Menurut Riant dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis, implementasi peraturan itu patut didukung karena memiliki tujuan yang jelas, yakni untuk melindungi kesehatan masyarakat dari paparan zat kimia BPA yang terindikasi menyebabkan terjadinya banyak potensi gangguan kesehatan.
"Kebijakan (kemasan) bebas BPA ini juga sebenarnya sudah menjadi isu internasional dan bahkan penggunaan BPA telah dilarang di berbagai negara," kata dia.
Berikutnya Riant juga menyoroti mengenai adanya sejumlah pihak yang mencoba membenturkan pelabelan "bebas BPA" dengan isu lingkungan.
"Isu sustainability tentu sangat penting untuk kemasan non-BPA kan memang biasanya sekali pakai. Ya, tinggal bagaimana memperkuat pengelolaan kemasan bekasnya, sedangkan untuk BPA terkait dengan hak kesehatan masyarakat," kata Riant yang juga merupakan Ketua Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI) itu.
Sebelumnya, pada 1 April 2024, BPOM mengesahkan penambahan dua pasal pada peraturan Label Pangan Olahan, yakni kewajiban pencantuman label cara penyimpanan air minum kemasan (Pasal 48a) dan kewajiban pencantuman label peringatan risiko BPA pada semua galon air minum yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat.
Pasal 61A dalam peraturan tersebut menyatakan, “Air minum dalam kemasan yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat wajib mencantumkan tulisan ‘dalam kondisi tertentu, kemasan polikarbonat dapat melepaskan BPA pada air minum dalam kemasan’ pada label."
Pasal lainnya menyebut produsen galon air minum bermerek punya waktu tenggang (grace period) empat tahun untuk mentaati peraturan tersebut.
Dalam pertimbangannya, BPOM menyebutkan bahwa BPA pada air minum kemasan "dapat menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat."
Baca juga: Asdamindo: Aturan label BPA BPOM ancam puluhan ribu UMKM bangkrut
Baca juga: BPKN minta BPOM segera sosialisasi kebijakan pelabelan BPA
Baca juga: Asdamindo: Aturan label BPA BPOM ancam puluhan ribu UMKM bangkrut
Baca juga: BPKN minta BPOM segera sosialisasi kebijakan pelabelan BPA