Beijing (ANTARA) - Sebagai negara ketiga terbesar di dunia, China memiliki begitu banyak tempat yang menawarkan pengalaman dan kesan baru bagi siapapun yang mendatanginya.

Di antara kota-kota populer yang sudah dikenal dan menjadi tujuan wisata adalah Beijing, Shanghai, dan Hong Kong. Namun, pernahkah tebersit di benak untuk mengunjungi kota Chongqing?

Chongqing adalah sebuah metropolis di China bagian tengah. Kota yang dihuni lebih dari 30 juta orang tersebut memiliki luas area 82.403 km persegi, sehingga menjadi kota dengan wilayah terbesar di dunia.

Menurut Wakil Direktur Biro Luar Negeri Pemerintah Kota Chongqing Zhang Yaxi, kota Chongqing adalah jantung kawasan China tengah yang menjadi titik temu untuk daerah dan kota di sekitarnya.

Secara ekonomi, kota tersebut menjadikan industri sebagai andalannya. Sejumlah sektor ekonomi utama di Chongqing di antaranya industri elektronik, otomotif, serta manufaktur.

Pejabat itu juga mengakui, Kota Chongqing didirikan di kawasan yang secara geografis sangat menantang, yaitu di antara sungai besar dan pegunungan. Gedung-gedung yang ada pun dibangun dengan menyesuaikan rupa bumi yang dramatis itu.

“Kota Chongqing sangat menarik, karena hanya di sini Anda bisa mengira sedang berada di lantai dasar sebuah gedung, namun ketika keluar dari sisi lain, ternyata ada di lantai atas gedung,” ucap Zhang.

Kota Chongqing adalah salah satu contoh kota yang baik, karena “ada gunung dan sungai” yang menandakan kondisi ideal di mata bangsa China. Sungai Yangtze pun membelah Kota Chongqing menjadi dua.

Salah satu konsekuensi dari geografi Chongqing yang sangat menantang itu adalah jalan-jalan dan rel kereta api harus dibina menembus gunung dengan terowongan yang panjang dan melampaui lembah dengan jembatan yang tinggi-tinggi.

Kecemerlangan rekayasa para pembina Kota Chongqing terlihat dari Stasiun Liziba, salah satu stasiun yang berada di lin 2 jaringan kereta komuter Chongqing. Stasiun tersebut berada di tengah-tengah gedung apartemen yang menjulang tinggi.


Sebuah kereta komuter tiba di Stasiun Liziba di Chongqing, China tengah, Kamis (29/8/2024). (ANTARA/Nabil Ihsan)

Jika kita lihat sekilas kereta yang berlalu-lalang di Stasiun Liziba, rasanya terlihat seperti kereta tersebut masuk dan keluar menembus perut gedung.

Hal itulah yang membuat Stasiun Liziba amat diminati wisatawan yang berduyun-duyun datang. Namun, mereka datang bukan untuk naik kereta, melainkan untuk menyaksikan pemandangan kereta yang berlalu lalang ke stasiun layang tersebut.

Begitu tiba di depan stasiun, mereka senantiasa menyiagakan kamera ponselnya supaya dapat segera merekam fenomena “kereta masuk gedung” yang cukup unik.

Bangunan tersebut memang sejak dibangun sudah direncanakan memiliki stasiun kereta api di antaranya, dan teknologi konstruksi yang digunakan berhasil meredam suara bising serta getaran dari lalu lintas kereta di stasiun bagi apartemen di atasnya.


Malam hari di Chongqing

Di malam hari, Kota Chongqing jadi semakin semarak. Gedung-gedung menjulang tinggi yang berderetan di tepi sungai memancarkan lampu-lampu berwarna cerah yang memanjakan mata.

Salah satu bangunan tersebut adalah Hongyadong, atau “Gua Hongya”, yang menjulang di sisi sebuah bukit yang menghadap Sungai Jialing, sebuah anak Sungai Yangtze, di tengah kota Chongqing. Lampu-lampu di muka gedung setinggi 11 tingkat tersebut berkelap-kelip dan memantulkan cerahnya ke permukaan sungai.

Menurut seorang pemandu wisata setempat yang memperkenalkan dirinya sebagai Alan, Hongyadong merupakan replika bangunan tradisional setempat yang sudah ada sejak dahulu.

“Setiap malam, lampu-lampu yang menerangi Hongyadong memanjakan mata para wisatawan yang datang kemari,” kata dia.

Terdapat banyak restoran, kedai minuman, serta toko cenderamata dan pernak-pernik yang membuat pengunjung semakin bersemangat berbelanja dan menghabiskan waktu di sana. Ramai pula orang-orang yang menawarkan jasa foto di sudut terbaik Hongyadong.

Ribuan wisatawan tak berhenti datang ke Hongyadong demi mendapat pengalaman dan mengabadikan kecantikannya di malam hari. Apalagi, lampu-lampu di Hongyadong hanya dinyalakan dari pukul 8 hingga 11 malam waktu setempat.

Masih satu wilayah dengan Hongyadong, area lain yang menjadi andalan bagi masyarakat Chongqing menghabiskan malam adalah kawasan Jiefangbei, pusat bisnis dan perniagaan kota.

Kawasan tersebut terpusat pada Tugu Pembebasan Rakyat yang menjulang setinggi 27,5 meter dan didirikan untuk memperingati kemenangan China dalam Perang Dunia II melawan Jepang. Namun, tugu tersebut kini dikungkung oleh gedung-gedung yang menjulang tinggi di sekelilingnya.

Jiefangbei merupakan area khusus pejalan kaki, sehingga wisatawan bisa dengan bebas berkelana dan menjelajahi ratusan pusat perbelanjaan dan restoran yang berderet di sekeliling Tugu Pembebasan Rakyat.

Begitu malam, gedung-gedung di kawasan Jiefangbei jadi berkelap-kelip dengan beragam warna, corak, maupun tulisan yang dihasilkan layar LED raksasa. Terangnya gedung-gedung tersebut, selain menerangi para pejalan kaki di kawasan itu, juga terlihat bahkan dari seberang Sungai Jialing.

Sementara itu, masih menurut Alan, ia menyarankan waktu terbaik untuk berkunjung ke Chongqing adalah pada tengah musim gugur dan musim semi, atau sekitar bulan April—Mei atau September— awal November.

Pemandu wisata itu mengatakan, tak sedikit turis dari Indonesia datang ke Chongqing. Ia bahkan mengaku akan memandu kelompok wisatawan dari Indonesia pada September, tepat pada waktu yang ia sarankan datang

Chongqing telah tumbuh menjadi sebuah metropolis modern yang maju di tengah-tengah negeri China. Pesonanya yang menarik para wisatawan berasal dari bagaimana Chongqing menjadi kota modern yang berkembang secara harmonis dengan alam yang menantang.

Karena itu pula, Chongqing menjadi salah satu bukti kecemerlangan rekayasa China serta menegaskan betapa hebatnya manusia dalam menaklukkan rupa bumi demi memajukan kebutuhan dan kepentingannya.