Jika ditarik dari kacamata sejarah sebagai sebuah negara, salah satu peristiwa besar tonggak demokrasi bangsa Indonesia dimulai pada tahun 1955 ketika negara ini baru pertama kali mengadakan pemilihan umum dan membentuk dua lembaga negara, yakni parlemen (kini DPR) dan Konstituante.
Sejarah juga mencatat, sebagai negara muda, dasar peletakan demokrasi melalui pemilihan umum itu tak berjalan lancar. Setelah pemilu tersebut tidak dilanjutkan pada 5 tahun berikutnya usai Presiden Soekarno menetapkan demokrasi terpimpin yang termaktub dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Ketetapan MPRS No.VIII/MPRS/1965.
Pemilu multipartai baru kembali digelar pada tahun 1971 setelah terjadi pergantian rezim, dari Orde Lama ke Orde Baru.
Dalam perjalanan panjang sebuah negara-bangsa (state-nation) dengan meletakkan demokrasi dalam penyelenggaraan negara, Indonesia seperti membuka keran ruang terbuka melalui Reformasi 1998.
Namun ihwal hasil, waktu pula yang menjawabnya. Karena, hingga 79 tahun republik ini berdiri, sebenarnya negara ini masih terus belajar dan berjuang mempratikkan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Fluktuasi mutu kehidupan berdemokrasi bangsa ini tidak terlepas dari faktor melemahnya lembaga-lembaga penopang tegaknya keadilan, baik eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. Muruah dari lembaga-lembaga pilar demokrasi yang seharusnya bertugas menopang kemauan rakyat itu malah cenderung mempertontonkan keberpihakan dari kepentingan kelompok tertentu.
Sejarah kata demokrasi
Meminjam istilah demokrasi yang dikemukakan oleh penulis sosialis Wales, Raymond Williams dalam bukunya A Vocabulary of Culture and Society, disebutkan bahwa demokrasi merupakan kata yang sangat lama sekaligus bermakna begitu kompleks.
Williams menelusuri jejak kata demokrasi yang masuk ke dalam bahasa Inggris pada abad ke-16 sebagai kata serapan dari bahasa Yunani, demos dan kratos. Menurut Williams, konsep demokrasi secara semantik terus-menerus berubah, bahkan hingga akhir abad ke-19, demokrasi malah mempunyai makna negatif.
Namun, membahas demokrasi tak dapat dilepaskan dari para pemikir Yunani seperti Plato. Plato, yang begitu abadi dengan karyanya, "Republik", mengatakan bahwa demokrasi akan terlaksana ketika kaum miskin berhasil menghancurkan musuhnya, menjagal sebagian dari mereka, dan yang tersisa diberi hak, dan kemerdekaan yang sama ("Tirani Demokrasi" karya Sapardi Djoko Damono).
Lalu dari ujaran Plato tersebut muncul konsep turunan yang dikemukakan oleh negarawan Yunani bernama Solon, yang meletakkan demokrasi Athena melalui konsep, yang kemudian menjadi mantra klasik demokrasi "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat".
Jargon yang berumur tua tersebut menjadi pegangan oleh banyak negara demokrasi, termasuk Indonesia yang berbentuk republik, hingga kini. Namun jika dicermati, konsep-konsep demokrasi kini seolah menjadi mainan para elite dalam kontestasi politik di sejumlah negara untuk menarik simpati dan suara rakyat.
Pada tahun 1998 bahkan kata demokrasi dipelesetkan menjadi 'demo-crazy', yang menurut Sapardi Djoko Damono sebagai kecenderungan untuk melecehkan aksi unjuk rasa dan konsep demokrasi itu sendiri.
Tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis tentu bukan sebuah kondisi yang tiba-tiba ada. Dalam perjalanannya harus terus diperjuangkan melalui kultur berdemokrasi yang disepakati. Tanpa penghargaan pada budaya berdemokrasi, konsepsi bernegara yang demokratis itu akan terhenti pada tataran diskursus belaka. Ia asyik diperbincangkan, namun mentah di implementasi.
Belajar berdemokrasi
Dalam konsep berdemokrasi ala Plato, ia menggambarkan sosok Sokrates yang berani dan kritis terhadap tirani kuasa politik sekaligus loyal kepada negara.
Sokrates merupakan gambaran masyarakat yang dewasa karena memang secara harfiah negara harus selalu dikritik karena negara memegang mandat dan kepentingan warga negara.
Koridor berdemokrasi tersebut memberikan kekuasaan kepada masyarakat untuk menciptakan kondisi demokrasi yang sehat. Kontrol atas penyelenggaraan negara tersebut memungkinkan ketika lembaga-lembaga negara secara substansial tidak menjalankan kepentingan publik.
Dengan kondisi ketika logika berpolitik di masa-masa kini cenderung untuk bagi-bagi hajat hidup golongan tertentu, tak ayal selama 26 tahun pascareformasi, negeri ini masih terpaku pada fase "belajar" berdemokrasi.
Menjaga muruah demokrasi memang tak lepas dengan persoalan moral dan etika, yakni berupa ruang pengabdian, bukan ruang pemenuhan nafsu pribadi terhadap orang lain maupun penguasaan sumber-sumber yang lain. Demokrasi tak semestinya menjadi senjata kekuasaan oleh mayoritas yang memegang kendali kuasa.
Indonesia yang hingga kini masih terus belajar demokrasi tak lepas dari masalah kompleks dalam memahami bagaimana demokrasi itu sendiri, yang berakar dari proses keterwakilan rakyat melalui pemilu.
Pemilu yang diharapkan menjadi produk demokrasi, hingga sekarang masih melekat kuat anggapan sebagai "politik dagang sapi", yang muncul sejak Pemilu 1955. "Politik dagang sapi" merupakan istilah yang digunakan untuk praktik-praktik politik yang sarat akan transaksi kekuasaan.
Tugas dan tanggung jawab sebagai wakil rakyat tak akan berjalan efektif memenuhi hajat hidup orang banyak manakala praktik-praktik politik dari wakil rakyat sekadar untuk menguntungkan sekelompok atau golongan tertentu. Realitas berpolitik tidak lebih sekadar kontestasi untuk perebutan kekuasaan privat yang direpresentasikan seolah sebagai kepentingan publik.
Mimpi luhur berdemokrasi dari para pendiri bangsa besar ini tak sepatutnya menjadi angan-angan saja. Untuk Indonesia yang lebih baik dan menuju cita-cita besar Indonesia Emas 2045, maka demokrasi harus dipraktikkan secara konsisten.
Mengambil pemikiran Bung Hatta yang mengatakan bahwa rakyat merupakan jantung dari demokrasi, maka sudah barang tentu keterlibatan rakyat dan keterwakilan rakyat dalam proses bernegara, menjadi prioritas utama.
Pada 27 November mendatang, bangsa ini akan kembali menggelar perhelatan politik akbar melalui Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2024.
Proses elektoral dalam seleksi memilih pemimpin terbaik daerah tersebut harus menjadi momentum untuk merawat sekaligus membenahi mutu kehidupan berdemokrasi.
Editor: Achmad Zaenal M
Sejarah juga mencatat, sebagai negara muda, dasar peletakan demokrasi melalui pemilihan umum itu tak berjalan lancar. Setelah pemilu tersebut tidak dilanjutkan pada 5 tahun berikutnya usai Presiden Soekarno menetapkan demokrasi terpimpin yang termaktub dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Ketetapan MPRS No.VIII/MPRS/1965.
Pemilu multipartai baru kembali digelar pada tahun 1971 setelah terjadi pergantian rezim, dari Orde Lama ke Orde Baru.
Dalam perjalanan panjang sebuah negara-bangsa (state-nation) dengan meletakkan demokrasi dalam penyelenggaraan negara, Indonesia seperti membuka keran ruang terbuka melalui Reformasi 1998.
Namun ihwal hasil, waktu pula yang menjawabnya. Karena, hingga 79 tahun republik ini berdiri, sebenarnya negara ini masih terus belajar dan berjuang mempratikkan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Fluktuasi mutu kehidupan berdemokrasi bangsa ini tidak terlepas dari faktor melemahnya lembaga-lembaga penopang tegaknya keadilan, baik eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. Muruah dari lembaga-lembaga pilar demokrasi yang seharusnya bertugas menopang kemauan rakyat itu malah cenderung mempertontonkan keberpihakan dari kepentingan kelompok tertentu.
Sejarah kata demokrasi
Meminjam istilah demokrasi yang dikemukakan oleh penulis sosialis Wales, Raymond Williams dalam bukunya A Vocabulary of Culture and Society, disebutkan bahwa demokrasi merupakan kata yang sangat lama sekaligus bermakna begitu kompleks.
Williams menelusuri jejak kata demokrasi yang masuk ke dalam bahasa Inggris pada abad ke-16 sebagai kata serapan dari bahasa Yunani, demos dan kratos. Menurut Williams, konsep demokrasi secara semantik terus-menerus berubah, bahkan hingga akhir abad ke-19, demokrasi malah mempunyai makna negatif.
Namun, membahas demokrasi tak dapat dilepaskan dari para pemikir Yunani seperti Plato. Plato, yang begitu abadi dengan karyanya, "Republik", mengatakan bahwa demokrasi akan terlaksana ketika kaum miskin berhasil menghancurkan musuhnya, menjagal sebagian dari mereka, dan yang tersisa diberi hak, dan kemerdekaan yang sama ("Tirani Demokrasi" karya Sapardi Djoko Damono).
Lalu dari ujaran Plato tersebut muncul konsep turunan yang dikemukakan oleh negarawan Yunani bernama Solon, yang meletakkan demokrasi Athena melalui konsep, yang kemudian menjadi mantra klasik demokrasi "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat".
Jargon yang berumur tua tersebut menjadi pegangan oleh banyak negara demokrasi, termasuk Indonesia yang berbentuk republik, hingga kini. Namun jika dicermati, konsep-konsep demokrasi kini seolah menjadi mainan para elite dalam kontestasi politik di sejumlah negara untuk menarik simpati dan suara rakyat.
Pada tahun 1998 bahkan kata demokrasi dipelesetkan menjadi 'demo-crazy', yang menurut Sapardi Djoko Damono sebagai kecenderungan untuk melecehkan aksi unjuk rasa dan konsep demokrasi itu sendiri.
Tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis tentu bukan sebuah kondisi yang tiba-tiba ada. Dalam perjalanannya harus terus diperjuangkan melalui kultur berdemokrasi yang disepakati. Tanpa penghargaan pada budaya berdemokrasi, konsepsi bernegara yang demokratis itu akan terhenti pada tataran diskursus belaka. Ia asyik diperbincangkan, namun mentah di implementasi.
Belajar berdemokrasi
Dalam konsep berdemokrasi ala Plato, ia menggambarkan sosok Sokrates yang berani dan kritis terhadap tirani kuasa politik sekaligus loyal kepada negara.
Sokrates merupakan gambaran masyarakat yang dewasa karena memang secara harfiah negara harus selalu dikritik karena negara memegang mandat dan kepentingan warga negara.
Koridor berdemokrasi tersebut memberikan kekuasaan kepada masyarakat untuk menciptakan kondisi demokrasi yang sehat. Kontrol atas penyelenggaraan negara tersebut memungkinkan ketika lembaga-lembaga negara secara substansial tidak menjalankan kepentingan publik.
Dengan kondisi ketika logika berpolitik di masa-masa kini cenderung untuk bagi-bagi hajat hidup golongan tertentu, tak ayal selama 26 tahun pascareformasi, negeri ini masih terpaku pada fase "belajar" berdemokrasi.
Menjaga muruah demokrasi memang tak lepas dengan persoalan moral dan etika, yakni berupa ruang pengabdian, bukan ruang pemenuhan nafsu pribadi terhadap orang lain maupun penguasaan sumber-sumber yang lain. Demokrasi tak semestinya menjadi senjata kekuasaan oleh mayoritas yang memegang kendali kuasa.
Indonesia yang hingga kini masih terus belajar demokrasi tak lepas dari masalah kompleks dalam memahami bagaimana demokrasi itu sendiri, yang berakar dari proses keterwakilan rakyat melalui pemilu.
Pemilu yang diharapkan menjadi produk demokrasi, hingga sekarang masih melekat kuat anggapan sebagai "politik dagang sapi", yang muncul sejak Pemilu 1955. "Politik dagang sapi" merupakan istilah yang digunakan untuk praktik-praktik politik yang sarat akan transaksi kekuasaan.
Tugas dan tanggung jawab sebagai wakil rakyat tak akan berjalan efektif memenuhi hajat hidup orang banyak manakala praktik-praktik politik dari wakil rakyat sekadar untuk menguntungkan sekelompok atau golongan tertentu. Realitas berpolitik tidak lebih sekadar kontestasi untuk perebutan kekuasaan privat yang direpresentasikan seolah sebagai kepentingan publik.
Mimpi luhur berdemokrasi dari para pendiri bangsa besar ini tak sepatutnya menjadi angan-angan saja. Untuk Indonesia yang lebih baik dan menuju cita-cita besar Indonesia Emas 2045, maka demokrasi harus dipraktikkan secara konsisten.
Mengambil pemikiran Bung Hatta yang mengatakan bahwa rakyat merupakan jantung dari demokrasi, maka sudah barang tentu keterlibatan rakyat dan keterwakilan rakyat dalam proses bernegara, menjadi prioritas utama.
Pada 27 November mendatang, bangsa ini akan kembali menggelar perhelatan politik akbar melalui Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2024.
Proses elektoral dalam seleksi memilih pemimpin terbaik daerah tersebut harus menjadi momentum untuk merawat sekaligus membenahi mutu kehidupan berdemokrasi.
Editor: Achmad Zaenal M