Jakarta (ANTARA News) - Pakar hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan ada tiga alasan mengapa pemerintah tidak harus membayar uang pengganti atau diyat untuk membebaskan tenaga kerja wanita Satinah dari hukuman pancung di Arab Saudi.

"Pertama, harus dipahami bahwa Diyat merupakan uang yang harus dibayarkan oleh pelaku kejahatan atau keluarganya, bukan oleh pemerintah," kata Hikmahanto, Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) dalam keterangan pers yang diterima Antara di Jakarta, Senin.

Menurut Hikmahanto, uang diyat ini sebagai imbalan bagi pemberian maaf dari keluarga korban kepada pelaku, sehingga diyat tidak seharusnya dibayarkan oleh pemerintah dalam konteks perlindungan warga negara.

Kalau masyarakat di Indonesia ada yang bersimpati terhadap nasib Satinah, katanya, tentu mereka bisa melakukan pengumpulan dana. "Dana inilah yang disampaikan kepada keluarga Satinah untuk dibayarkan kepada keluarga korban di Arab Saudi," ucapnya.

Bila pemerintah telah mengalokasikan dana, katanya, maka dana tersebut merupakan sumbangan dari pemerintah. Bukan sebaliknya pemerintah yang membayar Diyat dan kekurangannya ditutupi oleh sumbangan dari masyarakat.

Kedua, kata Hikmahanto, bila pemerintah yang membayar diyat maka ke depan akan ada tuntutan untuk terus menaikkan nilai diyat dari keluarga korban kejahatan yang dilakukan oleh WNI.

"Kondisi ini tentu tidak baik. Pemerintah akan diperas secara terselubung oleh keluarga korban. Bahkan pemerintah negara lain yang memiliki warga yang melakukan pembunuhan di Arab Saudi akan terkena dampaknya. Mereka pun akan diperas," katanya.

Bila tidak melakukannya, publik mereka akan mengeritik dengan merujuk pada tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia bak pahlawan bagi warganya.

Terakhir atau ketiga, ujar Hikmahanto, adalah tidak adil bagi masyarakat di Indonesia bila uang negara harus digunakan untuk membayar diyat.

Bila nilainya fantastis dan setiap kali pemerintah yang harus membayar maka ini menghilangkan hak banyak warga negara untuk mendapat kesejahteraan.

"Perlu diingat TKI yang terancam hukuman mati saat ini hampir 300 orang. Bila dari jumlah ini keluarga korban meminta nilai diyat yang fantastis, apakah ini tidak akan menggerus APBN," katanya.