Pulau Tiga, Natuna (ANTARA News) - Kapal-kapal ikan ilegal hasil sitaan dari nelayan asing masih sulit untuk dapat dimanfaatkan nelayan lokal, karena lamanya waktu penanganan barang bukti pelanggaran hukum oleh Kejaksaan dan Pengadilan, kata pejabat Kementerian Kelautan dan Perikanan.

"Kami dari PSDKP sebenarnya menindak hingga penyidikan pelanggaran itu usai, setelah P-21 (berkas lengkap), penuntutannya dilimpahkan ke Kejaksaan," kata Direktur Kapal Pengawas di Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Budi Halomuan di Natuna, Kepulauan, Riau, Rabu.

Menurut Budi, lamanya waktu pengusutan di Kejaksaan dan Pengadilan juga kerap membuat kapal-kapal hasil sitaan tersebut, yang ditempatkan di dermaga dekat lokasi penangkapan, menjadi rusak bahkan tenggelam.

Jika sudah rusak, nelayan atau pemerintah daerah yang ingin memanfaatkan kapal tersebut setelah proses hukum selesai, harus mengeluarkan biaya tambahan yang cukup besar untuk memperbaiki kapal itu.

Selain itu, saat menunggu proses hukum anak buah kapal (ABK) ilegal tersebut, biaya perawatan kapal ditanggung oleh satuan PSDKP di daerah itu.

"Kami memiliki anggaran untuk merawat kapal itu. Namun, semuanya memang menunggu hasil dari Pengadilan, apakah akan dikembalikan atau dihibahkan dan digunakan oleh lokal," ucap Budi.

Mayoritas kapal-kapal ilegal asing yang disita kapal patroli PSDKP, kata Budi, memilki bobot dan spesifikasi yang lebih besar dan canggih dibanding nelayan lokal. Seperti kapal sitaan nelayan Thailand yang ukurannya dapat dua kali lebih besar dari kapal nelayan Indonesia.

Bupati Natuna Ilyas Sabli mengatakan kapal-kapal ilegal nelayan asing itu seharusnya segera dapat dihibahkan kepada nelayan daerah, demi meningkatkan kontribusi ekonomi dari sektor perikanan.

Kepulauan Natuna yang merupakan garis terdepan wilayah Indonesia dan masuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI 711 memiliki potensi ikan tangkap hingga satu juta ton per tahun, kata Bupati.

Potensi ikan tangkap sebesar itu, cukup memiliki kontribusi signifikan terhadap potensi ikan tangkap nasional yang menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 45/2011 sebesar 6,5 juta ton per tahun.

"Banyaknya nelayan ilegal membuat potensi ikan tangkap kami berkurang, seharusnya kapal-kapal sitaan itu dapat dimanfaatkan nelayan," ujarnya.

Berdasarkan pantauan Antara di dermaga Pulau Tiga, Natuna, kini terdapat lima kapal nelayan Vietnam dengan bobot 100 gross ton (GT) yang baru saja ditangkap awal April lalu.

Di dermaga tersebut, terdapat juga tiga kapal sitaan yang ditangkap pada 2010, namun kondisinya sudah rusak parah dan sebagian besar bagian kapal sudah tenggelam.

Jika merujuk pada Pasal 76C ayat (5) UU No.45/2009 tentang Perubahan atas UU No. 31/2004 tentang Perikanan, disebutkan bahwa kapal pelaku penangkapan ikan ilegal yang dirampas untuk negara, dapat dilelang atau dihibahkan kepada kelompok nelayan.

Proses lelang kapal rampasan harus dilakukan dengan harga yang layak dan hasilnya dijadikan sumber pendapatan Negara bukan pajak (PNBP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan sebagian hasilnya dapat digunakan untuk peningkatan kesejahteraan nelayan.

Pada 2014, dari Januari hingga 22 April, satuan petugas PSDKP sudah menangkap 17 kapal, yang delapan dari Vietnam, sedangkan sembilan sisanya merupakan kapal nelayan Indonesia yang melakukan penangkapan ilegal, penangkapan menayalahi peraturan, dan penangkapan tidak dilaporkan (IUU).(*)