BSKDN: Pemberdayaan masyarakat strategi atasi kemiskinan ekstrem
14 Agustus 2024 22:51 WIB
Pelaksana Harian (Plh.) Pusat Strategi Kebijakan (Pustrajakan) Kewilayahan, Kependudukan dan Pelayanan Publik (KKPP) BSKDN Faisal Syarif memimpin Rapat Pembahasan Policy Brief Strategi Percepatan Penurunan Angka Kemiskinan Ekstrem di Daerah di Ruang Rapat Pustrajakan KKPP, Jakarta, Rabu (14/8/2024). (ANTARA/HO-BSKDN Kemendagri)
Jakarta (ANTARA) - Badan Strategi Kebijakan Dalam Negeri (BSKDN) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menekankan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu strategi untuk mengatasi kemiskinan ekstrem di Indonesia.
Oleh karena itu, pemerintah daerah (pemda) diminta untuk memperkuat program-program pemberdayaan masyarakat yang berbasis pada potensi lokal untuk membawa masyarakatnya keluar dari garis kemiskinan ekstrem.
“Percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem dapat dilakukan dengan pendekatan yang strategis berdasarkan tingkat kemiskinan di berbagai wilayah dan potensi lokal yang dimiliki daerah tersebut,” ucap Pelaksana Harian (Plh.) Pusat Strategi Kebijakan (Pustrajakan) Kewilayahan, Kependudukan dan Pelayanan Publik (KKPP) BSKDN Faisal Syarif dalam siaran pers diterima di Jakarta, Rabu.
Faisal menyampaikan hal itu ketika memimpin Rapat Pembahasan Policy Brief Strategi Percepatan Penurunan Angka Kemiskinan Ekstrem di Daerah di Ruang Rapat Pustrajakan KKPP, Jakarta, Rabu.
Dia menjelaskan, kemiskinan ekstrem dapat diartikan sebagai suatu kondisi ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar meliputi kebutuhan makanan, air minum bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, dan akses informasi yang tidak hanya terbatas pada pendapatan, tetapi juga akses pada layanan sosial.
Ia mengatakan bahwa kemiskinan ekstrem tidak bisa dibiarkan terus berlangsung karena bisa berdampak luas, mulai dari kesehatan, pendidikan, hingga produktivitas masyarakat. “Ini harus benar-benar diperhatikan,” katanya.
Menurut dia, penghapusan kemiskinan ekstrem bukan hanya menjadi target nasional, tetapi juga tanggung jawab bersama seluruh pemangku kepentingan di daerah.
"Kolaborasi sangat diperlukan untuk mengatasi kemiskinan ekstrem, sehingga hasilnya dapat lebih maksimal,” ucap Faisal.
Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin pada Maret 2023 adalah sebesar 25,90 juta orang. Jumlah itu menurun dibanding September dan Maret 2022.
Sejalan dengan itu, kemiskinan ekstrem Indonesia juga konsisten menunjukkan tren penurunan dari 2,14 persen pada Maret 2021, berangsur menurun menjadi 2,04 persen pada Maret 2022, dan pada Maret 2023 menjadi 1,12 persen.
Menurut Faisal, apabila tren penurunan itu terus berlanjut, maka Indonesia bisa memperoleh angka kemiskinan ekstrem mendekati nol pada tahun 2024, setidaknya di bawah 0,5 persen.
"Kemudian, daerah perlu menyiapkan skema bagi masyarakat yang sudah keluar dari garis kemiskinan ekstrem, misalnya penyediaan lapangan kerja, pendampingan atau pelatihan usaha untuk masyarakat agar tidak kembali lagi ke garis kemiskinan ekstrem dan beragam langkah lainnya," ujarnya.
Baca juga: Muhadjir sebut penanganan kemiskinan ekstrem perlu pendekatan lokal
Baca juga: Wamenkeu II sebut Dana Desa beri andil dalam tekan angka kemiskinan
Oleh karena itu, pemerintah daerah (pemda) diminta untuk memperkuat program-program pemberdayaan masyarakat yang berbasis pada potensi lokal untuk membawa masyarakatnya keluar dari garis kemiskinan ekstrem.
“Percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem dapat dilakukan dengan pendekatan yang strategis berdasarkan tingkat kemiskinan di berbagai wilayah dan potensi lokal yang dimiliki daerah tersebut,” ucap Pelaksana Harian (Plh.) Pusat Strategi Kebijakan (Pustrajakan) Kewilayahan, Kependudukan dan Pelayanan Publik (KKPP) BSKDN Faisal Syarif dalam siaran pers diterima di Jakarta, Rabu.
Faisal menyampaikan hal itu ketika memimpin Rapat Pembahasan Policy Brief Strategi Percepatan Penurunan Angka Kemiskinan Ekstrem di Daerah di Ruang Rapat Pustrajakan KKPP, Jakarta, Rabu.
Dia menjelaskan, kemiskinan ekstrem dapat diartikan sebagai suatu kondisi ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar meliputi kebutuhan makanan, air minum bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, dan akses informasi yang tidak hanya terbatas pada pendapatan, tetapi juga akses pada layanan sosial.
Ia mengatakan bahwa kemiskinan ekstrem tidak bisa dibiarkan terus berlangsung karena bisa berdampak luas, mulai dari kesehatan, pendidikan, hingga produktivitas masyarakat. “Ini harus benar-benar diperhatikan,” katanya.
Menurut dia, penghapusan kemiskinan ekstrem bukan hanya menjadi target nasional, tetapi juga tanggung jawab bersama seluruh pemangku kepentingan di daerah.
"Kolaborasi sangat diperlukan untuk mengatasi kemiskinan ekstrem, sehingga hasilnya dapat lebih maksimal,” ucap Faisal.
Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin pada Maret 2023 adalah sebesar 25,90 juta orang. Jumlah itu menurun dibanding September dan Maret 2022.
Sejalan dengan itu, kemiskinan ekstrem Indonesia juga konsisten menunjukkan tren penurunan dari 2,14 persen pada Maret 2021, berangsur menurun menjadi 2,04 persen pada Maret 2022, dan pada Maret 2023 menjadi 1,12 persen.
Menurut Faisal, apabila tren penurunan itu terus berlanjut, maka Indonesia bisa memperoleh angka kemiskinan ekstrem mendekati nol pada tahun 2024, setidaknya di bawah 0,5 persen.
"Kemudian, daerah perlu menyiapkan skema bagi masyarakat yang sudah keluar dari garis kemiskinan ekstrem, misalnya penyediaan lapangan kerja, pendampingan atau pelatihan usaha untuk masyarakat agar tidak kembali lagi ke garis kemiskinan ekstrem dan beragam langkah lainnya," ujarnya.
Baca juga: Muhadjir sebut penanganan kemiskinan ekstrem perlu pendekatan lokal
Baca juga: Wamenkeu II sebut Dana Desa beri andil dalam tekan angka kemiskinan
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Sigit Pinardi
Copyright © ANTARA 2024
Tags: