Jakarta (ANTARA News) - Petani sayur dari sejumlah sentra produksi saat ini merasa terancam dengan rencana pemberlakuan pembatasan investasi asing di industri perbenihan hortikultura.

Beberapa petani yang dihubungi, Kamis, menyatakan kekhawatirannya apabila undang-undang hortikultura diberlakukan justru akan membuat produksi sayur mereka anjlok karena pasokan benih unggul berkualitas langka.

Seperti disampaikan Fahrudin, petani cabai asal Majalengka. Dia khawatir ketersediaan benih unggul berkualitas akan terbatas. Padahal dia menyatakan selama menggunakan varietas unggul, produksi bisa naik hingga tiga sampai empat kalinya.

Menurut Fahrudin, sebagai petani awalnya hanya mampu memproduksi cabai 3 ton perhektare pertahun itupun sulit untuk menjualnya karena buahnya tidak bagus.

Namun setelah menggunakan varietas unggul yang berkualitas, mampu memproduksi cabai sampai 9 ton perhektar pertahun dengan buah yang seragam sehingga tidak sulit untuk memasarkannya.

Fahrudin dan para petani di Majalengka juga mendapat bimbingan teknis dari petugas lapangan perusahaan untuk menjamin produksi lebih optimal. "Saya tidak mengerti dan sangat kecewa jika kerja sama yang baik ini terhenti gara-gara aturan yang tidak tepat," jelas dia.

Senada dengan Fahrudin, Jaenudin petani asal Pandeglang Banten mengatakan, telah bermitra dengan salah satu perusahaan benih asing selama lebih dari 10 tahun untuk memproduksi benih berbagai sayuran unggul dan berhasil membuka peluang pekerjaan bagi petani setempat.

Menurut dia, untuk satu paket produk benih semangka, misalnya, minimal harus mempekerjakan lima orang, sedangkan di Pandeglang saat ini sudah ada 100 paket yang harus digarap yang berarti terdapat 500 petani pekerja yang bergantung pada industri ini.

Padahal, paket produk yang dikerjakan tidak hanya semangka, tetapi juga timun, oyong, terong dan beragam sayuran lainnya. Lebih dari 1000 orang petani yang terlibat jika semua dikerjakan.

Menurut Afrizal Gindow, Ketua Asosiasi Produsen Perbenihan Hortikultura Indonesia (Hortindo) pihaknya dan para petani saat ini tengah memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji pasal mengenai pembatasan investasi di industri benih sayur karena berpotensi merugikan ekonomi nasional.

Afrizal mengatakan, yang akan paling dirugikan apabila aturan ini diberlakukan adalah para petani sayur yang kesulitan untuk mendapatkan varietas unggul dan petani mitra perusahaan yang memproduksi benih. Sedangkan perusahaan, kalau tidak cocok tinggal merelokasi usahanya di negara yang lebih kondusif.

Ia mengemukakan anggota Hortindo berharap MK dapat mengeluarkan industri perbenihan hortikultura dari pasal 100 ayat 3 dan asal 131 ayat 2. Pasal 100 ayat 3 membatasi besarnya penanaman modal asing pada usaha hortikultura hanya 30 persen, sedangkan pasal 131 ayat 2 yang menyebutkan peraturan tersebut berlaku surut.

Afrizal mengatakan, pada prinsipnya produsen benih dan petani mendukung undang-undang ini yang memiliki semangat dan tujuan yang baik yakni untuk memajukan pelaku usaha hortikultura lokal.

Namun di dalamnya terdapat permasalahan mendasar yang tidak disadari pembuat undang-undang ini yakni menyamaratakan seluruh industri hortikultura untuk tunduk dan terikat pada pembatasan modal tersebut, jelas Afrizal.

Padahal industri benih sebagai bagian subsistem industri hortikultura tidak dapat disamaratakan dengan industri hortikultura lainnya karena industri ini memiliki karakteristik yang berbeda yakni membutuhkan investasi jangka panjang dan besar, baik dalam hal permodalan maupun teknologi, kemudian di dalamnya juga terdapat hak kekayaan intelektual dalam bentuk kepemilikan sumber daya genetik.

Afrizal mengatakan apabila peraturan diberlakuan maka Vietnam, Malaysia, dan Thailand akan diuntungkan karena akan leluasa memasukan benihnya termasuk produk hortikultura-nya ke Indonesia.

Ia menambahkan, biaya yang dikeluarkan petani untuk membeli benih unggul sendiri hanya 3-5 persen saja dari total biaya produksi sayuran tetapi memberikan dampak ekonomis tinggi bagi petani.

Hal ini diakui Fahrudin yang mengatakan, menanam varietas unggul dengan biaya Rp2 juta maka sudah mampu menghasilkan produksi Rp70 juta di atas lahan 1 hektare.

Sementara menurut Jaenudin, kerja sama dengan perusahaan benih asing tidak hanya memperbaiki ekonomi tetapi juga meningkatkan keahlian bercocok tanam petani.

Sebelum kenal dengan perusahaan benih, kata Jaenudin, ia tidak tahu cara menanam dan mengawinkan tanaman sayur. Tapi sekarang sudah tahu dan terus belajar dan diajarkan untuk meningkatkan kemampuan membudidayakan sayuran.

"Bisa dibayangkan kalau semua hal yang baik ini berhenti karena perusahaan tutup. Nasib kami para petani kecil ini sangat terancam," katanya.

(G001/I007)