Raden Pardede bantah ubah tambahan modal Century
8 April 2014 01:15 WIB
Mantan Sekretaris Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) Bank Indonesia Raden Pardede menjawab sejumlah pertanyaan wartawan setibanya di KPK, Jakarta, Senin (10/6). Raden Pardede diperiksa sebagai saksi terkait pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penentuan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A) ()
Jakarta (ANTARA News) - Mantan Sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Raden Pardede membantah telah mengubah jumlah tambahan modal kepada Bank Century saat menetapkan bank tersebut sebagai bank gagal berdampak sistemik dari awalnya Rp1,77 triliun menjadi Rp632 miliar.
"Rp632 miliar itu dari Bank Indonesia, semua angka dari BI, tidak ada tambahan angka dari kami (KSSK)," kata Raden Pardede dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (7/4).
Dalam surat dakwaan disebutkan Raden Pardede mengubah kalimat "untuk mencapai CAR delapan persen dibutuhkan tambahan modal sebesar Rp1,77 triliun diubah menjadi tambahan modal sebesar Rp632 miliar" dengan tujuan agar disetujui oleh Menteri Keuangan. Raden mengaku sebagai sekretaris KSSK ditugaskan untuk melihat mekanisme rapat KSSK pada 20 November 2008.
"Kami sebagai sekretaris KSSK ditugaskan melihat mekanisme rapat disebutkan yang harus dipenuhi kelengkapan dokumen-dokumennya, seperti analisa sistemik dan apa rekomendasi BI, agar kelengkapan dokumen sesuai prosedur," ungkap Raden.
Kelengkapan dokumen yang dimaksudkan Raden termasuk lampiran nomor satu yang memuat angka tambahan modal untuk Century karena ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik, yang awalnya dihitung pengawas BI sebesar Rp1,7 triliun tapi diubah menjadi hanya Rp632 miliar.
"Yang mengubah adalah BI, kami tanyakan apakah angka-angka itu sudah pasti? Karena kalau dilihat di situ angka Rp632 miliar sudah pasti dan perhitungan CAR-nya jelas dasarnya lalu saya bertanya angka Rp1,7 triliun sudah pasti atau tidak? Karena kami harus tanyakan angka-angka itu berdasarkan mekanisme rapat," kata Raden Pardede menjelaskan.
Artinya dia menegaskan bahwa ia sebagai sekretaris KSSK hanya bertanya mengenai jumlah modal dan bila akhirnya diubah hal itu juga merupakan kewenangan dan inisiatif BI.
"Kalau kami bertanya seperti itu lalu diubah oleh BI maka itu dilakukan BI, inisiatif bukan dari kami, kami hanya tanyakan angka Rp1,7 triliun sudah fix atau tidak tapi mereka ragu dan ternyata Rp632 miliar itu masih bertambah lagi jadi tidak fix Rp1,7 triliun karena buktinya beberapa hari kemudian yaitu pada 24 November angka Rp1,7 triliun menjadi berubah Rp2,6 triliun dan sehingga angka yang pasti adalah Rp632 miliar per 31 Oktober dan ditambahkan masih akan bertambah lagi, jelas Raden.
Setelah itu, lampiran ditandatangnai oleh Gubernur Bank Indonesia Boediono selaku anggota KSSK dan diparaf oleh para deputi gubernur BI.
"Apakah saya melakukan penekanan kepada BI? Saya pikir merendahkan seluruh derajat gubernur BI dan banyak sekali yang hadir di situ, kalau mau ditanya silakan ditanyakan ke seluruh orang yang hadir pada rapat KSSK 20 November 2008," tambah Raden.
Namun Deputi Direktur Direktorat Pengawasan Bank 1 (DPB 1) Heru Kristiyana dalam sidang yang sama menegaskan bahwa bukan BI yang mengubah angka tersebut.
"Saya tegaskan bukan BI yang mengubah menjadi Rp632 miliar tapi karena perdebatan panjang sekali sehingga ditambahkan kalimat jumlah akan bertambah karena kami tidak setuju, ini sarannya pak Raden, bukan BI," kata Heru.
Penjelasannya adalah karena BI sudah menghitung dana yang dibutuhkan adalah sebesar Rp1,7 triliun, selanjutnya berdasarkan kebutuhan tiga bulan ke depan adalah Rp4,7 triliun.
"Ada diskusi antara pengawas bank dan Pak Raden dan intinya jumlahnya tidak seperti itu, karena Pak Raden minta Rp632 miliar, namun itu yang tidak saya paham kenapa dia (Pak Raden) ikut mengubah padahal dia tidak tahu persis pengawasan dan angka-angkanya," tambah Heru
Untuk menunjukkan ketidaksetujuan pihak pengawas bank, Pengawas Bank Direktorat Pengawasan Bank 1 Pahla Santoso menambahkan keterangan dari jumlah Rp632 miliar tersebut.
"Akhirnya dicantumkan Rp632 miliar dengan tambahan jumlah tersebut akan bertambah seiring dengan pemburukan kondisi bank," kata Pahla.
Sehingga yang ditandatangani oleh Gubernur BI saat itu Boediono adalah pemberian kebutuhan modal dan likuiditas Rp632 miliar.
Menurut staf Gubernur BI yang menyiapkan pidato Boediono, Dicky Kariyono, Raden meminta perubahan nilai tersebut karena khawatir permintaan dana ditolak Kementerian Keuangan.
"Awalnya diserahkan ke Pak Boediono tapi ditanya sudah diteliti sekretaris KSSK atau belum? dan kemudian diteliti sekretaris, bagaimana isi diterima KSSK? Karena khawatir kalau Rp1,7 triliun dimasukkin akan dtolak KSSK, maka kami dilema karena BI sudah memutuskan tapi karena sudah di-review oleh sekretaris KSSK dan kalau belum di-review tidak bisa diterima, maka dicari jalan kompromi dengan kalimat penambahan itu," ungkap Dicky.
Jaksa KPK mendakwa Budi Mulya dengan dakwaan primer dari pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) KUHP; dan dakwaan subsider dari pasal 3 o Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara. Ancaman pelaku yang terbukti melanggar pasal tersebut adalah pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar. (D017/Z002)
"Rp632 miliar itu dari Bank Indonesia, semua angka dari BI, tidak ada tambahan angka dari kami (KSSK)," kata Raden Pardede dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (7/4).
Dalam surat dakwaan disebutkan Raden Pardede mengubah kalimat "untuk mencapai CAR delapan persen dibutuhkan tambahan modal sebesar Rp1,77 triliun diubah menjadi tambahan modal sebesar Rp632 miliar" dengan tujuan agar disetujui oleh Menteri Keuangan. Raden mengaku sebagai sekretaris KSSK ditugaskan untuk melihat mekanisme rapat KSSK pada 20 November 2008.
"Kami sebagai sekretaris KSSK ditugaskan melihat mekanisme rapat disebutkan yang harus dipenuhi kelengkapan dokumen-dokumennya, seperti analisa sistemik dan apa rekomendasi BI, agar kelengkapan dokumen sesuai prosedur," ungkap Raden.
Kelengkapan dokumen yang dimaksudkan Raden termasuk lampiran nomor satu yang memuat angka tambahan modal untuk Century karena ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik, yang awalnya dihitung pengawas BI sebesar Rp1,7 triliun tapi diubah menjadi hanya Rp632 miliar.
"Yang mengubah adalah BI, kami tanyakan apakah angka-angka itu sudah pasti? Karena kalau dilihat di situ angka Rp632 miliar sudah pasti dan perhitungan CAR-nya jelas dasarnya lalu saya bertanya angka Rp1,7 triliun sudah pasti atau tidak? Karena kami harus tanyakan angka-angka itu berdasarkan mekanisme rapat," kata Raden Pardede menjelaskan.
Artinya dia menegaskan bahwa ia sebagai sekretaris KSSK hanya bertanya mengenai jumlah modal dan bila akhirnya diubah hal itu juga merupakan kewenangan dan inisiatif BI.
"Kalau kami bertanya seperti itu lalu diubah oleh BI maka itu dilakukan BI, inisiatif bukan dari kami, kami hanya tanyakan angka Rp1,7 triliun sudah fix atau tidak tapi mereka ragu dan ternyata Rp632 miliar itu masih bertambah lagi jadi tidak fix Rp1,7 triliun karena buktinya beberapa hari kemudian yaitu pada 24 November angka Rp1,7 triliun menjadi berubah Rp2,6 triliun dan sehingga angka yang pasti adalah Rp632 miliar per 31 Oktober dan ditambahkan masih akan bertambah lagi, jelas Raden.
Setelah itu, lampiran ditandatangnai oleh Gubernur Bank Indonesia Boediono selaku anggota KSSK dan diparaf oleh para deputi gubernur BI.
"Apakah saya melakukan penekanan kepada BI? Saya pikir merendahkan seluruh derajat gubernur BI dan banyak sekali yang hadir di situ, kalau mau ditanya silakan ditanyakan ke seluruh orang yang hadir pada rapat KSSK 20 November 2008," tambah Raden.
Namun Deputi Direktur Direktorat Pengawasan Bank 1 (DPB 1) Heru Kristiyana dalam sidang yang sama menegaskan bahwa bukan BI yang mengubah angka tersebut.
"Saya tegaskan bukan BI yang mengubah menjadi Rp632 miliar tapi karena perdebatan panjang sekali sehingga ditambahkan kalimat jumlah akan bertambah karena kami tidak setuju, ini sarannya pak Raden, bukan BI," kata Heru.
Penjelasannya adalah karena BI sudah menghitung dana yang dibutuhkan adalah sebesar Rp1,7 triliun, selanjutnya berdasarkan kebutuhan tiga bulan ke depan adalah Rp4,7 triliun.
"Ada diskusi antara pengawas bank dan Pak Raden dan intinya jumlahnya tidak seperti itu, karena Pak Raden minta Rp632 miliar, namun itu yang tidak saya paham kenapa dia (Pak Raden) ikut mengubah padahal dia tidak tahu persis pengawasan dan angka-angkanya," tambah Heru
Untuk menunjukkan ketidaksetujuan pihak pengawas bank, Pengawas Bank Direktorat Pengawasan Bank 1 Pahla Santoso menambahkan keterangan dari jumlah Rp632 miliar tersebut.
"Akhirnya dicantumkan Rp632 miliar dengan tambahan jumlah tersebut akan bertambah seiring dengan pemburukan kondisi bank," kata Pahla.
Sehingga yang ditandatangani oleh Gubernur BI saat itu Boediono adalah pemberian kebutuhan modal dan likuiditas Rp632 miliar.
Menurut staf Gubernur BI yang menyiapkan pidato Boediono, Dicky Kariyono, Raden meminta perubahan nilai tersebut karena khawatir permintaan dana ditolak Kementerian Keuangan.
"Awalnya diserahkan ke Pak Boediono tapi ditanya sudah diteliti sekretaris KSSK atau belum? dan kemudian diteliti sekretaris, bagaimana isi diterima KSSK? Karena khawatir kalau Rp1,7 triliun dimasukkin akan dtolak KSSK, maka kami dilema karena BI sudah memutuskan tapi karena sudah di-review oleh sekretaris KSSK dan kalau belum di-review tidak bisa diterima, maka dicari jalan kompromi dengan kalimat penambahan itu," ungkap Dicky.
Jaksa KPK mendakwa Budi Mulya dengan dakwaan primer dari pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) KUHP; dan dakwaan subsider dari pasal 3 o Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara. Ancaman pelaku yang terbukti melanggar pasal tersebut adalah pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar. (D017/Z002)
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014
Tags: