TNI AU tunggu pesawat tempur generasi 4,5
Oleh Ade P Marboen
31 Maret 2014 15:00 WIB
Pesawat tempur multi peran Dassault F1 Rafale M saat akan mendarat di satu kapal induk Angkatan Laut Amerika Serikat. Pesawat tempur bersayap delta ini memiliki komonalitas dan kompatibilitas sistem dengan sistem banyak negara. Varian Rafale M didedikasikan untuk pengoperasian dari kapal induk. F1 Rafale salah satu kontestan pengganti F-5E/F Tiger II TNI AU. (Dassault Aviation/gtsstatic.com)
Yogyakarta (ANTARA News) - Peremajaan dan modernisasi arsenal perang TNI AU terus dilakukan, di antaranya pesawat tempur pengganti F-5E/F Tiger II yang sekarang tergabung di Skuadron Udara 14, yang berasal dari generasi 4,5 atau 4,5++.
Di antara kontestan yang telah masuk ke dalam daftar pasti pengajuan adalah Sukhoi Su-35 Flanker E (Rusia), JAS-39 Gripen (Swedia), Dassault F1 Rafale (Prancis), dan Boeing-McDonnel Douglas F/A-18E/F Super Hornet (Amerika Serikat). Pengadaan arsenal baru TNI AU itu sesuai Perencanaan Strategis Pertahanan Indonesia Tahap III.
"Kami masih menunggu evaluasi dari Kementerian Pertahanan dan Markas Besar TNI. Jika ditanya, kami menginginkan generasi 4,5," kata Kepala Dinas Penerangan TNI AU, Marsekal Pertama TNI Hadi Tjahjanto, di Yogyakarta, Minggu.
F-5E/F Tiger II didatangkan langsung dari pabriknya di Amerika Serikat pada awal dasawarsa '80-an, dengan skema pembelian foreign military sales.
TNI AU saat itu adalah pengguna perdana Tiger II di ASEAN dengan kekuatan satu skuadron udara penuh (16 unit).
Angkatan Udara Kerajaan Thailand menjadi negara kedua, yang malah membeli lebih banyak lagi Tiger II itu, dan mengembangkan kemampuan pesawat tempur kelas interseptor itu.
TNI AU sebetulnya bukan tidak mengembangkan kemampuan dan usia pakai F-5EF Tiger II itu, karena sempat ada Program MACAN yang diluncurkan pada akhir dasawarsa '90-an namun tidak ditindaklanjuti secara mendalam lagi.
Selain Thailand, Angkatan Udara Iran secara sempurna bisa mengembangkan Tiger II mereka dan mereka membuktikan diri bisa menjadi negara yang mandiri tentang hal ini sehingga diperhitungkan Barat.
Dassault F1 Rafale merupakan pesawat terbang tempur bermesin ganda dengan rancangan unik di dunia, berkelas multi peran --Prancis menyebut ini sebagai omnirole capability-- termasuk reconnaissance dan surveillance hingga kemampuan meluncurkan bom nuklir.
Dikembangkan dalam hanya tiga varian (B,C, dan M), komonalitas dan kompatibilitas serta kemudahan perawatan plus pengoperasian menjadi nilai tambah pesawat tempur bersayap delta dengan sayap kanard di depan bawah kokpit.
Sistem avionika dan penginderaan serta persenjataannya memakai teknologi kelas paling canggih di kelasnya, di antaranya integrasi sistem dengan pusat pengendali dan sesama penempur di udara serta pasukan di darat.
Adapun JAS-39 Gripen bersayap delta buatan SAAB Swedia, diketahui memiliki kemampuan tempur multiguna-interseptor berkecepatan di atas 2 Mach, dengan teknologi terkini dan menjadi salah satu arsenal andalan NATO.
JAS-39 Gripen merupakan penyempurnaan JAS-35 Vigen dan JAS-37-Draken, dan bisa menjadi pamungkas dalam superioritas udara dari Swedia yang dikenal dengan produk-produk berkualitas tinggi itu, di antaranya mobil Volvo.
Angkatan Udara Kerajaan Thailand menjadi pengguna perdana JAS-39 Gripen ini di ASEAN, sementara di dunia telah dipergunakan Angkatan Udara Kerajaan Swedia, Angkatan Udara Afrika Selatan, dan Angkatan Udara Hungaria.
Sementara Boeing F/A-18E/F Super Hornet adalah pesawat tempur bermesin ganda yang didedikasikan untuk bertempur secara multiperan.
Angkatan Udara Singapura mengoperasikan "kakak" F/A-18E/F Super Hornet, yaitu F-15SG Striking Eagle, yang diimbuhi teknologi lebih canggih secara khusus ketimbang versi ekspor lain dari pabrikannya.
Angkatan Udara Korea Selatan dan Pasukan Bela Diri Udara Jepang juga menjadi pengguna F-15 Striking Eagle, namun tidak secanggih yang dimiliki Singapura.
Sukhoi Su-35 Flanker E buatan Komsomolsk-on-Amur Aircraft Production Association adalah pengembangan dari Su-27 Flanker yang ditingkatkan manuverabilitasnya dari kokpit berkursi tunggalnya dan bermesin jauh lebih kuat dari pendahulunya.
Pertama kali mengudara pada 1988, Angkatan Udara Rusia memakai Su-35 Flanker E (semula dikenal sebagai Su-27M) untuk tim aerobatik mereka, Vityyasii Ruskiyii (Ksatria Rusia), menggantikan MiG-29 Fulcrum.
TNI AU sudah sangat akrab dengan sistem Su-27 Flanker ini karena telah memiliki satu skuadron udara berisikan mereka, yaitu Skuadron Udara 11, yang berpangkalan di Pangkalan Udara Utama Hasanuddin, Makasssar.
Skuadron Udara 11 berintikan Su-27 dan Su-30 Flanker. yang kini telah semakin ditakuti di kawasan setelah peluru-peluru kendalinya berdatangan dari Rusia sejak akhir 2013, di antaranya R-27 Alamo series yang mampu melejit pada kecepatan 4,5 Mach dengan sistem penyasar target radar semi aktif atau pasif.
Di antara kontestan yang telah masuk ke dalam daftar pasti pengajuan adalah Sukhoi Su-35 Flanker E (Rusia), JAS-39 Gripen (Swedia), Dassault F1 Rafale (Prancis), dan Boeing-McDonnel Douglas F/A-18E/F Super Hornet (Amerika Serikat). Pengadaan arsenal baru TNI AU itu sesuai Perencanaan Strategis Pertahanan Indonesia Tahap III.
"Kami masih menunggu evaluasi dari Kementerian Pertahanan dan Markas Besar TNI. Jika ditanya, kami menginginkan generasi 4,5," kata Kepala Dinas Penerangan TNI AU, Marsekal Pertama TNI Hadi Tjahjanto, di Yogyakarta, Minggu.
F-5E/F Tiger II didatangkan langsung dari pabriknya di Amerika Serikat pada awal dasawarsa '80-an, dengan skema pembelian foreign military sales.
TNI AU saat itu adalah pengguna perdana Tiger II di ASEAN dengan kekuatan satu skuadron udara penuh (16 unit).
Angkatan Udara Kerajaan Thailand menjadi negara kedua, yang malah membeli lebih banyak lagi Tiger II itu, dan mengembangkan kemampuan pesawat tempur kelas interseptor itu.
TNI AU sebetulnya bukan tidak mengembangkan kemampuan dan usia pakai F-5EF Tiger II itu, karena sempat ada Program MACAN yang diluncurkan pada akhir dasawarsa '90-an namun tidak ditindaklanjuti secara mendalam lagi.
Selain Thailand, Angkatan Udara Iran secara sempurna bisa mengembangkan Tiger II mereka dan mereka membuktikan diri bisa menjadi negara yang mandiri tentang hal ini sehingga diperhitungkan Barat.
Dassault F1 Rafale merupakan pesawat terbang tempur bermesin ganda dengan rancangan unik di dunia, berkelas multi peran --Prancis menyebut ini sebagai omnirole capability-- termasuk reconnaissance dan surveillance hingga kemampuan meluncurkan bom nuklir.
Dikembangkan dalam hanya tiga varian (B,C, dan M), komonalitas dan kompatibilitas serta kemudahan perawatan plus pengoperasian menjadi nilai tambah pesawat tempur bersayap delta dengan sayap kanard di depan bawah kokpit.
Sistem avionika dan penginderaan serta persenjataannya memakai teknologi kelas paling canggih di kelasnya, di antaranya integrasi sistem dengan pusat pengendali dan sesama penempur di udara serta pasukan di darat.
Adapun JAS-39 Gripen bersayap delta buatan SAAB Swedia, diketahui memiliki kemampuan tempur multiguna-interseptor berkecepatan di atas 2 Mach, dengan teknologi terkini dan menjadi salah satu arsenal andalan NATO.
JAS-39 Gripen merupakan penyempurnaan JAS-35 Vigen dan JAS-37-Draken, dan bisa menjadi pamungkas dalam superioritas udara dari Swedia yang dikenal dengan produk-produk berkualitas tinggi itu, di antaranya mobil Volvo.
Angkatan Udara Kerajaan Thailand menjadi pengguna perdana JAS-39 Gripen ini di ASEAN, sementara di dunia telah dipergunakan Angkatan Udara Kerajaan Swedia, Angkatan Udara Afrika Selatan, dan Angkatan Udara Hungaria.
Sementara Boeing F/A-18E/F Super Hornet adalah pesawat tempur bermesin ganda yang didedikasikan untuk bertempur secara multiperan.
Angkatan Udara Singapura mengoperasikan "kakak" F/A-18E/F Super Hornet, yaitu F-15SG Striking Eagle, yang diimbuhi teknologi lebih canggih secara khusus ketimbang versi ekspor lain dari pabrikannya.
Angkatan Udara Korea Selatan dan Pasukan Bela Diri Udara Jepang juga menjadi pengguna F-15 Striking Eagle, namun tidak secanggih yang dimiliki Singapura.
Sukhoi Su-35 Flanker E buatan Komsomolsk-on-Amur Aircraft Production Association adalah pengembangan dari Su-27 Flanker yang ditingkatkan manuverabilitasnya dari kokpit berkursi tunggalnya dan bermesin jauh lebih kuat dari pendahulunya.
Pertama kali mengudara pada 1988, Angkatan Udara Rusia memakai Su-35 Flanker E (semula dikenal sebagai Su-27M) untuk tim aerobatik mereka, Vityyasii Ruskiyii (Ksatria Rusia), menggantikan MiG-29 Fulcrum.
TNI AU sudah sangat akrab dengan sistem Su-27 Flanker ini karena telah memiliki satu skuadron udara berisikan mereka, yaitu Skuadron Udara 11, yang berpangkalan di Pangkalan Udara Utama Hasanuddin, Makasssar.
Skuadron Udara 11 berintikan Su-27 dan Su-30 Flanker. yang kini telah semakin ditakuti di kawasan setelah peluru-peluru kendalinya berdatangan dari Rusia sejak akhir 2013, di antaranya R-27 Alamo series yang mampu melejit pada kecepatan 4,5 Mach dengan sistem penyasar target radar semi aktif atau pasif.
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014
Tags: