Jakarta, (ANTARA News) - Mas Achmad Santosa, pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL), yang bergerak pada hukum lingkungan, menyebutkan bahwa kasus luapan lumpur PT. Lapindo Brantas sebagai peristiwa bencana alam dan kemanusiaan yang tidak terduga. Menurut Achmad, di Jakarta, Kamis (21/9) kasus lumpur Lapindo yang telah berlangsung lebih dari seratus hari itu telah menimbulkan dampak kerugian material dan immaterial yang tidak sedikit. "Kerugian material yang muncul tentu saja antara lain berupa warga yang kehilangan tempat tinggal, pekerjaan/penghasilan, menurunnya kualitas kesehatan, hilangnya kesempatan mendapat pendidikan, juga kehilangan lingkungan hidup yang sehat dan baik, dan sumber daya alam untuk masa mendatang," kata dia. Sementara dampak kerugian immaterial, lanjut Achmad, antara lain hilangnya rasa aman (dihinggapi rasa takut dan cemas), tercerabutnya orang dari akar budaya dan kehidupan sosial, munculnya konflik horisontal, dan ketiadaan informasi yang menyebabkan kebingungan, ketakutan, dan ketidakpastian. Semua kerugian itu, masih kata Achmad, merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), baik yang diatur dalam konstitusi UUD 1945 maupun kovenan internasional. "Kehilangan tempat tinggal, misalnya, itu merupakan pelanggaran terhadap Pasal 28 H (1) UUD 1945, kehilangan pekerjaan diatur oleh Pasal 28 D (2) UUD 1945, dan hilangnya kesempatan mendapat pendidikan adalah pelanggaran terhadap Pasal 28 C UUD 1945," dia menjelaskan. Kebanyakan pasal yang dilanggar lewat kasus Lapindo, lanjutnya, adalah ketentuan yang tercakup dalam Konvensi Internasional akan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights/ICESR). "Menurunnya kualitas kesehatan telah diatur pada Pasal 12, kehilangan kesempatan pendidikan diatur dalam Pasal 13, kerusakan sumber daya alam untuk generasi sekarang dan masa depan diatur oleh Pasal 1 (2) dan Pasal 25 ICESCR," ujar dia. Lebih lanjut Achmad mengatakan bahwa di Indonesia isu pelanggaran hak atas lingkungan hidup sebagai pelanggaran HAM belumlah begitu populer. "Di Indonesia, hak atas lingkungan hidup yang sehat atau baik pertama kali diperkenalkan lewat UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok tentang Lingkungan Hidup, yang kemudian diganti dengan UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup," katanya. Secara eksplisit, hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik di Indonesia diakui sebagai HAM melalui Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).(*)