CDC Afrika peringatkan kenaikan jumlah kasus mpox
8 September 2024 16:26 WIB
Pada tanggal 31 Agustus 2024, pasien dan keluarganya sedang menunggu pengobatan di pusat pengobatan cacar monyet di pinggiran Bukavu, ibu kota Provinsi Kivu Selatan di Kongo timur. ANTARA/Xinhua/Alan Uyakani.
Kinshasa/Adis Ababa (ANTARA) - Afrika sedang mengalami "tren kenaikan" dalam jumlah kasus mpox, kata Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention/CDC) Afrika memperingatkan pada Jumat (6/9), saat badan itu melakukan peluncuran respons kontinental gabungan dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Rencana enam bulan itu, yang berlangsung mulai September 2024 hingga Februari 2025, memiliki estimasi anggaran sebesar hampir 600 juta dolar AS (1 dolar AS = Rp15.410). Sebanyak 55 persen dari anggaran tersebut dialokasikan untuk upaya respons mpox di sejumlah negara yang terdampak, sementara 45 persen sisanya ditujukan untuk dukungan operasional dan teknis melalui beberapa organisasi mitra.
Sejak 2024, benua Afrika melaporkan 24.851 kasus suspek mpox, termasuk 5.549 kasus terkonfirmasi dan 643 kasus kematian, kata Direktur Jenderal CDC Afrika Jean Kaseya dalam sebuah konferensi pers daring.
Republik Demokratik (RD) Kongo menjadi pusat wabah tersebut, melaporkan 90 persen dari seluruh kasus yang tercatat. RD Kongo melaporkan 20.463 kasus suspek mpox, termasuk 635 kematian.
Menurut Kaseya, terdapat "tren kenaikan" dalam jumlah kasus mpox di seluruh Afrika, dengan sedikitnya 14 negara terdampak, khususnya sejak Mei 2024.
Direktur Regional WHO untuk Afrika Matshidiso Moeti, yang juga menghadiri konferensi pers tersebut, menyerukan upaya gabungan demi meredam wabah di RD Kongo. Moeti menekankan pentingnya koordinasi di bawah rencana respons kontinental gabungan CDC Afrika-WHO
"Ini merupakan tonggak penting untuk aksi terkoordinasi antara badan-badan kita guna mendukung negara-negara dengan memperkuat keahlian, memobilisasi sumber daya, dan menghentikan penyebaran mpox dengan cepat," kata Moeti. "Dengan bekerja sama, kita dapat mencapai lebih banyak hal, memastikan komunitas dan individu terlindungi dari virus ini."
Pada pertengahan Agustus, WHO menyatakan wabah mpox yang sedang berlangsung di Afrika sebagai darurat kesehatan publik yang menjadi kekhawatiran internasional. Badan kesehatan itu menyebut munculnya clade 1b, varian yang lebih berbahaya namun kurang dipahami dengan baik, yang pertama kali terdeteksi di RD Kongo pada September 2023. Sejak saat itu, kasus galur clade 1b telah dilaporkan di beberapa negara, termasuk Swedia dan Thailand.
Pada Rabu (4/9), Guinea mengonfirmasi kasus mpox pertamanya. Kaseya mencatat bahwa tes pengurutan genetik sedang dilakukan untuk menetapkan apakah varian clade 1b telah menyebar ke Afrika Barat.
RD Kongo, yang menerima batch pertama 99.100 dosis vaksin mpox pada Kamis (5/9), sedang mengembangkan strategi distribusi dan vaksinasi khususnya di wilayah timur negara itu, yang melaporkan sebagian besar kasus di tengah krisis kemanusiaan berkepanjangan. Namun demikian, otoritas kesehatan belum mengumumkan kapan vaksinasi akan dimulai.
Rencana enam bulan itu, yang berlangsung mulai September 2024 hingga Februari 2025, memiliki estimasi anggaran sebesar hampir 600 juta dolar AS (1 dolar AS = Rp15.410). Sebanyak 55 persen dari anggaran tersebut dialokasikan untuk upaya respons mpox di sejumlah negara yang terdampak, sementara 45 persen sisanya ditujukan untuk dukungan operasional dan teknis melalui beberapa organisasi mitra.
Sejak 2024, benua Afrika melaporkan 24.851 kasus suspek mpox, termasuk 5.549 kasus terkonfirmasi dan 643 kasus kematian, kata Direktur Jenderal CDC Afrika Jean Kaseya dalam sebuah konferensi pers daring.
Republik Demokratik (RD) Kongo menjadi pusat wabah tersebut, melaporkan 90 persen dari seluruh kasus yang tercatat. RD Kongo melaporkan 20.463 kasus suspek mpox, termasuk 635 kematian.
Menurut Kaseya, terdapat "tren kenaikan" dalam jumlah kasus mpox di seluruh Afrika, dengan sedikitnya 14 negara terdampak, khususnya sejak Mei 2024.
Direktur Regional WHO untuk Afrika Matshidiso Moeti, yang juga menghadiri konferensi pers tersebut, menyerukan upaya gabungan demi meredam wabah di RD Kongo. Moeti menekankan pentingnya koordinasi di bawah rencana respons kontinental gabungan CDC Afrika-WHO
"Ini merupakan tonggak penting untuk aksi terkoordinasi antara badan-badan kita guna mendukung negara-negara dengan memperkuat keahlian, memobilisasi sumber daya, dan menghentikan penyebaran mpox dengan cepat," kata Moeti. "Dengan bekerja sama, kita dapat mencapai lebih banyak hal, memastikan komunitas dan individu terlindungi dari virus ini."
Pada pertengahan Agustus, WHO menyatakan wabah mpox yang sedang berlangsung di Afrika sebagai darurat kesehatan publik yang menjadi kekhawatiran internasional. Badan kesehatan itu menyebut munculnya clade 1b, varian yang lebih berbahaya namun kurang dipahami dengan baik, yang pertama kali terdeteksi di RD Kongo pada September 2023. Sejak saat itu, kasus galur clade 1b telah dilaporkan di beberapa negara, termasuk Swedia dan Thailand.
Pada Rabu (4/9), Guinea mengonfirmasi kasus mpox pertamanya. Kaseya mencatat bahwa tes pengurutan genetik sedang dilakukan untuk menetapkan apakah varian clade 1b telah menyebar ke Afrika Barat.
RD Kongo, yang menerima batch pertama 99.100 dosis vaksin mpox pada Kamis (5/9), sedang mengembangkan strategi distribusi dan vaksinasi khususnya di wilayah timur negara itu, yang melaporkan sebagian besar kasus di tengah krisis kemanusiaan berkepanjangan. Namun demikian, otoritas kesehatan belum mengumumkan kapan vaksinasi akan dimulai.
Pewarta: Xinhua
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2024
Tags: