Yogyakarta (ANTARA News) - Peternak sapi dan kerbau tampaknya resah.

Mereka mengeluhkan program swasembada daging yang dicanangkan pemerintah kenyataannya justru terkendala sejumlah kebijakan yang kontraproduktif.

Beberapa kebijakan pemerintah yang dinilai kontraproduktif terhadap program swasembada daging di antaranya mengenai tarif bea masuk, pajak pertambahan nilai, serta protokol importasi ternak dan daging yang berubah-ubah.

Sekjen Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Rochadi Tawaf mengatakan, pencapaian target swasembada daging terkendala sejumlah kebijakan pemerintah yang justru kontraproduktif terhadap program tersebut.

"Kebijakan mengenai tarif bea masuk, pajak pertambahan nilai, serta protokol
importasi ternak dan daging yang berubah-ubah, justru menghambat upaya untuk mencapai swasembada daging," katanya.

Selain itu, menurut dia, masih ada kebijakan yang tidak mendukung program swasembada daging, misalnya terkait pemotongan betina produktif, hingga larangan penggunaan hormon pertumbuhan.

Rochadi juga mempertanyakan sikap ambigu pemerintah yang memperbolehkan impor daging sapi dengan hormon.

"Hal-hal seperti itu yang menyebabkan program swasembada daging sapi terkesan menjadi tidak rasional," katanya.

Ia juga mengatakan, masih banyak peternak sapi di Tanah Air hidup secara subsistem dan belum sejahtera.

"Fenomena itu mengindikasikan bahwa selama ini program pembangunan peternakan tidak berjalan secara konsisten, dan akuntabel sesuai dengan acuan," katanya.

Rochadi menyebutkan, di beberapa lokasi sentra pembibitan sapi di Jawa Barat kondisinya sangat memprihatinkan, dimana kelompok peternak yang diberi beban tugas pembibitan hanya dikawal oleh seorang dokter hewan dengan fasilitas seadanya.

"Akibatnya, kelompok ini tidak berdaya mengendalikan wilayahnya untuk menghasilkan produk sapi bakalan yang berdaya saing," katanya.

Oleh karena itu, ia berharap pemerintah mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang tidak mendukung program swasembada daging, agar Indonesia mampu memenuhi kebutuhan daging nasional secara optimal.

Sementara itu, Ketua Komite Daging Sapi (KDS) Jakarta Raya, Sarman Simanjorang meminta agar program swasembada daging yang tidak berhasil dicapai pada tahun lalu dikaji kembali dan dievaluasi, guna menentukan target jangka panjang.

"Jika dikelola dengan baik, kita sangat optimistis Indonesia bisa mencapai swasembada daging. Itu bisa dilakukan dengan program yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, mulai pemerintah, masyarakat peternak, dunia usaha, khususnya BUMN dan swasta yang tertarik berinvestasi di sektor ini," katanya.

Terkait dengan ketersediaan atau stok daging, Sarman Simanjorang yang juga Wakil Ketua Kadin DKI Jakarta ini, mengatakan pihaknya meminta pemerintah menjaga ketersediaan maupun pasokan daging sapi khususnya untuk memenuhi kebutuhan dunia usaha sejak dini.

"Ketersediaan daging harus diantisipasi sejak dini, supaya tidak terulang kembali krisis daging yang menyebabkan harga daging sapi tidak terkendali," katanya.

Ia juga meminta kepada pemerintah untuk secara berkala mengevaluasi ketersediaan daging lokal maupun daging impor.

"Tahun ini kami memperkirakan kebutuhan daging sapi di wilayah DKI Jakarta bisa menembus 50 ribu ton," katanya.

Terkait dengan itu, Sarman juga berharap pengawasan terhadap importir yang telah mendapat kuota impor harus dimonitor realisasinya, sehingga tetap terjaga dari sisi stok.

Menurut dia, apalagi menjelang lebaran, saat kebutuhan daging dunia usaha dan konsumsi masyarakat meningkat hingga dua kali lipat, maka harus diantisipasi sejak dini.

Ia menekankan Jakarta harus mendapatkan perhatian khusus, karena selama ini pasokan daging ke ibu kota termasuk yang terbanyak, dan hampir seluruhnya dipasok dari luar Jakarta.

Oleh karena itu, pihaknya meminta kuota khusus untuk memenuhi kebutuhan daging ibu kota yang hingga kini belum direspon Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan.

Minta ditunda
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Impor Daging Indonesia (Aspidi) Thomas Sembiring meminta pemerintah menunda program swasembada daging hingga beberapa tahun ke depan.

Ia mengatakan, penundaan program swasembada daging atas pertimbangan belum stabilnya pertumbuhan ekonomi di Tanah Air.

"Swasembada daging terkesan dipaksakan tanpa memperhitungkan kondisi di lapangan, seperti ketersediaan dan pasokan, pertumbuhan konsumsi, dan pertumbuhan produksi," katanya.

Thomas mengatakan, populasi sapi potong pada 2013 hanya sekitar 12,62 juta ekor, atau turun 2,12 juta ekor dibanding 2011.

Di sisi lain, populasi sapi perah juga turun 143.937 ekor, menjadi 453.188 ekor, padahal pada 2011 masih mencapai 597.135 ekor.

Menurut dia, populasi kerbau juga menurun, yakni pada 2013 hanya 1,098 juta ekor, atau turun 207.000 ekor dari populasi 2011 sebanyak 1,305 juta ekor.

"Kondisi ini fakta, jadi kurang tepat jika pemerintah tetap mengejar swasembada daging pada akhir 2014," katanya.

Jika itu dipaksakan, kata dia, maka hampir dapat dipastikan target-target yang telah ditetapkan akan sulit terpenuhi.

Ia meminta pemerintah untuk realistis dan menyusun program swasembada daging nasional secara lebih terencana, sekaligus sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan peternak di Tanah Air.

Sementara itu, Ketua Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana meminta agar urusan yang terkait dengan daging tidak dipolitisasi hingga menimbulkan gejolak harga yang meresahkan, seperti yang terjadi tahun lalu. "Urusan daging jangan lagi ada cemaran politik," kata Teguh Boediyana di Jakarta.

Ia mengatakan daging selama ini erat kaitannya dengan hajat hidup orang banyak, terutama kesejahteraan peternak lokal.

Oleh karena itu, Teguh meminta pemerintah memberikan dukungan dan perlindungan dalam hal pengembangan peternakan rakyat.

"Soal daging memang tetap pada bagaimana potensi lokal harus dikembangkan," katanya.

Bagi peternak, kata dia, impor daging harus diposisikan sebagai pelengkap kebutuhan, bukan sumber pasokan utama.

"Impor harus diposisikan sebagai hal komplementer, hanya sebagai penutup atas kekurangan," katanya.

Pihaknya juga meminta keberpihakan pemerintah kepada peternak lokal melalui berbagai program dukungan, termasuk peremajaan bibit, penguatan modal hingga pelatihan sumber daya peternak.

Harga daging sapi di sejumlah daerah hingga awal April umumnya masih tinggi.

Seperti di pasar tradisional di Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, tingginya harga daging sapi dikeluhkan masyarakat.

"Harganya sangat tinggi, tadi saya beli Rp140.000 per kilogram. Makanya saya hanya beli seperempat kilogram seharga Rp35.000, yang penting ada, karena lagi ingin makan daging," kata Risa, pembeli di Pasar Keramat pada 7 April lalu.

Harga daging sapi saat ini memang sudah terlalu tinggi. Padahal, pada awal 2014 harga daging sapi bertahan di harga Rp110.000 per kilogram.

Jika dibandingkan dengan kondisi normal, harga saat ini sudah sangat tidak wajar.

Dulu, dalam kondisi normal, harga daging sapi berkisar antara Rp70.000 hingga Rp80.000 per kilogram.

"Kalau untuk konsumsi, sekarang terasa berat membeli daging sapi, karena harganya sangat mahal, kecuali kalau untuk acara selamatan, mau tidak mau harus membeli," ujar Risa.

Niah, pedagang di Pasar Keramat, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalsel, mengatakan kenaikan harga daging sapi sudah terjadi di tingkat agen atau pedagang besar, sehingga pedagang eceran terpaksa menyesuaikan harga supaya tetap bisa mendapat keuntungan.

"Kalau kami tidak menyesuaikan harga, kami tidak bisa mendapatkan untung. Kenaikan ini mungkin karena pasokan dagingnya berkurang," ujarnya.