Jakarta (ANTARA) - Eks Komisioner Komnas Perempuan Ninik Rahayu menekankan bahwa permasalahan kultural pada perempuan pekerja rumah tangga (PRT) sangat sistemik, di mana mereka tidak ditempatkan di garda terdepan dalam pengambilan keputusan yang strategis.
Dalam struktur patriarki dan feodalisme, jelas Ninik, terdapat relasi kuasa, di mana perempuan kerap dihubungkan dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat privat di ranah domestik. Posisi ini membuat PRT dianggap bukan pekerjaan utama serta kerap tidak mendapatkan penghargaan dan pengakuan.
“Kerja-kerja di dalam rumah tangga sebenarnya juga merupakan kerja-kerja publik yang memiliki kontribusi publik. Semakin PRT dianggap sebagai pekerjaan yang tidak memiliki identitas dan tidak ada pengakuan, maka yang terlihat adalah perpanjangan kemiskinan wajah perempuan dan ini berdampak pada posisi perempuan ke depan,” kata Ninik yang juga merupakan Ketua Dewan Pers itu dalam webinar yang diadakan LPPA PP Aisyiyah di Jakarta, Sabtu.
Apabila problem kultural dan struktural pada PRT tidak diselesaikan, Ninik mengingatkan bahwa nantinya akan secara terus-menerus melanggengkan penindasan dan ketidakadilan gender. Mayoritas PRT juga merupakan perempuan dan mereka memiliki posisi yang paling rentan.
Ninik mengatakan, terdapat tiga kerentanan pada PRT mulai dari ketidakjelasan status hukum, jaminan sosial yang kurang, hingga perlakuan diskriminatif. Meskipun telah ada UU tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PDKRT), namun aturan tersebut dinilai kurang melindungi PRT.
“Ketidakjelasan status hukum ini tentu bertentangan dengan Pasal 27 dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 45, bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan, bahwa PRT yang melakukan pekerjaan harus memenuhi unsur upah. Tapi apa bentuk perintah pekerjaannya, apa jenis pekerjaannya, dan apa hak-hak normatifnya, ini yang perlu dipastikan,” kata dia.
Oleh sebab itu, Ninik mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), apalagi RUU ini telah memasuki dua dekade berproses di DPR RI. Dengan begitu, perlindungan pada PRT bisa ditingkatkan. PRT juga bisa mendapatkan keadilan dan pengakuan terhadap pekerjaannya.
“Inginnya adalah supaya ada peningkatan kualitas pendidikan para PRT, memberikan perlindungan pada PRT, membangun keberlanjutan SDGs dengan prinsip tidak seorang pun ditinggalkan untuk mendapatkan keadilan dalam pembangunan ini. Sehingga keberadaan PRT menjadi sangat penting untuk mendapat pengakuan,” kata Ninik.
Diberitakan sebelumnya, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya mengatakan bahwa bola panas RUU PPRT ada di tangan pimpinan DPR RI, sebab Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) dan menunjuk perwakilan pemerintah untuk membahasnya bersama DPR.
Pada Maret 2023, DPR RI telah menetapkan RUU PPRT sebagai RUU Inisiatif DPR. Presiden juga telah mengirimkan daftar inventaris masalah (DIM) RUU PPRT ke pimpinan DPR dan menunjuk kementerian yang mewakili pemerintah untuk melakukan pembahasan RUU tersebut bersama DPR.
Baca juga: Komisi VIII: RUU PPRT harus dibahas proaktif lagi agar segera disahkan
Baca juga: Wakil Ketua MPR ajak semua pihak dukung pengesahan RUU PPRT
Eks Komisioner Komnas Perempuan: Problem kultural PRT sangat sistemik
31 Agustus 2024 19:41 WIB
Tangkapan layar - Eks Komisioner Komnas Perempuan Ninik Rahayu. ANTARA/Melalusa Susthira K
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024
Tags: