Artikel
Soekarno-Hatta dan pelajaran penting persahabatan pemimpin
Oleh Lintang Budiyanti Prameswari
17 Agustus 2024 14:53 WIB
Arsip foto Soekarno-Hatta duduk bersama di pesawat yang dipamerkan pada Pameran Arsip Bung Hatta di Pusat Studi Arsip Statis Presiden ANRI, Jalan Gajah Mada nomor 111, Jakarta Barat, yang berlangsung hingga 19 Agustus 2024. ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari
Jakarta (ANTARA) - 79 tahun yang lalu menjadi saksi dua Bapak Bangsa, Soekarno-Hatta, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, yang sekaligus menjadi bukti bangsa ini telah menaklukkan segala penjajahan di negeri ini.
Perjalanan kemerdekaan bangsa ini tak pernah lepas dari kiprah dua proklamator tersebut yang kemudian dijuluki sebagai Dwi Tunggal, sebuah pengakuan dari rakyat Indonesia bahwa kedua pemimpin tersebut tak dapat dipisahkan dan saling mengisi satu sama lain.
Bung Hatta dan surat-suratnya yang ditulis untuk Soekarno menunjukkan sebuah integritas bahwa persahabatan mesti diletakkan di atas kepentingan politik.
Putri Pertama Bung Hatta, Meutia Farida Swasono atau yang akrab dipanggil Meutia Hatta, memberi kesaksian betapa ayahnya terus mendukung Presiden Soekarno meski sudah tak lagi menjabat sebagai Wakil Presiden karena mengundurkan diri pada tahun 1956.
Meutia menyampaikan hal tersebut pada pembukaan Pameran Arsip Bung Hatta di Gedung Pameran Tetap Arsip Statis Presiden Soekarno, Jakarta Barat, sekaligus memperingati Hari Ulang Tahun Ke-122 Mohammad Hatta yang jatuh pada 12 Agustus 2024.
"Bung Karno dan Bung Hatta, walaupun mereka tidak bersama dan tidak sejalan lagi--kalau tidak sejalan--Bung Hatta menulis surat kepada Bung Karno dan itu tidak diumbar. Walaupun misalnya saat itu ada media sosial, Bung Hatta tidak akan menyampaikannya, karena nasihat beliau adalah untuk Bung Karno, dan ini adalah urusan antara sahabat dengan sahabat," kata Meutia.
Hubungan Soekarno dengan Hatta yang tetap terjalin dengan baik sebagai sahabat meski kerapkali berbeda pendapat dalam berbagai hal. Ini menjadi pelajaran penting bahwa meski Bung Hatta tak lagi mendampingi Soekarno, mereka tetap berjuang untuk kemajuan bangsa di bawah Pancasila yang telah dirumuskan bersama dengan rakyat Indonesia.
Hubungan spesial tersebut dirasakan begitu kuat oleh orang-orang di sekeliling Soekarno-Hatta, termasuk Meutia sebagai anaknya, bahwa kepentingan mereka selalu murni untuk bangsa, antara seorang pejuang dengan pejuang yang saling membangun untuk kejayaan Bangsa Indonesia.
Dari Dwi Tunggal Soekarno-Hatta tersebut, ada pelajaran tentang pentingnya pemimpin bangsa untuk memiliki pemikiran yang sama untuk menghadapi berbagai jenis tantangan yang dihadapi bangsa ini.
Selain itu, melalui Dwi Tunggal, anak-anak muda juga diajak bagaimana memimpin dan menjaga negara agar tidak goyah dari tujuan semula demi kemajuan Indonesia.
"Menjadi contoh yang penting bahwa pejabat itu tidak boleh saling memaki, harus saling memahami benar atau salahnya, dan bekerja sama untuk saling meluruskan. Jadi, jangan sampai yang satu ke mana, yang lain ke mana, akhirnya bermusuhan dan menjadi tidak waspada, karena nasionalisme bisa luntur dan kita mudah terkena serangan dari luar," ucap Meutia.
Pertemuan awal Soekarno-Hatta
Meutia mengisahkan bahwa Hatta termasuk salah seorang yang beruntung karena dapat mengenyam pendidikan selama kurang lebih 11 tahun di Belanda. Sebagai rakyat yang tidak datang dari kalangan bangsawan, atas kecakapannya Hatta mampu bersaing secara global dan berhasil menjadi sarjana ekonomi pada tahun 1932.
Pada tahun 1932 itulah, Hatta akhirnya bertemu Soekarno di Bandung. Soekarno saat itu juga baru saja keluar dari Penjara Sukamiskin.
Selama menempuh pendidikan di negeri kincir angin, Hatta menyaksikan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat pendatang dan bukan keturunan kulit putih, sehingga ia bertekad untuk kembali ke Tanah Air dan memerdekakan Bangsa Indonesia.
"Bung Hatta melihat orang-orang di Belanda ketika lulus sekolah bisa melanjutkan kuliah atau pergi dengan bebas ke Hindia-Belanda, sedangkan di Indonesia anak-anak sulit sekolah," ujar Meutia.
Sejak saat itulah, Bung Hatta masuk ke organisasi Perhimpunan Indonesia, yang terdiri atas para mahasiswa Indonesia yang bekerja dan belajar di Belanda.
"Beliau bertekad, ketika kembali ke Indonesia tidak mau lagi sekolah untuk menjadi manajer atau meneruskan bisnis kakeknya yang merupakan seorang saudagar di Sumatera, tetapi beliau mau memerdekakan Indonesia," sambungnya.
Berdasarkan data dari Ensiklopedia Sejarah Indonesia (ESI) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Soekarno dan Hatta adalah representasi pejuang kemerdekaan Indonesia yang bergerak di jalannya masing-masing.
Pada tahun 1926, Hatta menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia, sedangkan pada tahun 1927, Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia bersama enam kawannya. Meski keduanya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di dua tempat yang berbeda, mereka tetap memiliki tujuan yang sama, yakni Indonesia merdeka.
Sepulangnya ke Indonesia, Hatta melanjutkan perjuangannya pada Pendidikan Nasional Indonesia, sedangkan Soekarno akhirnya bergabung dan menjadi Ketua Partai Indonesia (Partindo).
Menurut Meutia, kerja sama Soekarno-Hatta bukan hanya sekadar untuk Proklamasi kemerdekaan, melainkan mereka satu rasa dan satu hati untuk memerdekakan bangsa, memunculkan rasa bertanggung jawab sebagai proklamator untuk melaksanakan kemerdekaan dalam waktu sesingkat-singkatnya demi Indonesia yang berdaulat, bersatu, adil, dan makmur.
Pernyataan bersama
Pelaksana Tugas Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Imam Gunarto menyampaikan, salah satu arsip paling menarik yang ditampilkan dalam Pameran Arsip Bung Hatta yakni pernyataan bersama pada 14 September 1957 antara Bung Karno dan Bung Hatta setelah Bung Hatta tidak lagi menjabat sebagai Wakil Presiden RI.
Pada pernyataan tersebut tertulis bahwa keduanya tetap teguh untuk mempertahankan Pancasila dan menjalankan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 untuk kemakmuran bangsa dan negara.
Setelah tak menjabat sebagai Wakil Presiden, Hatta lebih banyak berhubungan langsung kepada masyarakat, sedangkan Soekarno melanjutkan kepemimpinannya untuk membentuk Bangsa Indonesia yang berdaulat.
Pelajaran lain yang dapat diambil yakni ketika Hatta ingin mengkritik Soekarno, ia lebih sering menyampaikannya lewat surat dan buku sehingga bisa disimpan secara rapi demi menjaga kerahasiaan dan integritas satu sama lain.
Imam menegaskan memori kolektif bangsa tentang Dwi Tunggal Bung Karno dan Bung Hatta terus dijaga dan disosialisasikan kepada masyarakat agar tidak lupa bahwa kekuatan Dwi Tunggal tersebut dapat menjadi bekal untuk berjuang membangun bangsa.
Bagi milenial dan Generasi Z, perjalanan hidup Dwi Tunggal itu dapat menjadi pembelajaran bahwa semua kenyamanan dan keamanan yang dinikmati bangsa saat ini tak lepas dari perjuangan Soekarno-Hatta dan para pejuang kemerdekaan.
Sudah selayaknya nilai-nilai perjuangan tersebut menjadi spirit bagi anak-anak muda agar tidak menjadi generasi apatis dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara.
Editor: Achmad Zaenal M
Perjalanan kemerdekaan bangsa ini tak pernah lepas dari kiprah dua proklamator tersebut yang kemudian dijuluki sebagai Dwi Tunggal, sebuah pengakuan dari rakyat Indonesia bahwa kedua pemimpin tersebut tak dapat dipisahkan dan saling mengisi satu sama lain.
Bung Hatta dan surat-suratnya yang ditulis untuk Soekarno menunjukkan sebuah integritas bahwa persahabatan mesti diletakkan di atas kepentingan politik.
Putri Pertama Bung Hatta, Meutia Farida Swasono atau yang akrab dipanggil Meutia Hatta, memberi kesaksian betapa ayahnya terus mendukung Presiden Soekarno meski sudah tak lagi menjabat sebagai Wakil Presiden karena mengundurkan diri pada tahun 1956.
Meutia menyampaikan hal tersebut pada pembukaan Pameran Arsip Bung Hatta di Gedung Pameran Tetap Arsip Statis Presiden Soekarno, Jakarta Barat, sekaligus memperingati Hari Ulang Tahun Ke-122 Mohammad Hatta yang jatuh pada 12 Agustus 2024.
"Bung Karno dan Bung Hatta, walaupun mereka tidak bersama dan tidak sejalan lagi--kalau tidak sejalan--Bung Hatta menulis surat kepada Bung Karno dan itu tidak diumbar. Walaupun misalnya saat itu ada media sosial, Bung Hatta tidak akan menyampaikannya, karena nasihat beliau adalah untuk Bung Karno, dan ini adalah urusan antara sahabat dengan sahabat," kata Meutia.
Hubungan Soekarno dengan Hatta yang tetap terjalin dengan baik sebagai sahabat meski kerapkali berbeda pendapat dalam berbagai hal. Ini menjadi pelajaran penting bahwa meski Bung Hatta tak lagi mendampingi Soekarno, mereka tetap berjuang untuk kemajuan bangsa di bawah Pancasila yang telah dirumuskan bersama dengan rakyat Indonesia.
Hubungan spesial tersebut dirasakan begitu kuat oleh orang-orang di sekeliling Soekarno-Hatta, termasuk Meutia sebagai anaknya, bahwa kepentingan mereka selalu murni untuk bangsa, antara seorang pejuang dengan pejuang yang saling membangun untuk kejayaan Bangsa Indonesia.
Dari Dwi Tunggal Soekarno-Hatta tersebut, ada pelajaran tentang pentingnya pemimpin bangsa untuk memiliki pemikiran yang sama untuk menghadapi berbagai jenis tantangan yang dihadapi bangsa ini.
Selain itu, melalui Dwi Tunggal, anak-anak muda juga diajak bagaimana memimpin dan menjaga negara agar tidak goyah dari tujuan semula demi kemajuan Indonesia.
"Menjadi contoh yang penting bahwa pejabat itu tidak boleh saling memaki, harus saling memahami benar atau salahnya, dan bekerja sama untuk saling meluruskan. Jadi, jangan sampai yang satu ke mana, yang lain ke mana, akhirnya bermusuhan dan menjadi tidak waspada, karena nasionalisme bisa luntur dan kita mudah terkena serangan dari luar," ucap Meutia.
Pertemuan awal Soekarno-Hatta
Meutia mengisahkan bahwa Hatta termasuk salah seorang yang beruntung karena dapat mengenyam pendidikan selama kurang lebih 11 tahun di Belanda. Sebagai rakyat yang tidak datang dari kalangan bangsawan, atas kecakapannya Hatta mampu bersaing secara global dan berhasil menjadi sarjana ekonomi pada tahun 1932.
Pada tahun 1932 itulah, Hatta akhirnya bertemu Soekarno di Bandung. Soekarno saat itu juga baru saja keluar dari Penjara Sukamiskin.
Selama menempuh pendidikan di negeri kincir angin, Hatta menyaksikan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat pendatang dan bukan keturunan kulit putih, sehingga ia bertekad untuk kembali ke Tanah Air dan memerdekakan Bangsa Indonesia.
"Bung Hatta melihat orang-orang di Belanda ketika lulus sekolah bisa melanjutkan kuliah atau pergi dengan bebas ke Hindia-Belanda, sedangkan di Indonesia anak-anak sulit sekolah," ujar Meutia.
Sejak saat itulah, Bung Hatta masuk ke organisasi Perhimpunan Indonesia, yang terdiri atas para mahasiswa Indonesia yang bekerja dan belajar di Belanda.
"Beliau bertekad, ketika kembali ke Indonesia tidak mau lagi sekolah untuk menjadi manajer atau meneruskan bisnis kakeknya yang merupakan seorang saudagar di Sumatera, tetapi beliau mau memerdekakan Indonesia," sambungnya.
Berdasarkan data dari Ensiklopedia Sejarah Indonesia (ESI) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Soekarno dan Hatta adalah representasi pejuang kemerdekaan Indonesia yang bergerak di jalannya masing-masing.
Pada tahun 1926, Hatta menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia, sedangkan pada tahun 1927, Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia bersama enam kawannya. Meski keduanya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di dua tempat yang berbeda, mereka tetap memiliki tujuan yang sama, yakni Indonesia merdeka.
Sepulangnya ke Indonesia, Hatta melanjutkan perjuangannya pada Pendidikan Nasional Indonesia, sedangkan Soekarno akhirnya bergabung dan menjadi Ketua Partai Indonesia (Partindo).
Menurut Meutia, kerja sama Soekarno-Hatta bukan hanya sekadar untuk Proklamasi kemerdekaan, melainkan mereka satu rasa dan satu hati untuk memerdekakan bangsa, memunculkan rasa bertanggung jawab sebagai proklamator untuk melaksanakan kemerdekaan dalam waktu sesingkat-singkatnya demi Indonesia yang berdaulat, bersatu, adil, dan makmur.
Pernyataan bersama
Pelaksana Tugas Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Imam Gunarto menyampaikan, salah satu arsip paling menarik yang ditampilkan dalam Pameran Arsip Bung Hatta yakni pernyataan bersama pada 14 September 1957 antara Bung Karno dan Bung Hatta setelah Bung Hatta tidak lagi menjabat sebagai Wakil Presiden RI.
Pada pernyataan tersebut tertulis bahwa keduanya tetap teguh untuk mempertahankan Pancasila dan menjalankan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 untuk kemakmuran bangsa dan negara.
Setelah tak menjabat sebagai Wakil Presiden, Hatta lebih banyak berhubungan langsung kepada masyarakat, sedangkan Soekarno melanjutkan kepemimpinannya untuk membentuk Bangsa Indonesia yang berdaulat.
Pelajaran lain yang dapat diambil yakni ketika Hatta ingin mengkritik Soekarno, ia lebih sering menyampaikannya lewat surat dan buku sehingga bisa disimpan secara rapi demi menjaga kerahasiaan dan integritas satu sama lain.
Imam menegaskan memori kolektif bangsa tentang Dwi Tunggal Bung Karno dan Bung Hatta terus dijaga dan disosialisasikan kepada masyarakat agar tidak lupa bahwa kekuatan Dwi Tunggal tersebut dapat menjadi bekal untuk berjuang membangun bangsa.
Bagi milenial dan Generasi Z, perjalanan hidup Dwi Tunggal itu dapat menjadi pembelajaran bahwa semua kenyamanan dan keamanan yang dinikmati bangsa saat ini tak lepas dari perjuangan Soekarno-Hatta dan para pejuang kemerdekaan.
Sudah selayaknya nilai-nilai perjuangan tersebut menjadi spirit bagi anak-anak muda agar tidak menjadi generasi apatis dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara.
Editor: Achmad Zaenal M
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024
Tags: