Jindo, Korea Selatan (ANTARA News) - Li Daonan, warga negara China yang berusia 39 tahun dan menjadi penumpang, berharap perjalanannya lewat laut dari Kota Pelabuhan Incheon ke Pulau Pelancongan Jeju, Korea Selatan, berjalan normal.

Namun kabut tebal menyelimuti udara di atas Incheon pada malam 15 April. Banyak kapal menunda keberangkatan mereka, termasuk kapal feri Sewol dengan bobot 6.825 ton --yang membawa Li dan kendaraannya. Peristiwa semacam itu bisa terjadi pada setiap perjalanan melalui laut.

Pada satu ketika, Li sempat berfikir untuk mengembalikan tiketnya dan menerima kembali uangnya, tapi ia tidak melakukan itu. Ia memberitahu ibunya di dalam pesan berikut bahwa ia memilih untuk tetap melakukan perjalanan sebagaimana rencana sebab mobilnya sudah naik ke feri dan tak bisa diturunkan lagi.

"Bu, tak usah khawatir kami berangkat," kata Li kemudian di dalam percakapan telepon dengan ibunya, saat ia bertolak melaksanakan liburannya.

Keputusan Li untuk tetap naik feri mengubah nasibnya selamanya, demikian laporan Xinhua. Pagi berikutnya, kapal feri Sewol --dengan sebanyak 476 penumpang dan anggota awak kapal-- terbalik di perairan yang dipenuhi es di lepas pantai Pulau Jindo.

Dalam bencana laut terburuk di Korea Selatan dalam dua dasawarsa itu, sedikitnya 150 orang, termasuk Li dan seorang lagi warga negara China --Li Xianghao (47), telah dikonfirmasi tewas, sementara 152 orang lagi belum ditemukan hingga Rabu sore.

Kedutaan Besar China menyatakan dua lagi perempuan penumpang berkebangsaan China, termasuk seorang siswa sekolah menengah, masih belum ditemukan.

Li Xianghao berencana bekerja di Jeju.

"Ada pekerjaan yang harus saya kerjakan dan saya akan naik kapal," kata Li Xianghao di dalam satu pesan teks kepada kakaknya, Li Taihao.

"Hati-hati dan semoga selamat," jawab kakaknya.

Pesan teks Li Xianghao ternyata menjadi kata-kata terakhirnya kepada keluarganya.

Sekitar satu pekan kemudian, ibu Li Daonan --yang tiba di Jindo tak lama setelah menerima berita mengenai bencana itu-- dengan cemas ia berkeliling dan bertanya kepada orang di sekitarnya untuk mengetahui petunjuk mengenai keberadaan putranya, sampai-sampai sepatunya rusak.

Setelah berbicara dengan petugas pertolongan, ia kemudian bergegas ke Rumah Sakit Mokpo Saean dengan hanya memakai sandal plastik. Ia menemukan putranya tergeletak di atas usungan dengan pakaian yang ia pakai ketika Li Daonan meninggalkan rumah sang ibu.

"Benar, dia putra saya," kata perempuan yang berusia 62 tahun tersebut kepada pekerja medis. Ia dengan susah-payah berusaha berdiri dan baru berhasil setelah dibantu oleh dua orang.

"Bagaimana putra saya, anak laki-laki yang begitu cerdik, bisa kehilangan nyawanya?," perempuan yang berusia di atas setengah baya itu bergumam berulangkali saat menunggu proses pengidentifikasian DNA.

Staf di sana membantu dia memilah barang milik putranya --satu telepon genggam dan dompet. Ia secara hati-hati menaruh barang-barang tersebut di tasnya.

Sementara itu, Li Taihao --kakak Li Xianghao, yang tewas tenggelam-- tidak mengetahui feri yang dinaiki adiknya telah terbalik sampai ia menerima telepon pada Rabu, 16 April. Sejak itu ia telah menunggu siang-malam kabar mengenai adiknya di Pelabuhan Paengmok, Jindo, 25 kilometer dari lokasi kecelakaan.

Enam hari kemudian, Penjaga Pantai Korea Selatan memberitahu Li Taihao bahwa mereka telah menemukan mayat adiknya.

Li Taihao membawa mayat adiknya pada malam hari ke Ibu Kota Korea Selatan, Seoul.

"Saya cuma mau adik saya pulang secepatnya," katanya.

Bagi keluarga kedua penumpang yang hilang, setiap jam berlalu dengan rasa putus asa yang meningkat sementara upaya pertolongan terhambat oleh cuaca buruk dan arus laut yang cepat.

Saat operasi pencarian dan pertolongan memasuki hari kedelapan sejak feri tersebut tenggelam pada Rabu (16/4), jumlah korban jiwa akibat kecelakaan feri Korea Selatan naik lagi jadi 150, sementara 152 orang masih belum ditemukan, dan jumlah orang yang diselamatkan tak berubah, 174.
(C003)