PDIP: Buku Merah Bung Karno pedoman rakyat lawan ketidakadilan
16 Agustus 2024 19:47 WIB
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto (jaket merah), Airlangga Pribadi (tengah) dan Rocky Gerung dalam acara bedah buku "Merahnya Ajaran Bung Karno" dalam rangka Refleksi Kemerdekaan ke-79 RI yang digelar Persatuan Alumni GMNI Lebak di Museum Multatuli, Rangkasbitung, Banten, Jumat (16/8/2024). (ANTARA/HO-PDIP)
Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menilai Buku Merahnya Ajaran Bung Karno karya Airlangga Pribadi sebagai pedoman betapa pentingnya rakyat untuk berdaulat dan melawan ketidakadilan.
"Buku yang diilhami dari nilai-nilai perjuangan Bung Karno itu juga mengajarkan betapa pentingnya melawan ketidakadilan meski harus melewati jalan yang terjal," kata Hasto dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Dia meyakini seluruh pemikiran Bung Karno mengandung nilai perjuangan tentang pembebasan rakyat.
Sebab, pemikiran Bung Karno memiliki desain untuk membawa rakyat berdaulat, bukan untuk merubah kedaulatan rakyat hanya menjadi kedaulatan bagi keluarganya sendiri.
“Untuk itu, tujuan kita adalah merombak struktur kekuasaan yang tidak adil, struktur kekuasaan yang desainnya adalah untuk kedaulatan rakyat, tapi telah dirubah untuk keluarga, ini yang harus kita lakukan perlawanan dari aspek intelektual hingga menjadi gerakan,” ujarnya.
Sementara itu, penulis buku "Merahnya Ajaran Bung Karno" Airlangga Pribadi Kusman menyinggung gagasan yang muncul pada 1970an bernama theatre of the oppress (teater kaum tertindas).
Menurutnya, gagasan yang ditulis Sastrawan Augusto Boal itu menggambarkan perjuangan Presiden Pertama Soekarno alias Bung Karno yang melawan penindasan oleh penjajah untuk mendorong pembebasan. Ia menilai semangat itu kini sudah berbeda.
"Dalam teater itu kalau kita dalam konteks perjuangan, maka akan melihat Bung Karno adalah tokoh yang mendorong pada proses pembebasan dan perubahan sosial," tambah Airlangga.
Dia menyebut Bung Karno sebagai tokoh theatre of the oppress yang melibatkan rakyat untuk turut membangun tanah air dan seisinya, bukan sebagai penonton saja.
"Mereka (rakyat) tidak diam, mereka bagian dari teater pembebasan," tuturnya.
Di sisi lain, pengamat politik Rocky Gerung menyampaikan bahwa para pendiri bangsa memiliki kemampuan berpikir. Ia mengatakan penting untuk mengembalikan kemampuan tradisi berpikir untuk diterapkan rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, Rocky selalu menyukai diundang dalam acara diskusi seperti ini.
"Karena hanya dengan pikiran kita bisa meloloskan seluruh ide, untuk bertengkar dengan pikiran bangsa. Saya mau memaksimalkan forum ini, sebagai upaya pertama untuk mendalilkan bahwa ada Ibu Kota Negara, tetapi saya ingin Rangkasbitung jadi Ibu Kota Pikiran," ungkap Rocky.
Dia menekankan forum ini ialah diskusi Buku Merahnya Ajaran Bung Karno. Dia ingin mengajak audiens untuk membaca bagaimana Bung Karno bisa direlevansikan di dalam keadaan hari-hari ini di tengah ada ketegangan dunia.
Rocky mengatakan ketika orang bepergian ke Eropa atau Amerika Serikat, mereka tidak bertanya soal bahasa. Namun, mereka akan bertanya tentang HAM, demokrasi, lingkungan hidup, dan solidaritas kemanusiaan.
"Semua itu adalah pikiran Bung Karno, bahkan mendahului zaman. Jadi, kita jangan tenggelamkan pikiran itu," pungkasnya.
Baca juga: Megawati selalu bela Soekarno bukan karena ayahnya tapi karena pejuang
Baca juga: Memori kolektif tentang Dwi Tunggal Soekarno-Hatta mesti terus dijaga
"Buku yang diilhami dari nilai-nilai perjuangan Bung Karno itu juga mengajarkan betapa pentingnya melawan ketidakadilan meski harus melewati jalan yang terjal," kata Hasto dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Dia meyakini seluruh pemikiran Bung Karno mengandung nilai perjuangan tentang pembebasan rakyat.
Sebab, pemikiran Bung Karno memiliki desain untuk membawa rakyat berdaulat, bukan untuk merubah kedaulatan rakyat hanya menjadi kedaulatan bagi keluarganya sendiri.
“Untuk itu, tujuan kita adalah merombak struktur kekuasaan yang tidak adil, struktur kekuasaan yang desainnya adalah untuk kedaulatan rakyat, tapi telah dirubah untuk keluarga, ini yang harus kita lakukan perlawanan dari aspek intelektual hingga menjadi gerakan,” ujarnya.
Sementara itu, penulis buku "Merahnya Ajaran Bung Karno" Airlangga Pribadi Kusman menyinggung gagasan yang muncul pada 1970an bernama theatre of the oppress (teater kaum tertindas).
Menurutnya, gagasan yang ditulis Sastrawan Augusto Boal itu menggambarkan perjuangan Presiden Pertama Soekarno alias Bung Karno yang melawan penindasan oleh penjajah untuk mendorong pembebasan. Ia menilai semangat itu kini sudah berbeda.
"Dalam teater itu kalau kita dalam konteks perjuangan, maka akan melihat Bung Karno adalah tokoh yang mendorong pada proses pembebasan dan perubahan sosial," tambah Airlangga.
Dia menyebut Bung Karno sebagai tokoh theatre of the oppress yang melibatkan rakyat untuk turut membangun tanah air dan seisinya, bukan sebagai penonton saja.
"Mereka (rakyat) tidak diam, mereka bagian dari teater pembebasan," tuturnya.
Di sisi lain, pengamat politik Rocky Gerung menyampaikan bahwa para pendiri bangsa memiliki kemampuan berpikir. Ia mengatakan penting untuk mengembalikan kemampuan tradisi berpikir untuk diterapkan rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, Rocky selalu menyukai diundang dalam acara diskusi seperti ini.
"Karena hanya dengan pikiran kita bisa meloloskan seluruh ide, untuk bertengkar dengan pikiran bangsa. Saya mau memaksimalkan forum ini, sebagai upaya pertama untuk mendalilkan bahwa ada Ibu Kota Negara, tetapi saya ingin Rangkasbitung jadi Ibu Kota Pikiran," ungkap Rocky.
Dia menekankan forum ini ialah diskusi Buku Merahnya Ajaran Bung Karno. Dia ingin mengajak audiens untuk membaca bagaimana Bung Karno bisa direlevansikan di dalam keadaan hari-hari ini di tengah ada ketegangan dunia.
Rocky mengatakan ketika orang bepergian ke Eropa atau Amerika Serikat, mereka tidak bertanya soal bahasa. Namun, mereka akan bertanya tentang HAM, demokrasi, lingkungan hidup, dan solidaritas kemanusiaan.
"Semua itu adalah pikiran Bung Karno, bahkan mendahului zaman. Jadi, kita jangan tenggelamkan pikiran itu," pungkasnya.
Baca juga: Megawati selalu bela Soekarno bukan karena ayahnya tapi karena pejuang
Baca juga: Memori kolektif tentang Dwi Tunggal Soekarno-Hatta mesti terus dijaga
Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2024
Tags: