Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi II DPR dari fraksi Partai Golkar Chairun Nisa divonis penjara selama 4 tahun dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan dalam perkara pemberian hadiah kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar terkait permohonan gugatan pemilihan kepala daerah (pilkada) kabupaten Gunung Mas di MK.

"Mengadili, menyatakan terdakwa Chairun Nisa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara besama-sama dan sebagaimana dakwaan kedua dari pasal 11 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan menjatuhkan pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan," kata ketua majelis hakim Suwidya dalam sidang di pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa.

Vonis tersebut lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum KPK yang meminta agar Chairun Nisa divonis 7 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan berdasarkan dakwaan pertama dari pasal 12 huruf c UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP mengenai hakim yang menerima hadiah atau janji.

Namun majelis hakim yang terdiri dari Suwidya, Matheus Samiadji, Gosyen Butar-butar, Sofyaldi dan Alexander Marwata menilai bahwa Chairun Nisa hanya terbukti menerima hadiah padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya.

"Hakim tidak setuju seperti dakwaan jaksa yang mengatakan bahwa terdakwa menerima uang sebesar Rp3 miliar karena uang Rp3 miliar itu hanya dimasukkan ke mobil terdakwa dan selama perjalanan menuju rumah saksi Akil Mochtar tidak membicarakan mengenai uang itu, tapi terdakwa hanya menerima Rp75 juta," ungkap hakim.

Uang tersebut diberikan oleh bupati terpilih kabupaten Gunung Mas Hambit Bintih agar Hambit dihubungkan dengan Akil yang telah dikenal oleh Chairun Nisa sejak menjadi anggota DPR.

"Hakim tidak sependapat dengan pembelaan terdakwa bahwa uang Rp75 juta itu untuk naik haji dan tidak ada hubungannya dengan kewenangan terdakwa karena sebagaimana bukti, Hambit memberikan untuk terdakwa karena dianggap bisa membantu," tambah Hakim.

Tindakan Chairun Nisa yang menjadi penghubung tersebut menurut hakim sesuai dengan dakwaan kedua dari pasal 11 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

"Terdakwa menitipkan perkara Hambit Bintih kepada Akil Mochtar artinya terdakwa tidak lebih dari penghubung Akil Mochtar dan Hambit, dan terdakwa tidak mengharap imbalan apapun dari Hambit dan Akil," kata anggota majelis hakim Matheus Samiadji.

Hal yang dinilai memberatkan terhadap vonis Chairun Nisa adalah merusak kepercayaan terhadap lembaga peradilan khususnya MK, merusak nilai-nilai demokrasi kepala daerah dan tidak mendukung pemberantasan tindak pidana korupsi.

"Hal yang meringankan adalah terdakwa berterus terang mengakui perbuatan, bersikap sopan, belum pernah dihukum, menyesali perbuatannya, dan berjasa memajukan daerah yang diwakili saat di DPR khususnya bidang pendidikan dan kemasyarakatan," kata hakim Suwidya.

Atas putusan tersebut Chairun Nisa menyatakan banding.

"Mohon maaf yang mulia, saya akan melakukan banding," kata Chairun Nisa sambil terisak.

Sedangkan tim jaksa penuntut umum KPK yang dipimpin oleh Pulung Rinandoro menyatakan akan pikir-pikir.