UNFPA sebut pentingnya implementasi peta jalan hapus sunat perempuan
29 Agustus 2024 19:11 WIB
Gender Programme Specialist UNFPA Indonesia Risya Ariyani Kori (paling kiri) bersama para narasumber dalam temu media dan pemengaruh terkait pentingnya penghapusan sunat perempuan di Jakarta, Kamis (29/8/2024). ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari
Jakarta (ANTARA) - Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Dana Kependudukan (UNFPA) menyebut pentingnya Indonesia mengimplementasikan peta jalan penghapusan sunat perempuan atau pemotongan dan perlukaan genitalia perempuan (P2GP).
“Advokasi kami ke depan itu akan tetap mengawal kebijakan yang lebih tegas, karena meski sudah ada kebijakan Kementerian Kesehatan yang melarang ini, tetapi permintaan dari masyarakat masih ada,” kata Gender Programme Specialist UNFPA Indonesia Risya Ariyani Kori dalam temu media dan pemengaruh di Jakarta, Kamis.
Ia mengapresiasi kebijakan Pemerintah dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang nomor 17 tahun 2023 pasal 102 terkait upaya kesehatan sistem reproduksi, yang menyatakan telah menghapus praktik sunat perempuan.
Namun, ia menegaskan pentingnya kebijakan-kebijakan turunan yang lebih tegas dan penyediaan data yang komprehensif agar praktik sunat perempuan benar-benar dapat dihapus dari Indonesia.
“Kalau dari penelitian yang sudah kita lakukan, permintaan-permintaan dari masyarakat ini juga harus diintervensi melalui kebijakan-kebijakan yang lebih tegas terkait pelarangan praktik P2GP," katanya.
Baca juga: Komnas Perempuan apresiasi penghapusan sunat perempuan pada PP 28/2024
Baca juga: KemenPPPA: Perlu melibatkan tokoh agama hapus budaya sunat perempuan
Ia melanjutkan, kebijakan penghapusan sunat perempuan juga perlu terus didengungkan kepada keluarga melalui para tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat, dan bidan atau para tenaga kesehatan.
“Kita dukung tokoh agama, juga sektor kesehatan dan lembaga swadaya masyarakat untuk pendekatan berbasis keluarga, ibu, dan anak, serta pendekatan kepada kaum muda karena mereka ini akan menjadi orang tua,” ucapnya.
Menurutnya, di tingkat global, sektor kesehatan tidak dapat bekerja sendiri, untuk mengubah perspektif dan perilaku terkait penghapusan sunat perempuan sehingga perlu berkolaborasi dengan sektor agama.
Berdasarkan data survei pengalaman hidup perempuan nasional (SPHPN) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) tahun 2021, alasan terbanyak (68,1 persen) masyarakat yang menyatakan perempuan masih perlu disunat yakni karena perintah agama.
Alasan terbanyak kedua (40,3 persen) yakni karena sebagian besar orang melakukannya, sedangkan alasan terbanyak ketiga (26,1 persen) yakni karena kesehatan.
Data tersebut juga menyebutkan, sebanyak 50,5 persen perempuan berumur 15-64 tahun di Indonesia pernah mengalami sunat perempuan. Proporsi mereka yang disunat di daerah perkotaan (50,9 persen) hampir sama besar dengan proporsi di daerah pedesaan (50,0 persen).
Wilayah yang paling tinggi melakukan praktik sunat perempuan yakni Sulawesi sebesar 81,2 persen, disusul Kalimantan 73,1 persen, dan Sumatera 69,7 persen.
Baca juga: KemenPPPA sebut praktik sunat perempuan harus dihapus karena berbahaya
Baca juga: Kemenkes: Sunat perempuan sangat merugikan perempuan
“Advokasi kami ke depan itu akan tetap mengawal kebijakan yang lebih tegas, karena meski sudah ada kebijakan Kementerian Kesehatan yang melarang ini, tetapi permintaan dari masyarakat masih ada,” kata Gender Programme Specialist UNFPA Indonesia Risya Ariyani Kori dalam temu media dan pemengaruh di Jakarta, Kamis.
Ia mengapresiasi kebijakan Pemerintah dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang nomor 17 tahun 2023 pasal 102 terkait upaya kesehatan sistem reproduksi, yang menyatakan telah menghapus praktik sunat perempuan.
Namun, ia menegaskan pentingnya kebijakan-kebijakan turunan yang lebih tegas dan penyediaan data yang komprehensif agar praktik sunat perempuan benar-benar dapat dihapus dari Indonesia.
“Kalau dari penelitian yang sudah kita lakukan, permintaan-permintaan dari masyarakat ini juga harus diintervensi melalui kebijakan-kebijakan yang lebih tegas terkait pelarangan praktik P2GP," katanya.
Baca juga: Komnas Perempuan apresiasi penghapusan sunat perempuan pada PP 28/2024
Baca juga: KemenPPPA: Perlu melibatkan tokoh agama hapus budaya sunat perempuan
Ia melanjutkan, kebijakan penghapusan sunat perempuan juga perlu terus didengungkan kepada keluarga melalui para tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat, dan bidan atau para tenaga kesehatan.
“Kita dukung tokoh agama, juga sektor kesehatan dan lembaga swadaya masyarakat untuk pendekatan berbasis keluarga, ibu, dan anak, serta pendekatan kepada kaum muda karena mereka ini akan menjadi orang tua,” ucapnya.
Menurutnya, di tingkat global, sektor kesehatan tidak dapat bekerja sendiri, untuk mengubah perspektif dan perilaku terkait penghapusan sunat perempuan sehingga perlu berkolaborasi dengan sektor agama.
Berdasarkan data survei pengalaman hidup perempuan nasional (SPHPN) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) tahun 2021, alasan terbanyak (68,1 persen) masyarakat yang menyatakan perempuan masih perlu disunat yakni karena perintah agama.
Alasan terbanyak kedua (40,3 persen) yakni karena sebagian besar orang melakukannya, sedangkan alasan terbanyak ketiga (26,1 persen) yakni karena kesehatan.
Data tersebut juga menyebutkan, sebanyak 50,5 persen perempuan berumur 15-64 tahun di Indonesia pernah mengalami sunat perempuan. Proporsi mereka yang disunat di daerah perkotaan (50,9 persen) hampir sama besar dengan proporsi di daerah pedesaan (50,0 persen).
Wilayah yang paling tinggi melakukan praktik sunat perempuan yakni Sulawesi sebesar 81,2 persen, disusul Kalimantan 73,1 persen, dan Sumatera 69,7 persen.
Baca juga: KemenPPPA sebut praktik sunat perempuan harus dihapus karena berbahaya
Baca juga: Kemenkes: Sunat perempuan sangat merugikan perempuan
Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2024
Tags: