MSP & IAF Bali
BKPM yakin ASEAN jadi destinasi investasi yang bebas dan terbuka
3 September 2024 16:23 WIB
Direktur Promosi Asia Timur, Asia Tengah, Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika Kementerian Investasi/BKPM Cahyo Purnomo saat sesi diskusi bertajuk “Unlocking Growth: Overcoming Barriers and Optimizing Investment Returns through Smart Outbound-Inbound Strategies" pada High-Level Forum on Multi-Stakeholder Partnerships (HLF MSP) 2024 di Badung, Bali, Selasa (3/9/2024). (ANTARA/HO-Bappenas)
Badung (ANTARA) - Direktur Promosi Asia Timur, Asia Tengah, Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika Kementerian Investasi/BKPM Cahyo Purnomo meyakini ASEAN menjadi tujuan investasi yang bebas dan terbuka.
“Meski ada tantangan politik dan ekonomi, baik di Indonesia maupun kawasan, saya percaya bahwa kita sedang bergerak untuk menjaga ASEAN sebagai destinasi investasi yang bebas dan terbuka,” kata Cahyo dalam sesi High-Level Forum on Multi-Stakeholder Partnerships (HLF MSP) 2024 di Badung, Bali, Selasa.
Dalam diskusi bertajuk “Unlocking Growth: Overcoming Barriers and Optimizing Investment Returns through Smart Outbound-Inbound Strategies”, dia menekankan pentingnya strategi investasi yang cerdas untuk mengatasi tantangan global sekaligus mengoptimalkan pengembalian investasi, terutama di tengah krisis global yang terus berlanjut.
Makin banyaknya negara-negara Selatan (Global South) yang berperan dalam aliran modal global dengan memanfaatkan strategi investasi, menunjukkan pertumbuhan signifikan dalam penanaman modal asing langsung.
“Meskipun Foreign Direct Investment (FDI) global turun 2 persen menjadi 1,3 triliun dolar AS pada tahun lalu, kita melihat penurunan di banyak kawasan di seluruh dunia seperti di Amerika Selatan dan Asia Tenggara. Namun, di Asia Tenggara secara keseluruhan, ada peningkatan sebesar 1,3 persen, mencapai 226 miliar dolar AS,” ujar Cahyo.
World Investment Report juga mengungkapkan pada 2022, negara-negara maju menyediakan sekitar 1 triliun dolar AS dalam bentuk FDI, sementara negara-negara berkembang dan kurang berkembang secara kolektif hanya menerima sekitar 400 juta dolar AS.
Tren ini mengindikasikan adanya ketimpangan distribusi investasi asing, di mana mayoritas aliran FDI masih terkonsentrasi ke negara-negara maju, dengan hanya sekitar 23 persen dari total alokasi FDI mengalir ke kawasan Asia-Pasifik.
Selain itu, ada pula tren di mana investasi dari negara-negara berkembang justru mengalir ke negara-negara kuat di Selatan atau ke negara-negara maju di Utara, yang memperlebar kesenjangan investasi antara Selatan dan Utara.
Negara-negara berkembang dan kurang berkembang juga kerap kali tertinggal dalam distribusi investasi global karena menghadapi tantangan, seperti kualitas demografi, infrastruktur yang terbatas, dan kurangnya dukungan untuk investasi asing.
Untuk itu, perlu adanya perubahan pola investasi untuk memastikan investasi lebih mudah diakses semua pihak, namun tetap mempertahankan hasil optimal dan tahan terhadap fluktuasi ekonomi global.
Pada saat yang sama, negara-negara di kawasan Selatan juga didorong untuk menciptakan lingkungan domestik yang lebih kondusif bagi peningkatan investasi asing.
Baca juga: RI capai kesepakatan investasi energi Rp23,2 trilun dalam IAF ke-2
Baca juga: Indonesia tegaskan komitmen kolaborasi pembangunan dengan Afrika
“Meski ada tantangan politik dan ekonomi, baik di Indonesia maupun kawasan, saya percaya bahwa kita sedang bergerak untuk menjaga ASEAN sebagai destinasi investasi yang bebas dan terbuka,” kata Cahyo dalam sesi High-Level Forum on Multi-Stakeholder Partnerships (HLF MSP) 2024 di Badung, Bali, Selasa.
Dalam diskusi bertajuk “Unlocking Growth: Overcoming Barriers and Optimizing Investment Returns through Smart Outbound-Inbound Strategies”, dia menekankan pentingnya strategi investasi yang cerdas untuk mengatasi tantangan global sekaligus mengoptimalkan pengembalian investasi, terutama di tengah krisis global yang terus berlanjut.
Makin banyaknya negara-negara Selatan (Global South) yang berperan dalam aliran modal global dengan memanfaatkan strategi investasi, menunjukkan pertumbuhan signifikan dalam penanaman modal asing langsung.
“Meskipun Foreign Direct Investment (FDI) global turun 2 persen menjadi 1,3 triliun dolar AS pada tahun lalu, kita melihat penurunan di banyak kawasan di seluruh dunia seperti di Amerika Selatan dan Asia Tenggara. Namun, di Asia Tenggara secara keseluruhan, ada peningkatan sebesar 1,3 persen, mencapai 226 miliar dolar AS,” ujar Cahyo.
World Investment Report juga mengungkapkan pada 2022, negara-negara maju menyediakan sekitar 1 triliun dolar AS dalam bentuk FDI, sementara negara-negara berkembang dan kurang berkembang secara kolektif hanya menerima sekitar 400 juta dolar AS.
Tren ini mengindikasikan adanya ketimpangan distribusi investasi asing, di mana mayoritas aliran FDI masih terkonsentrasi ke negara-negara maju, dengan hanya sekitar 23 persen dari total alokasi FDI mengalir ke kawasan Asia-Pasifik.
Selain itu, ada pula tren di mana investasi dari negara-negara berkembang justru mengalir ke negara-negara kuat di Selatan atau ke negara-negara maju di Utara, yang memperlebar kesenjangan investasi antara Selatan dan Utara.
Negara-negara berkembang dan kurang berkembang juga kerap kali tertinggal dalam distribusi investasi global karena menghadapi tantangan, seperti kualitas demografi, infrastruktur yang terbatas, dan kurangnya dukungan untuk investasi asing.
Untuk itu, perlu adanya perubahan pola investasi untuk memastikan investasi lebih mudah diakses semua pihak, namun tetap mempertahankan hasil optimal dan tahan terhadap fluktuasi ekonomi global.
Pada saat yang sama, negara-negara di kawasan Selatan juga didorong untuk menciptakan lingkungan domestik yang lebih kondusif bagi peningkatan investasi asing.
Baca juga: RI capai kesepakatan investasi energi Rp23,2 trilun dalam IAF ke-2
Baca juga: Indonesia tegaskan komitmen kolaborasi pembangunan dengan Afrika
Pewarta: Imamatul Silfia
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2024
Tags: