Jakarta (ANTARA News) - Sejak awal tahun 2014 ini tentunya pelaku pasar saham sudah banyak melihat berbagai riset fundamental ekonomi maupun kinerja perusahaan tercatat (emiten) di Bursa Efek Indonesia (BEI) terkait dengan suasana Pemilihan Umum (Pemilu).

Pemilu Legislatif yang dilaksanakan pada Rabu, 9 April 2014 terbilang cukup lancar (aman dan damai). Kendati demikian suasana yang lancar itu belum tentu membawa dampak positif bagi industri pasar modal Indonesia. Pasalnya, investor juga masih dibayangi warna-warni sentimen Pemilu Presiden mendatang.

Pasca pelaksanaan Pemilu Legislatif (Kamis, 10/4), indeks harga saham gabungan (IHSG) di BEI ditutup turun sebesar 155,68 poin atau 3,16 persen ke posisi 4.765,73. Namun, pada hari selanjutnya (Jumat, 11/4) pasar saham kembali bergerak menguat sebesar 50,85 poin (1,07 persen) ke posisi 4.816,58.

Kalangan pengamat pasar modal menilai bahwa indeks BEI yang sempat tertekan itu karena belum adanya partai politik yang memiliki atau menembus 25 persen suara nasional. Kondisi itu tentu membuat industri keuangan domestik masih akan menghadapi perhelatan politik.

"Tidak adanya parpol yang mendominasi hasil Pileg memunculkan adanya 'koalisi dagang sapi' dimana secara historis kebijakan yang akan dihasilkan praktis bersifat jangka pendek dan mementingkan partai, dan membuat kekhawatiran investor," ujar Kepala Riset MNC Securities Edwin Sebayang.

Menurut Edwin Sebayang, selama kurun waktu sampai pendaftaran capres dan cawapres ke KPU tanggal 15 Mei mendatang pelaku pasar akan mencermati manuver politik parpol, kondisi itu akan membuat pergerakan pasar saham cenderung bergejolak.

"Satu hal yang perlu dicermati dari awal adalah kemanakah arah IHSG BEI jika calon presiden yang terpilih nanti bukan harapan pasar," ucapnya.

Sementara itu, Chief Investment Strategist PT Astronacci International Gema Goeryadi mengatakan bahwa faktor politik di dalam negeri akan dijadikan "kambing hitam" dimana ekpektasi hasil pemilu yang tidak sesuai harapan akan membuat gejolak pasar saham.

Ia menceritakan bahwa Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) sempat memeriahkan pasar saham ketika partai PDI Perjuangan mendeklarasikan Jokowi sebagai calon presiden. IHSG BEI sempat naik hingga 3,13 persen ke posisi 4.878,64 poin, pada Jumat (14/3).

"Kenaikan saham itu mungkin karena dia (Jokowi) figur yang diharapkan pelaku pasar," kata Gema Goeryadi.


Berlebihan

Namun, ketika partai PDI Perjuangan gagal mendapatkan suara nasional sebesar 25 persen di pemilu legislatif maka muncul perilaku berlebihan yang melampiaskan kekecewaan terhadap hasil pemilu dengan cara melakukan "sell off" pada saham-saham di Bursa Efek Indonesia.

"Pertanyaannya, wajarkah kejatuhan IHSG hanya berlandaskan kekecewaan terhadap hasil pemilu legislatif dan bukan presiden? Haruskah kita begitu ketakutan dan ikut-ikut melakukan panic selling?," ujar Gema mempertanyakan.

Menurut dia, indeks BEI yang sempat jatuh pasca pemilu legislatif cukup mengejutkan karena terjadi di tengah instrumen ekonomi Indonesia yang positif seperti inflasi yang masih terjaga, kurs rupiah yang stabil, serta level suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) yang masih dinilai menarik dalam memberikan imbal hasil.

Artinya, dapat dikatakan bahwa koreksi signifikan yang sempat terjadi di pasar saham itu lebih dilandasi karena faktor psikologis dan bukan dari fundamental ekonomi Indonesia," kata Gema Goeryadi.



Sangat Penting

Direktur Utama Mandiri Sekuritas Abiprayadi Riyanto mengatakan bahwa hasil Pemilu sangat penting bagi industri keuangan, karena dari situ akan terlihat program kerja pemimpin mendatang, apakah sesuai dengan harapan pasar atau sebaliknya.

"Pemimpin mendatang harus dapat membuat fondasi ekonomi yang berasaskan kemandirian dan kesejahteraan rakyat, namun tanpa mengabaikan investor asing yang perannya masih dibutuhkan untuk mempercepat pembangunan nasional," kata Abiprayadi.

"Masa periode menjelang Pilpres, pasar akan ditentukan oleh ekspektasi siapa yang terpilih sebagai Presiden RI selanjutnya untuk terciptanya arah pasar. Poinnya adalah presiden yang tidak market friendly mungkin akan berakibat negatif," ujar Abiprayadi menambahkan.


IHSG Positif

Direktur Penilaian Perusahaan BEI Hoesen optimistis bahwa siapa pun presiden RI nanti IHSG BEI tetap mencatatkan pertumbuhan. Secara historis, tren positif terlihat sejak pemilu sebelumnya yakni pada tahun 1999, 2004 dan 2009.

Dalam catatan pasar modal, pada Pemilu 1999, 2004 dan 2009, indeks BEI mencatatkan kenaikan. Masing-masing dari tahun pemilu itu membukukan pertumbuhan sekitar 70,06 persen, 44,56 persen, dan 86,92 persen.

Perlu dicatat bahwa pada tahun pemilu itu merupakan periode pemulihan pasca krisis, yaitu krisis moneter Indonesia 1998, dan krisis ekonomi dunia 2008. Hanya tahun 2004 saja yang relatif stabil, kendati pada tahun itu pasar obligasi mengalami krisis.

Sementara pada tahun pemilu di 2014 ini, Indonesia sedang berusaha memperbaiki neraca pembayaran Indonesia (NPI) ditambah sentimen negatif dari kebijakan bank sentral AS (the Fed) yang melakukan pengurangan stimulus keuangan (tapering off), serta prediksi Gubernur Fed Janet Yellen yang akan menaikkan suku bunga pada 2015 mendatang menyusul ekspektasi membaiknya ekonomi AS.

"Meski dibayangi beberapa sentimen negatif, BEI tetap optimistis IHSG kembali mencatatkan kinerja positif pasca Pemilu siapapun Presidennya," ujar Hoesen.

Ia menambahkan investor asing yang sejak awal tahun ini cukup gencar menanamkan dananya di lantai bursa diperkirakan masih akan berlanjut.

Pada perdagangan Jumat (11/4) pembelian bersih investor asing (foreign net buy) dalam satu hari mencapai Rp53 miliar. Secara kumulatif sejak awal tahun, beli bersih asing di pasar saham mencapai Rp30,933 triliun.

"Derasnya dana asing yang masuk itu menunjukkan kepercayaan investor global bahwa ekonomi kita cukup positif," ujarnya.

Kendati demikian, Hoesen mengharapkan bahwa pelaksanaan pemilu tidak ricuh yang nantinya dapat membuat anarkis, bukan tidak mungkin pasar saham dan rupiah yang saat ini banyak ditopang oleh asing akan kembali anjlok.

"Investor hanya memilih negara investasi yang aman," ujar dia.


Berorientasi Fundamental

Gejolak pasar saham akibat faktor politik memang cukup mencemaskan sebagian investor. Namun, hal itu seyogianya tidak harus memicu kepanikan berlebihan. Para investor diharapkan lebih bijak berinvestasi dan tidak mengambil keputusan jual secara tergesa-gesa, tanpa pertimbangan matang.

Direktur Utama BEI Ito Warsito berulangkali menegaskan bahwa berinvestasi di pasar saham idealnya dilakukan dengan horizon jangka panjang.

"Fluktuasi pasar dalam jangka pendek tidak perlu dirisaukan. Apalagi kalau gejolak pasar bukan disebabkan faktor fundamental," kata Ito Warsito.

Sebagaimana ditahui, gerak naik atau turunnya harga saham merupakan fenomena lazim yang terjadi di bursa efek. Menurut Ito Warsito, terdapat dua faktor yang membuat harga saham berfluktuasi, yakni faktor fundamental yang terkait dengan kinerja emiten dan faktor sentimen pasar.

Faktor sentimen merupakan rumor atau isu yang beredar di luar industri yang tidak terkait dengan kinerja emiten. Sementara faktor fundamental, menurut Ito Warsito, salah satunya bisa dilihat dari kinerja emiten.

Secara fundamental, Ito Warsito juga tegas mengatakan bahwa tidak ada masalah serius. Secara valuasi emiten Indonesia memberikan "return on equity" (ROE) lebih tinggi dibanding emiten di bursa-bursa regional.

"Itu menjadi salah satu kunci bagi pasar modal domestik dalam mendorong pertumbuhan industri," ucapnya.

Ito Warsito mengemukakan bahwa "return on equity" merupakan hubungan laba tahunan setelah pajak terhadap ekuitas pemegang saham yang tercatat. Rasio itu digunakan sebagai ukuran efektivitas dana pemegang saham yang telah diinvestasikan.

Terlepas dari siapa Presiden yang terpilih nanti, masa-masa setelah Pemilu biasanya akan membuat indeks BEI tetap naik karena setiap pemimpin tentu akan berusaha untuk mencatatkan sejarah positif. (ZMF/A011)