Amnesty: Aksi protes “Peringatan Darurat” harus bebas ancaman
22 Agustus 2024 14:38 WIB
Foto udara massa aksi saat berunjuk rasa menolak pengesahan Revisi UU Pilkada di depan Gedung DPR, Jakarta, Kamis (22/8/2024). Unjuk rasa tersebut merupakan bagian dari gerakan peringatan darurat Indonesia yang viral di media sosial setelah DPR bermanuver mengabaikan putusan MK. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww.
Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan bahwa aksi protes Peringatan Darurat yang dilaksanakan oleh berbagai kalangan, salah satunya mahasiswa, di kawasan Gedung DPR/MPR RI, Jakarta Selatan, harus bebas dari ancaman.
“Siapa pun berhak mengutarakan pandangannya secara damai terhadap situasi negara ini, termasuk aksi protes yang dilakukan mahasiswa,” kata Usman dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan, protes terhadap kebijakan negara ataupun perilaku elite politik adalah hal yang wajar, sah, dan dijamin dalam hukum hak asasi manusia (HAM) internasional.
“Bahkan dalam sejarah, protes memainkan peran penting dalam memastikan hak asasi manusia ditegakkan oleh negara,” ucapnya.
Selain itu, ia mengatakan bahwa protes merupakan representasi ruang sipil yang harus dijamin kebebasannya oleh negara. Hukum internasional mewajibkan setiap negara untuk menghormati prinsip dasar hak asasi manusia, seperti kebebasan berekspresi dan berserikat.
“Ruang sipil yang bebas, tanpa ancaman, mendorong akses terhadap keadilan,” kata dia.
Oleh karena itu, ia meminta agar penggunaan kekerasan berlebihan dalam menanggapi protes damai harus dihindari.
“Penggunaan gas air mata, meriam air, maupun tongkat secara serampangan sering dilakukan oleh aparat dalam menanggapi protes-protes damai sebelumnya. Hal ini tidak boleh terulang,” ucapnya.
Pada hari ini, massa dari berbagai kalangan melakukan aksi demonstrasi terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada. Gerakan massa itu berawal dari ajakan di media sosial yang menggunakan gambar Garuda dengan latar biru tua dan bertuliskan 'Peringatan Darurat'.
Diketahui, RUU Pilkada itu menuai pro dan kontra karena dinilai dibahas secara singkat pada Rabu (21/8) oleh Badan Legislasi DPR RI. Pasalnya pembahasan itu dinilai tak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang diputuskan pada Selasa (20/8) tentang syarat pencalonan pada Pilkada.
Adapun polisi telah menyiapkan sebanyak 2.975 personel untuk mengantisipasi pengamanan unjuk rasa di dua kawasan, yakni Gedung Mahkamah Konstitusi dan MPR/DPR RI.
Jumlah personel tersebut terdiri dari satuan tugas daerah (Satgasda) sebanyak 1.881 personel, satuan tugas resor (Satgasres) sebanyak 210 personel, bawah kendali operasi (BKO) TNI dan pemerintah daerah sebanyak 884 personel.
Baca juga: Rantis kepolisian bersiaga di DPR antisipasi aksi protes RUU Pilkada
Baca juga: Waka DPR: Banyak anggota absen paripurna karena kunker ke luar kota
Baca juga: Habiburokhman terkena lemparan botol saat temui massa aksi RUU Pilkada
“Siapa pun berhak mengutarakan pandangannya secara damai terhadap situasi negara ini, termasuk aksi protes yang dilakukan mahasiswa,” kata Usman dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan, protes terhadap kebijakan negara ataupun perilaku elite politik adalah hal yang wajar, sah, dan dijamin dalam hukum hak asasi manusia (HAM) internasional.
“Bahkan dalam sejarah, protes memainkan peran penting dalam memastikan hak asasi manusia ditegakkan oleh negara,” ucapnya.
Selain itu, ia mengatakan bahwa protes merupakan representasi ruang sipil yang harus dijamin kebebasannya oleh negara. Hukum internasional mewajibkan setiap negara untuk menghormati prinsip dasar hak asasi manusia, seperti kebebasan berekspresi dan berserikat.
“Ruang sipil yang bebas, tanpa ancaman, mendorong akses terhadap keadilan,” kata dia.
Oleh karena itu, ia meminta agar penggunaan kekerasan berlebihan dalam menanggapi protes damai harus dihindari.
“Penggunaan gas air mata, meriam air, maupun tongkat secara serampangan sering dilakukan oleh aparat dalam menanggapi protes-protes damai sebelumnya. Hal ini tidak boleh terulang,” ucapnya.
Pada hari ini, massa dari berbagai kalangan melakukan aksi demonstrasi terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada. Gerakan massa itu berawal dari ajakan di media sosial yang menggunakan gambar Garuda dengan latar biru tua dan bertuliskan 'Peringatan Darurat'.
Diketahui, RUU Pilkada itu menuai pro dan kontra karena dinilai dibahas secara singkat pada Rabu (21/8) oleh Badan Legislasi DPR RI. Pasalnya pembahasan itu dinilai tak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang diputuskan pada Selasa (20/8) tentang syarat pencalonan pada Pilkada.
Adapun polisi telah menyiapkan sebanyak 2.975 personel untuk mengantisipasi pengamanan unjuk rasa di dua kawasan, yakni Gedung Mahkamah Konstitusi dan MPR/DPR RI.
Jumlah personel tersebut terdiri dari satuan tugas daerah (Satgasda) sebanyak 1.881 personel, satuan tugas resor (Satgasres) sebanyak 210 personel, bawah kendali operasi (BKO) TNI dan pemerintah daerah sebanyak 884 personel.
Baca juga: Rantis kepolisian bersiaga di DPR antisipasi aksi protes RUU Pilkada
Baca juga: Waka DPR: Banyak anggota absen paripurna karena kunker ke luar kota
Baca juga: Habiburokhman terkena lemparan botol saat temui massa aksi RUU Pilkada
Pewarta: Nadia Putri Rahmani
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024
Tags: