Jakarta (ANTARA) - Bung Karno dalam pidatonya yang sangat monumental lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945, memberikan metafora bagus, ketika menyatakan, bahwa kemerdekaan (Indonesia) adalah jembatan emas menuju masyarakat yang sejahtera.

Menjadi tantangan bagi pemerintahan presiden dan wapres (terpilih) Prabowo Subianto – Gibran, untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat hakiki, sebagaimana pesan Bapak Bangsa tersebut.

Setidaknya ada tiga elemen pokok bagi indikator kesejahteraan masyarakat, yakni pangan (sembako), papan (rumah tinggal yang layak), dan sandang (pakaian).

Namun, bila boleh diperas, yang mendesak adalah faktor pangan dan papan, sementara masalah sandang masih bisa ditolerir untuk ditunda, setidaknya untuk sementara waktu.

Bahkan sebenarnya masih ada satu faktor lagi, yaitu kemudahan akses pendidikan bagi anak-anak warga tak mampu, mengingat pendidikan adalah faktor penentu masa depan, agar anak-anak itu bisa keluar dari lingkaran kemiskinan.

Namun sekali lagi harus diingat, agar anak-anak dari keluarga tidak mampu bisa sekolah dengan baik, perlu juga asupan pangan yang baik, serta tinggal di rumah yang layak.

Sungguh menjadi tantangan bagi pemerintahan mendatang, untuk mewujudkan masyarakat sejahtera sepenuhnya atau paripurna.


Kemiskinan ekstrem

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), porsi ekonomi nasional lebih dari separuhnya (57,04 persen) masih disumbangkan Pulau Jawa, kemudian Pulau Sumatera memberikan kontribusi terbesar kedua, yakni 22,08 persen.

Semester pertama tahun ini, pertumbuhan ekonomi di Jawa 4,92 persen, sementara di Sumatera 4,48 persen untuk periode yang sama.

Lebih dari tiga perempat ekonomi Indonesia disumbang oleh pertumbuhan ekonomi kedua pulau tersebut.

Pertumbuhan ekonomi tinggi pada kenyataannya belum tentu memberikan dampak positif pada tingkat kemiskinan. Keragaman angka pertumbuhan ekonomi secara spasial antarprovinsi maupun antarpulau memberikan gambaran adanya disparitas ekonomi nasional.

Secara kumulatif pertumbuhan ekonomi semester I tahun ini mencapai 5,08 persen. Capaian melampaui pertumbuhan sebelum pandemi COVID-19 pada periode yang sama. Pertumbuhan semester I tahun 2019 tercatat 5,06 persen.

Bersamaan dengan itu, angka kemiskinan nasional konsisten mengalami penurunan, setidaknya sejak Maret 2021 hingga Maret 2024. Angka kemiskinan Maret 2024 yang mencapai 9,03 persen, juga lebih rendah dibandingkan kondisi sebelum pandemi, yang mencapai 9,41 persen (per Maret 2019).

Belum tercapainya target penghapusan kemiskinan pada pemerintahan Joko Widodo, tentu akan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan mendatang.

Dalam program kerjanya, presiden terpilih Prabowo Subianto telah menetapkan target, tingkat kemiskinan turun menjadi 6 persen pada 2029, dan kemiskinan ekstrem hilang pada tahun 2026.

Jika pemerintahan sekarang menargetkan angka kemiskinan ekstrem nol persen pada 2024, pemerintahan Prabowo-Gibran menunda sekitar dua tahun ke depan.

Untuk menurunkan kemiskinan sebesar 3 poin persen selama lima tahun, dari 9 persen (tahun 2024) menjadi 6 persen pada tahun 2029, pemerintahan mendatang perlu melakukan terobosan.

Untuk mencapai target tersebut sangat dibutuhkan kerja-kerja ekstra, setidaknya mempertahankan anggaran yang superbesar.

Anggaran “jumbo” ini untuk melanjutkan program yang sudah terlanjur populer di masyarakat rentan, seperti bantuan langsung tunai (BLT), bansos dan Program Keluarga Harapan (PKH). Program ini terbukti berdampak signifikan pada penurunan angka kemiskinan.

Ada dua program strategis lain, yang bisa ditawarkan untuk pemerintahan mendatang dalam menurunkan kemiskinan.

Pertama adalah meluncurkan program peningkatan pendapatan dan pemberdayaan masyarakat. Dan kedua adalah program pengurangan jumlah kantong kemiskinan.

Dua program strategis ini merupakan upaya penghapusan kemiskinan yang fundamental yang bisa dilakukan pemerintahan Prabowo-Gibran.

Bila kedua program ini berhasil dijalankan pemerintahan mendatang, warga miskin akan memiliki kekuatan mandiri untuk keluar dari kemiskinan.

Berbeda dengan program yang sudah berjalan, yakni penurunan tingkat kemiskinan karena adanya bantuan pemerintah, sehingga besar kemungkinan kembali miskin bila tidak ada bantuan.

Dua program strategis dimaksud selaras dengan program makan bergizi gratis, ketika pemerintahan mendatang memberdayakan para petani dan produsen makanan lokal.

Dengan begitu program makan bergizi gratis bisa mendorong pertumbuhan ekonomi secara inklusif, alih-alih hanya mengandalkan dan memberikan keuntungan bagi perusahaan besar.
Pemerintahan mendatang bisa memberi insentif yang bersifat produktif bagi masyarakat.

Misalnya, memberi insentif berupa modal kerja bagi pengusaha mikro dan kecil dalam bentuk pinjaman tanpa bunga (soft loan), agar roda ekonomi bergerak dan menimbulkan efek domino bagi perekonomian nasional.

Dihubungkan dengan kondisi makro, pemerintahan Prabowo sudah memasang target ambisius untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi menjadi 8 persen pada tahun kedua dan ketiga kepemimpinannya, oleh karena itu perlu dipikirkan kembali soal rencana kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) di tengah kondisi permintaan yang lesu dan rendahnya daya beli masyarakat.

Seharusnya ada kajian yang lebih komprehensif, mengingat tren daya beli masyarakat sedang mengalami penurunan.


Ketahanan pangan

Kelangkaan cadangan beras saat ini bisa dijadikan momentum untuk mengembangkan diversifikasi pangan lokal sumber karbohidrat.

Alternatif sumber karbohidrat antara lain singkong, jagung, ubi jalar, sorgum, talas, kentang, sukun dan pisang. Semua tanaman ini relatif mudah tumbuh dan dibudidayakan di negeri ini.

Masalah terbesarnya adalah soal kultur, masyarakat di tanah air sudah terlenakan oleh beras, dengan mengonsumsi nasi tiga kali sehari.

Padahal diversifikasi sumber karbohidrat, juga penting bagi tubuh manusia. Mengandalkan asupan karbohidrat pada satu sumber saja, dalam jangka panjang dapat berisiko menyebabkan penyakit degeneratif, salah satunya diabetes.

Selama beras masih memegang hegemoni mutlak dalam asupan karbohidrat masyarakat, selama itu pula komoditas tersebut akan rentan memunculkan turbulensi harga. Terlebih data memperlihatkan, produksi beras nasional sudah kewalahan mengimbangi kebutuhan yang terus meningkat.

Melihat prediksi terkait ancaman terhadap ketahanan pangan dan kecukupan gizi, kiranya sekarang saat yang tepat untuk memanfaatkan secara optimal sumber pangan yang tersedia di dalam negeri.

Salah satu keanekaragaman hayati dimaksud adalah sagu, yang sejak berabad-abad menjadi sumber makanan masyarakat lokal yang mendukung kecukupan nutrisi.

Perkembangan mutakhir kiranya bisa dijadikan momentum untuk menengok kembali sumber pangan lokal.

Perlu ada edukasi dan diseminasi informasi bagi warga, untuk lebih giat mengonsumsi makanan sehat yang telah disediakan keanekaragaman hayati Indonesia, seperti sayuran berdaun hijau, sagu, aneka umbi, polong-polongan, serta daging segar hasil perburuan.

Khusus bagi generasi baru, kecukupan gizi perlu dipacu dalam konteks memperkuat kualitas pendidikan, agar mampu bersaing dengan pelajar atau pemuda negara lain.

Untuk itulah perlu kecukupan gizi dan makanan berimbang. Keinginan menghapus tengkes, mengejar peluang bonus demografi, dan menjadi negara maju pada 2045, harus dimulai dengan pemenuhan pangan bergizi.

Beras tidak perlu dipaksakan menjadi satu-satunya komoditas pemenuhan kebutuhan karbohidrat nasional, karena akan sulit terpenuhi, sebagaimana yang kita saksikan hari-hari ini.

Dengan keanekaragaman hayati di Tanah Air, tersedia banyak sumber karbohidrat (selain beras), juga sumber protein, vitamin, dan mineral. Pembenahan bahan pangan nonpadi sudah harus dimulai dari aspek agronomi, pengolahan dan hilirisasi, distribusi, hingga penyajian.

Selanjutnya soal program pengadaan rumah layak huni bagi golongan masyarakat rentan, sejatinya cita-cita pemenuhan papan layak huni telah disuarakan sejak pemerintahan Orde Baru.

Puluhan tahun berlalu, program sektor perumahan belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Program mengatasi kekurangan rumah yang digulirkan pemerintah belum mampu memenuhi hak dasar papan. Problem mendasar kekurangan rumah sejak dulu hingga kini mencakup dua hal, yakni pembiayaan dan pasokan.

Masyarakat golongan rentan semakin sulit mendapatkan rumah dengan harga terjangkau. Ketersediaan papan yang nyaman dan sehat disadari akan menunjang masyarakat berkualitas, utamanya bagi anak-anak yang masih sekolah, agar semakin mudah dalam proses belajar di rumah.

Program penyediaan 3 juta rumah per tahun, yang dijanjikan pemerintahan Prabowo-Gibran diharapkan diikuti dengan langkah terobosan, agar kelak benar-benar terwujud.

Salah satunya melalui pembentukan atau dihidupkannya kembali Kementerian Perumahan Rakyat pada kabinet mendatang.

Janji penyediaan 3 juta rumah dimaksud, terdiri atas 1 juta rumah di perdesaan, 1 juta rumah di perkotaan, dan 1 juta rumah di pesisir.

Keberadaan Kementerian Perumahan Rakyat diharapkan mampu mengoordinasi kementerian/lembaga terkait, untuk berkomitmen menyediakan rumah rakyat lewat suplai dan pembiayaan.

Program penyediaan 3 juta unit rumah per tahun membutuhkan dukungan sinergi sumber pendanaan, guna menopang skema pembiayaan kepemilikan rumah dan pasokan rumah tinggal, termasuk pengadaan rumah susun sewa yang terjangkau.

Cara lain yang bisa ditempuh pemerintahan mendatang, adalah pengadaan rumah sewa untuk tempat berteduh rakyat tidak mampu.


*) Penulis adalah Dosen UCIC, Cirebon.