Dokter: Waspada, aneurisma otak yang tak pecah seperti bom waktu
5 September 2024 15:16 WIB
Ilustrasi: Tim dokter RS Paru didampingi dokter RSUD dr Soetomo melakukan operasi bedah saraf clipping aneurisma otak perdana di ruangan operasi RS Paru di Kabupaten Jember, Sabtu (27/5/2023) (ANTARA/HO-Humas RS Paru Jember)
Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis neurologi konsultan Rumah Sakit Pusat Otak Nasional (RSPON) Beny Rilianto mengingatkan bahwa sebagian besar aneurisma otak yang tidak pecah tidak memiliki gejala, sehingga kondisi tersebut perlu untuk selalu diwaspadai.
“Jadi banyak sebagian orang mungkin saja memiliki aneurisma yang tanpa kita sadari, seperti ibaratnya ada bom waktu yang kita tidak tahu kapan pecahnya, kecuali telah dilakukan pemeriksaan seperti pencitraan,” kata Beny dalam webinar di Jakarta, Kamis.
Aneurisma otak merupakan penonjolan bagian pembuluh darah atau lebih, tepatnya pelebaran dinding pembuluh darah. Aneurisma seperti balon yang semakin lama semakin membesar hingga mencapai diameter tertentu yang kemungkinan akan pecah seiring waktu.
Secara sederhana, jelas Beny, aneurisma otak diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu aneurisma otak pecah dan tidak pecah. Berbeda dengan aneurisma otak pecah yang menimbulkan gejala sakit kepala hebat, bahkan pendarahan ke otak (stroke hemoragik), aneurisma otak tidak pecah tidak menimbulkan gejala pada sebagian besar kasus.
Baca juga: Dokter paparkan metode TEVAR_EVAR minimalkan invasi pengobatan aorta
Meski begitu, pada beberapa kasus aneurisma otak tidak pecah bisa saja menimbulkan gejala apabila tonjolan terletak di area-area tertentu seperti area persarafan. Beny mencontohkan, tonjolan aneurisma yang mendesak saraf okulomotor atau saraf pergerakan mata bisa mengakibatkan gangguan pada gerakan bola mata.
“Namun sebagian besar aneurisma, letaknya ini tidak bersinggungan dengan saraf. Jadi sebagian besar aneurisma bahkan terkadang tidak ada gejala apapun,” kata dia.
Pada kesempatan yang sama, dokter spesialis radiologi konsultan RSPON Khairun Niswati menambahkan bahwa pencitraan memiliki peran yang sangat penting untuk mendiagnosis kasus-kasus aneurisma. Dengan pencitraan, dokter dapat mengakses dan menilai kondisi pembuluh darah di kepala pasien serta menentukan terapi yang tepat.
Adapun pemeriksaan aneurisma dapat dilakukan baik menggunakan CT (Computerized Tomography) scan maupun MRI (Magnetic Resonance Imaging). CT scan, jelas Niswati, harus memanfaatkan kontras media yang dimasukkan ke dalam tubuh pasien, sedangkan MRI dapat dilakukan dengan penggunaan kontras media maupun tanpa penggunaan kontras media.
Baca juga: Skrining otak dinilai penting untuk mencegah aneurisma
Niswati mengatakan pemilihan modalitas pencitraan bergantung pada kondisi pasien. Apabila pasien mengalami aneurisma otak yang sudah pecah, maka direkomendasikan untuk menggunakan CT angiografi untuk bisa melihat lebih detil kondisi aneurisma pada otak.
Dia juga mengingatkan pentingnya pemeriksaan aneurisma bagi seseorang yang memiliki riwayat genetik atau riwayat keluarga yang pernah mengalami pendarahan pembuluh darah otak. Pemeriksaan untuk kondisi ini juga bisa dilakukan dengan menggunakan CT angiografi.
“Namun untuk pasien yang belum ada pecahnya pembuluh darah tersebut, maka bisa dilakukan MRI saja sebagai proses skrining,” kata Niswati.
Baca juga: Hindari rusak otak permanen dengan ingat "golden hour"
“Jadi banyak sebagian orang mungkin saja memiliki aneurisma yang tanpa kita sadari, seperti ibaratnya ada bom waktu yang kita tidak tahu kapan pecahnya, kecuali telah dilakukan pemeriksaan seperti pencitraan,” kata Beny dalam webinar di Jakarta, Kamis.
Aneurisma otak merupakan penonjolan bagian pembuluh darah atau lebih, tepatnya pelebaran dinding pembuluh darah. Aneurisma seperti balon yang semakin lama semakin membesar hingga mencapai diameter tertentu yang kemungkinan akan pecah seiring waktu.
Secara sederhana, jelas Beny, aneurisma otak diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu aneurisma otak pecah dan tidak pecah. Berbeda dengan aneurisma otak pecah yang menimbulkan gejala sakit kepala hebat, bahkan pendarahan ke otak (stroke hemoragik), aneurisma otak tidak pecah tidak menimbulkan gejala pada sebagian besar kasus.
Baca juga: Dokter paparkan metode TEVAR_EVAR minimalkan invasi pengobatan aorta
Meski begitu, pada beberapa kasus aneurisma otak tidak pecah bisa saja menimbulkan gejala apabila tonjolan terletak di area-area tertentu seperti area persarafan. Beny mencontohkan, tonjolan aneurisma yang mendesak saraf okulomotor atau saraf pergerakan mata bisa mengakibatkan gangguan pada gerakan bola mata.
“Namun sebagian besar aneurisma, letaknya ini tidak bersinggungan dengan saraf. Jadi sebagian besar aneurisma bahkan terkadang tidak ada gejala apapun,” kata dia.
Pada kesempatan yang sama, dokter spesialis radiologi konsultan RSPON Khairun Niswati menambahkan bahwa pencitraan memiliki peran yang sangat penting untuk mendiagnosis kasus-kasus aneurisma. Dengan pencitraan, dokter dapat mengakses dan menilai kondisi pembuluh darah di kepala pasien serta menentukan terapi yang tepat.
Adapun pemeriksaan aneurisma dapat dilakukan baik menggunakan CT (Computerized Tomography) scan maupun MRI (Magnetic Resonance Imaging). CT scan, jelas Niswati, harus memanfaatkan kontras media yang dimasukkan ke dalam tubuh pasien, sedangkan MRI dapat dilakukan dengan penggunaan kontras media maupun tanpa penggunaan kontras media.
Baca juga: Skrining otak dinilai penting untuk mencegah aneurisma
Niswati mengatakan pemilihan modalitas pencitraan bergantung pada kondisi pasien. Apabila pasien mengalami aneurisma otak yang sudah pecah, maka direkomendasikan untuk menggunakan CT angiografi untuk bisa melihat lebih detil kondisi aneurisma pada otak.
Dia juga mengingatkan pentingnya pemeriksaan aneurisma bagi seseorang yang memiliki riwayat genetik atau riwayat keluarga yang pernah mengalami pendarahan pembuluh darah otak. Pemeriksaan untuk kondisi ini juga bisa dilakukan dengan menggunakan CT angiografi.
“Namun untuk pasien yang belum ada pecahnya pembuluh darah tersebut, maka bisa dilakukan MRI saja sebagai proses skrining,” kata Niswati.
Baca juga: Hindari rusak otak permanen dengan ingat "golden hour"
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2024
Tags: