Jakarta (ANTARA News) - Sejauh mata memandang, air kebiruan membentang, sampai hampir tidak berbatas dengan hamparan langit yang juga biru di wilayah perairan laut Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.

Dipayungi langit biru berhias awan berarak, Tim Ekspedisi Pemantauan Terumbu Karang untuk Evaluasi Dampak di Alor dan Flores Timur melakukan penyelaman perdana di perairan Flores Timur Sabtu (29/3), setelah hampir dua pekan mengarungi perairan Alor, Pantar, dan Solor.

Kapal Menami yang membawa tim gabungan dari World Wide Fund for Nature (WWF), Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Dinas Kelautan dan Perikanan setempat membuang sauh di wilayah perairan Desa Lato, lokasi pengambilan sampling terjauh dalam ekspedisi di perairan Flores Timur.

Pemandangan laut biru yang melenakan di wilayah yang masuk dalam pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) sejak Maret 2013 itu membuat tim tidak membayangkan akan menemukan karang pecah atau mati di sana.

Tapi apa yang ada dalam bayangan mereka menguap setelah memantau populasi karang di wilayah perairan tersebut untuk mengumpulkan data populasi ikan dan tutupan karang dalam ekspedisi yang bermula 13 Maret 2014.

"Hancur," kata Tutus Wijanarko, peneliti ikan karang dari organisasi konservasi WWF usai menyelami wilayah perairan Desa Lato.

Kondisi karang di wilayah pemantauan berikutnya di Desa Ile padung, Riangkoli, dan Lama Ojan juga tidak jauh berbeda.

"Wilayah ini sudah masuk pencadangan KKPD. Dari pemantauan, kami menemukan karang yang hancur. Saya juga kaget ternyata parah banget," ujar Biodiversity Monitoring Officer WWF Aditano Y. Ratawimbi usai memantau karang di perairan Desa Ile Padung.

Di wilayah Teluk Hading, tanda-tanda terumbu karang yang rusak bahkan sudah terlihat pada kedalaman tiga meter.

Spesies ikan yang dijumpai pun tidak banyak, hanya ada sejumlah ikan kecil warna-warni, itu pun tidak terlalu banyak variasinya. Pemandangan yang agak kontradiktif dengan keindahan yang tampak dari permukaan.


Sisa-sisa kehancuran

Dalam pemantauan yang hingga Selasa (1/4) dilakukan di 23 titik sampling di perairan Flores Timur, tim mendapati sisa-sisa kehancuran terumbu karang.

Tim menduga, karang-karang pecah dan terbalik akibat penggunaan bom ikan dan jaring. Sementara tanda hitam pada karang merupakan indikasi sisa penggunaan potas atau racun kalium sianida dari para penangkap ikan.

Kondisi ini lebih buruk dibandingkan dengan kerusakan terumbu karang yang tim temukan di perairan utara Alor dan Solor.

Kerusakan terumbu karang di wilayah itu akan berdampak pada populasi ikan yang hidupnya bergantung pada karang.

Di perairan Flores Timur, tim menemukan sekitar 400 individu ikan, jauh dari populasi idealnya sebanyak 1.000 individu.

Peneliti dari WCS, Efin Muttaqin, mengatakan apa yang ia temukan selama ekspedisi jauh dari harapannya.

Menurut dia, dari total 75 titik sampling selama ekspedisi, tidak lebih dari 10 lokasi yang kondisinya bagus.

"Saat ada penugasan ini saya awalnya berpikir akan mendapat pengalaman yang menarik, melihat apa yang belum dilihat di kedalaman air selama ini. Tetapi ternyata banyak yang rusak," ujar Efin, yang sudah menyelam sejak tahun 2003.

Efin bahkan sempat mendengar suara bom saat melakukan pemantauan di Selat Lamakera Perairan Solor.

"Kalau dari kekuatan suaranya mungkin lokasinya 10 kilometer dari tempat saya menyelam. Di sana memang kan jalur ikan tuna ekor putih dan ikan kecil," jelas Efin.

Kepala Seksi Pengawas dan Pengendalian Dinas Kelautan dan Perikanan Flores Timur Ignasius Usen Aliandu mengatakan aktivitas pemboman di perairan Flores Timur sudah terjadi sejak 1980-an.

Ia mengakui pengawasan yang dilakukan belum bisa optimal karena terbentur masalah fasilitas, dana, dan sumber daya manusia.

Menurut dia, Flores Timur hanya memiliki satu kapal patroli, tidak cukup untuk mengarungi seluruh perairan Flores Timur. Selain itu sekitar 1.500 liter bahan bakar diperlukan untuk patroli secara keseluruhan.

"Wilayah luas tapi dana terbatas. Kami biasanya hanya bisa petroli enam bulan sekali itu pun paling lama dua hari saja, tergantung uangnya. Makanya kalau ada laporan aktivitas pemboman kami tidak berdaya. Ini jadi pekerjaan rumah kita semua," kata Ignasius.

Ia menambahkan kelompok masyarakat juga ikut membantu melakukan pengawasan. Kendati demikian upaya itu belum bisa maksimal mencegah kejahatan perikanan.

Oleh karena itu pemerintah setempat tahun ini berencana memberlakukan hukum adat untuk mencegah dan mengatasi kejahatan perikanan.

"Ini kan daerah adat, masyarakat lebih takut dari regulasi yang formal. Nanti sanksi adat mau dikembangkan. Dua raja yang memimpin di sini, Raja Larantuka dan Raja Sagu punya pengaruh yang besar," katanya.

"Sejak awal proses pencadangan KKPD pun mereka sudah dilibatkan karena di sini apa-apa harus melalui ketua adat," jelas Ignasius.


Jalur migrasi

Perairan Alor dan Flores Timur merupakan jalur migrasi dan tempat mencari makan bagi mamalia laut Samudera pasifik Utara yang menuju Samudera Hindia.

Selama ekspedisi, tidak jarang tim menemukan ikan predator seperti hiu. Penyu serta lumba-lumba juga cukup sering terlihat selama ekspedisi.

Selain itu perairan Alor dan Flores Timur secara ekologis mendukung Laut Banda, Laut Flores dan Laut Sauh.

"Sehingga kalau terumbu karang di perairan tersebut rusak, akan berpengaruh juga ke tiga laut tersebut baik dari segi prikanan maupun ekonomi," jelas Program Monitoring dan Evaluation Officer WWF Indonesia Nara Wisesa.

Kerusakan terumbu karang juga menyebabkan populasi dan variasi spesies ikan di perairan Flores Timur berkurang. Sekarang nelayan harus pergi lebih jauh ke tengah laut untuk mencari ikan. Mencari ikan juga sudah tidak semudah dulu.

Namun kegiatan-kegiatan yang menyebabkan kerusakan terumbu karang saat ini sudah berkurang.

"Aktivitas pemboman masih ada tetapi sedikit berkurang karena ikan masih sedikit. Ikan-ikan yang biasanya jadi umpan ini sedikit karena sudah habis dibom," ujar Ignasius.

Tim ekspedisi juga menemukan potensi perbaikan dengan adanya karang-karang kecil yang baru tumbuh.

"Terlihat dari karang baru yang tumbuh dan ikan-ikan kecil yang terlihat seperti ikan indikator yang memakan pucuk karang dan ikan target. Tetapi peluang recovery tergantung dari pengelolaan ke depan seperti apa," jelas peneliti ikan karang dari WCS Sukmaraharja Aulia Rachman Tarigan.

Kondisi ini memunculkan secercah harapan.

Selanjutnya, kata Nara, tim akan membuat rencana pengelolaan dan zonasi untuk penetapan Perairan Flores Timur sebagai kawasan konservasi berdasarkan data-data terumbu karang dan populasi ikan yang dikumpulkan tim ekspedisi.

"Dalam ekspedisi ini kami tidak hanya melakukan pemantauan di KKPD tetapi juga di luar KKPD (timur Alor, selatan Larantukam utara Adonara) sebagai perbandingan kondisi di dalam dan di luar kawasan untuk mengukur efektivitas dan dampak dari penempatan kawasan," kata Nara.

"Tim juga akan melakukan pemantauan secara ekonomi dan sosial pada September nanti. Dan pemantauan ini akan kami follow up setiap dua tahun sekali," katanya.

Penetapan daerah perairan itu sebagai kawasan konservasi diharapkan bisa melindungi habitat flora dan fauna di wilayah yang termasuk dalam kawasan segitiga terumbu karang tersebut sehingga keragaman hayatinya tetap terjaga, tidak hancur karena tangan-tangan manusia.