IDAI: Pertusis di Indonesia banyak yang tidak terdata
23 Agustus 2024 16:27 WIB
Ilustrasi - Petugas Puskesmas Pahandut menyuntikkan vaksin imunisasi Difteri Pertusis Tetanus (DPT) kepada balita saat giat layanan imunisasi gratis di Posyandu Karya Sehati, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Senin (6/3/2023). ANTARA FOTO/Makna Zaezar/hp.
Jakarta (ANTARA) - Ketua unit kerja koordinasi infeksi penyakit tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr. dr. Anggraini Alam Sp.A(K) mengatakan angka kejadian pertusis di Indonesia banyak yang tidak terdata sehingga menyebabkan adanya peningkatan kasus di tahun 2022.
“Sebelum 2022 WHO mendata hanya 4 per seratus ribu populasi di Indonesia yang katanya mengalami pertusis, ini bukan berhasil, tetapi ini karena ada kurang update Indonesia sebelum adanya surveillance, kewaspadaan kita kurang,” kata Anggraini dalam diskusi daring yang diikuti di Jakarta, Jumat.
Anggraini menyebut umumnya angka pertusis di negara berkembang, termasuk di Indonesia tidak terlaporkan dengan baik karena sistem infrastruktur pemantauan pertusis yang belum optimal serta diagnosis yang terlambat.
Baca juga: Dinkes Sulsel terbitkan edaran persiapan antibiotik waspada pertusis
Kebanyakan gejala batuk yang didefinisikan sebagai pertusis, baru bisa didapatkan setelah pasien batuk selama dua minggu diiringi muntah yang menandakan sudah masuk ke stadium 2.
Di Indonesia, kata Anggraini, Kementerian Kesehatan baru mulai melakukan pemantauan khusus untuk mendapatkan angka kejadian pertusis pada tahun 2022 dengan meluncurkan buku petunjuk teknis surveilans pertusis.
“Ternyata di 2023 naik pesat 5,5 kali lipat dan dari 38 provinsi, 30 antaranya begitu di cek laboratoriumnya, ketemu pertusis, akhirnya ini menjadi outbreak,” kata Anggraini.
Baca juga: Cakupan imunisasi yang meningkat bisa kurangi polio hingga tetanus
Data ini juga mendapati bahwa pertusis diderita hampir 40 persen bayi di bawah satu tahun dan hampir 80 persennya tidak diimunisasi. Outbreak juga didapati terjadi di daerah-daerah dengan padat penduduk seperti Pulau Jawa dan Sumatera.
Anggraini mengatakan pertusis harus dicegah dan diminimalisasi terutama pada bayi, karena satu saja pertusis yang dilaporkan maka sudah bisa disebut Kejadian Luar Biasa (KLB) karena 90 persen sekitarnya pasti tertular.
Kemenkes memberikan tata cara pertusis dan cara mencegahnya dengan meningkatkan cakupan imunisasi dengan sebaik-baiknya.
Baca juga: IDAI: vaksinasi ulang dimungkinkan bagi korban vaksin palsu
“Imunisasi kita mulai naik namun angka ini tidak bisa dikatakan baik karena pertusis bisa menularkan 17 orang lainnya makanya cakupannya harus 95 persen yang divaksin, karena di sanalah terjadi sumber KLB,” katanya.
Imunisasi yang perlu ditingkatkan dan dilengkapi adalah DTP-1 yang baru 91,4 persen di tahun 2023, DTP-2, DTP-3 dan DTP-4 yang belum mencapai 95 persen.
Ia berharap 2024 bayi dan anak dapat melengkapi imunisasi DTP yang juga termasuk program pemerintah untuk usia 2,3,4 hingga 18 bulan, serta usia lima sampai tujuh tahun dan usia SD sampai remaja untuk menghindari pertusis.
“Kita juga harus memperkenalkan pertusis dengan batuk terus-menerus minimal dua minggu lebih dengan tanda muntah tanpa sebab, henti nafas, maka mohon segera ke faskes terdekat untuk dilakukan pemeriksaan,” katanya.
Baca juga: Dokter ingatkan batuk dan pilek bukan kontraindikasi imunisasi
Baca juga: Beberapa perbedaan batuk berdasarkan sifat akutnya
“Sebelum 2022 WHO mendata hanya 4 per seratus ribu populasi di Indonesia yang katanya mengalami pertusis, ini bukan berhasil, tetapi ini karena ada kurang update Indonesia sebelum adanya surveillance, kewaspadaan kita kurang,” kata Anggraini dalam diskusi daring yang diikuti di Jakarta, Jumat.
Anggraini menyebut umumnya angka pertusis di negara berkembang, termasuk di Indonesia tidak terlaporkan dengan baik karena sistem infrastruktur pemantauan pertusis yang belum optimal serta diagnosis yang terlambat.
Baca juga: Dinkes Sulsel terbitkan edaran persiapan antibiotik waspada pertusis
Kebanyakan gejala batuk yang didefinisikan sebagai pertusis, baru bisa didapatkan setelah pasien batuk selama dua minggu diiringi muntah yang menandakan sudah masuk ke stadium 2.
Di Indonesia, kata Anggraini, Kementerian Kesehatan baru mulai melakukan pemantauan khusus untuk mendapatkan angka kejadian pertusis pada tahun 2022 dengan meluncurkan buku petunjuk teknis surveilans pertusis.
“Ternyata di 2023 naik pesat 5,5 kali lipat dan dari 38 provinsi, 30 antaranya begitu di cek laboratoriumnya, ketemu pertusis, akhirnya ini menjadi outbreak,” kata Anggraini.
Baca juga: Cakupan imunisasi yang meningkat bisa kurangi polio hingga tetanus
Data ini juga mendapati bahwa pertusis diderita hampir 40 persen bayi di bawah satu tahun dan hampir 80 persennya tidak diimunisasi. Outbreak juga didapati terjadi di daerah-daerah dengan padat penduduk seperti Pulau Jawa dan Sumatera.
Anggraini mengatakan pertusis harus dicegah dan diminimalisasi terutama pada bayi, karena satu saja pertusis yang dilaporkan maka sudah bisa disebut Kejadian Luar Biasa (KLB) karena 90 persen sekitarnya pasti tertular.
Kemenkes memberikan tata cara pertusis dan cara mencegahnya dengan meningkatkan cakupan imunisasi dengan sebaik-baiknya.
Baca juga: IDAI: vaksinasi ulang dimungkinkan bagi korban vaksin palsu
“Imunisasi kita mulai naik namun angka ini tidak bisa dikatakan baik karena pertusis bisa menularkan 17 orang lainnya makanya cakupannya harus 95 persen yang divaksin, karena di sanalah terjadi sumber KLB,” katanya.
Imunisasi yang perlu ditingkatkan dan dilengkapi adalah DTP-1 yang baru 91,4 persen di tahun 2023, DTP-2, DTP-3 dan DTP-4 yang belum mencapai 95 persen.
Ia berharap 2024 bayi dan anak dapat melengkapi imunisasi DTP yang juga termasuk program pemerintah untuk usia 2,3,4 hingga 18 bulan, serta usia lima sampai tujuh tahun dan usia SD sampai remaja untuk menghindari pertusis.
“Kita juga harus memperkenalkan pertusis dengan batuk terus-menerus minimal dua minggu lebih dengan tanda muntah tanpa sebab, henti nafas, maka mohon segera ke faskes terdekat untuk dilakukan pemeriksaan,” katanya.
Baca juga: Dokter ingatkan batuk dan pilek bukan kontraindikasi imunisasi
Baca juga: Beberapa perbedaan batuk berdasarkan sifat akutnya
Pewarta: Fitra Ashari
Editor: Siti Zulaikha
Copyright © ANTARA 2024
Tags: