidak menerima aliran dana dari kasus dugaan korupsi tersebut. Namun karena terlibat serta mengetahui dan menyetujui semua perbuatan korupsi itu, Reza didakwakan pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Baca juga: Manajer Keuangan PT RBT akui kirim puluhan juta ke Harvey Moeis
Baca juga: Kejagung ungkap Tetian Wahyudi masuk DPO kasus korupsi timah
Baca juga: Dua petinggi smelter didakwa terima Rp4,1 triliun di kasus timah
“Pasti perusahaan punya CSR (corporate social responsibility/tanggung jawab sosial dan lingkungan). CSR-nya berupa apa? Besarnya tiap tahun berapa?” ujar Eko Ariyanto kepada Manajer Keuangan PT Refined Bangka Tin (RBT) Ayu Lestari Yusman yang menjadi saksi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin.
Atas pertanyaan tersebut, Ayu pun mengungkapkan bahwasanya PT RBT mencadangkan dana CSR dengan jumlah yang variatif setiap tahunnya.
Ayu menjelaskan bahwa angka tersebut bersifat variatif dikarenakan pencadangan dilakukan berdasarkan permintaan. Adapun kisaran dana CSR yang dicadangkan berkisar Rp1 miliar hingga Rp3 miliar.
“Untuk kegiatan apa itu?” tanya Eko.
“Yang saya ingat, kegiatan Idul Adha, untuk kurban, terus ada sumbangan sembako,” ucap Ayu.
Ayu bersaksi dalam kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah pada tahun 2015–2022.
Kasus tersebut menyeret tiga perwakilan PT RBT sebagai terdakwa, yakni Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT RBT, Suparta selaku Direktur Utama PT RBT, dan Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT.
Harvey didakwa menerima uang Rp420 miliar bersama Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) Helena Lim, sementara Suparta didakwa menerima aliran dana sebesar Rp4,57 triliun dari kasus yang merugikan keuangan negara Rp300 triliun itu.
Keduanya juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari dana yang diterima. Dengan demikian, Harvey dan Suparta terancam pidana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sementara itu, Reza tidak menerima aliran dana dari kasus dugaan korupsi tersebut. Namun karena terlibat serta mengetahui dan menyetujui semua perbuatan korupsi itu, Reza didakwakan pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Baca juga: Manajer Keuangan PT RBT akui kirim puluhan juta ke Harvey Moeis
Baca juga: Kejagung ungkap Tetian Wahyudi masuk DPO kasus korupsi timah
Baca juga: Dua petinggi smelter didakwa terima Rp4,1 triliun di kasus timah
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024
Tags: