PH: Dana CSR yang diterima Harvey Moeis digunakan untuk komunitas
14 Agustus 2024 18:50 WIB
Terdakwa Harvey Moeis yang merupakan perpanjangan tangan dari PT Refined Bangka Tin dalam sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (14/8/2024). (ANTARA/Agatha Olivia Victoria)
Jakarta (ANTARA) - Penasihat hukum terdakwa Harvey Moeis, Junaedi Saibih mengatakan dana Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) atau Corporate Social Responsibility (CSR) yang diterima kliennya digunakan untuk kegiatan pengembangan komunitas di Bangka Belitung.
Hal tersebut berkaitan dengan dakwaan bahwa Harvey selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin beserta Manajer PT Quantum Skyline Exchange Helena Lim telah menerima uang sebesar Rp420 miliar.
"CSR bukan seolah-olah ada, memang benar adanya dan bukan bertujuan memperkaya diri sendiri maupun orang lain. Tetapi untuk berbagai kegiatan community development yang akan disampaikan pada tahap pembuktian," ujar Junaedi di Jakarta, Rabu.
Dia membeberkan, kegiatan pengembangan komunitas dimaksud meliputi sumbangan masjid, sumbangan bencana alam, sumbangan COVID-19 serta alat kesehatan, dan lain-lain.
Dengan mempertimbangkan kondisi tersebut, menurut Junaedi, segala tuduhan yang diberikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Harvey tidak tepat. Bahkan, ia juga mempertanyakan aksi penyitaan terhadap kekayaan Harvey dan sang istri, Sandra Dewi, yang dinilai tidak berkaitan dengan tuduhan korupsi tersebut.
Pasalnya, dirinya menuturkan harta yang disita saat ini merupakan harta dari penghasilan Harvey sebagai pengusaha. Selain itu terdapat pula aset yang merupakan hasil dari jerih payah istrinya, Sandra Dewi, seperti sebanyak 88 tas bermerek yang merupakan hasil endorsement.
Di sisi lain, Junaedi menilai kewajiban untuk melakukan reklamasi atau pemulihan lingkungan pada area pertambangan merupakan kewajiban perusahaan pelaksana pertambangan yang telah mendapatkan izin dari pemerintah, yang ditandai dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Ia pun menggarisbawahi kerugian lingkungan (ekologis) dan kerugian ekonomi lingkungan merupakan hak negara, sedangkan biaya pemulihan lingkungan merupakan kewajiban negara.
“Biaya pemulihan itu kewajiban pemilik IUP. Biaya tersebut telah didepositokan oleh pemegang IUP dalam bentuk jaminan reklamasi dan jaminan pasca tambang,” ucap dia.
Di sisi lain, dirinya berpendapat kliennya tidak memiliki kompetensi yang memungkinkan untuk mempengaruhi dilakukan atau tidak dilakukannya reklamasi di area pertambangan tersebut serta tidak memiliki posisi atau jabatan dalam perusahaan smelter yang bekerja sama dengan PT Timah Tbk.
Dengan demikian, kata dia, Harvey tidak mungkin menginisiasi kerja sama sewa peralatan processing timah, sehingga dakwaan yang ditujukan kepada kliennya bisa dibilang salah alamat lantaran Harvey dinilai tidak memiliki keterkaitan maupun kewajiban apapun dalam menanggung pemulihan lingkungan dari aktivitas pertambangan tersebut sebesar Rp300 triliun.
"Posisi Harvey Moeis nanti akan menjadi fakta persidangan yang terang setelah diluruskan dengan fakta dan bukti dalam persidangan," ungkap Junaedi.
Adapun Harvey didakwa melakukan korupsi dan TPPU terkait kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk tahun 2015–2022, yang merugikan keuangan negara senilai Rp300 triliun.
Korupsi diduga dilakukan Harvey dengan memperkaya diri senilai Rp420 miliar bersama Helena Lim dalam proyek pertambangan timah ilegal, antara lain melalui program kerja sama sewa peralatan processing penglogaman timah antara PT Timah Tbk. dengan PT Refined Bangka Tin dan empat smelter swasta.
Keempat smelter swasta dimaksud, yaitu CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Bina Sentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Internusa.
Sementara TPPU dilakukan Harvey dengan menggunakan sebagian uang biaya pengamanan peralatan processing penglogaman timah sebesar 500 dolar Amerika Serikat (AS) sampai 750 dolar AS per ton dari empat smelter swasta, yang seolah-olah dicatat sebagai biaya CSR untuk kepentingan pribadinya.
Kepentingan pribadi dimaksud antara lain membeli mobil mewah dengan nama orang lain atau perusahaan orang lain, membeli rumah mewah di beberapa lokasi, membayar sewa rumah di Australia, hingga membelikan Sandra Dewi 88 tas bermerek dan 141 perhiasan.
Atas perbuatannya, Harvey terancam pidana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Baca juga: Harvey Moeis tak ajukan keberatan atas dakwaan korupsi timah dan TPPU
Baca juga: Kuasa hukum tegaskan bukti tas mewah merupakan jerih payah Sandra Dewi
Hal tersebut berkaitan dengan dakwaan bahwa Harvey selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin beserta Manajer PT Quantum Skyline Exchange Helena Lim telah menerima uang sebesar Rp420 miliar.
"CSR bukan seolah-olah ada, memang benar adanya dan bukan bertujuan memperkaya diri sendiri maupun orang lain. Tetapi untuk berbagai kegiatan community development yang akan disampaikan pada tahap pembuktian," ujar Junaedi di Jakarta, Rabu.
Dia membeberkan, kegiatan pengembangan komunitas dimaksud meliputi sumbangan masjid, sumbangan bencana alam, sumbangan COVID-19 serta alat kesehatan, dan lain-lain.
Dengan mempertimbangkan kondisi tersebut, menurut Junaedi, segala tuduhan yang diberikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Harvey tidak tepat. Bahkan, ia juga mempertanyakan aksi penyitaan terhadap kekayaan Harvey dan sang istri, Sandra Dewi, yang dinilai tidak berkaitan dengan tuduhan korupsi tersebut.
Pasalnya, dirinya menuturkan harta yang disita saat ini merupakan harta dari penghasilan Harvey sebagai pengusaha. Selain itu terdapat pula aset yang merupakan hasil dari jerih payah istrinya, Sandra Dewi, seperti sebanyak 88 tas bermerek yang merupakan hasil endorsement.
Di sisi lain, Junaedi menilai kewajiban untuk melakukan reklamasi atau pemulihan lingkungan pada area pertambangan merupakan kewajiban perusahaan pelaksana pertambangan yang telah mendapatkan izin dari pemerintah, yang ditandai dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Ia pun menggarisbawahi kerugian lingkungan (ekologis) dan kerugian ekonomi lingkungan merupakan hak negara, sedangkan biaya pemulihan lingkungan merupakan kewajiban negara.
“Biaya pemulihan itu kewajiban pemilik IUP. Biaya tersebut telah didepositokan oleh pemegang IUP dalam bentuk jaminan reklamasi dan jaminan pasca tambang,” ucap dia.
Di sisi lain, dirinya berpendapat kliennya tidak memiliki kompetensi yang memungkinkan untuk mempengaruhi dilakukan atau tidak dilakukannya reklamasi di area pertambangan tersebut serta tidak memiliki posisi atau jabatan dalam perusahaan smelter yang bekerja sama dengan PT Timah Tbk.
Dengan demikian, kata dia, Harvey tidak mungkin menginisiasi kerja sama sewa peralatan processing timah, sehingga dakwaan yang ditujukan kepada kliennya bisa dibilang salah alamat lantaran Harvey dinilai tidak memiliki keterkaitan maupun kewajiban apapun dalam menanggung pemulihan lingkungan dari aktivitas pertambangan tersebut sebesar Rp300 triliun.
"Posisi Harvey Moeis nanti akan menjadi fakta persidangan yang terang setelah diluruskan dengan fakta dan bukti dalam persidangan," ungkap Junaedi.
Adapun Harvey didakwa melakukan korupsi dan TPPU terkait kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk tahun 2015–2022, yang merugikan keuangan negara senilai Rp300 triliun.
Korupsi diduga dilakukan Harvey dengan memperkaya diri senilai Rp420 miliar bersama Helena Lim dalam proyek pertambangan timah ilegal, antara lain melalui program kerja sama sewa peralatan processing penglogaman timah antara PT Timah Tbk. dengan PT Refined Bangka Tin dan empat smelter swasta.
Keempat smelter swasta dimaksud, yaitu CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Bina Sentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Internusa.
Sementara TPPU dilakukan Harvey dengan menggunakan sebagian uang biaya pengamanan peralatan processing penglogaman timah sebesar 500 dolar Amerika Serikat (AS) sampai 750 dolar AS per ton dari empat smelter swasta, yang seolah-olah dicatat sebagai biaya CSR untuk kepentingan pribadinya.
Kepentingan pribadi dimaksud antara lain membeli mobil mewah dengan nama orang lain atau perusahaan orang lain, membeli rumah mewah di beberapa lokasi, membayar sewa rumah di Australia, hingga membelikan Sandra Dewi 88 tas bermerek dan 141 perhiasan.
Atas perbuatannya, Harvey terancam pidana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Baca juga: Harvey Moeis tak ajukan keberatan atas dakwaan korupsi timah dan TPPU
Baca juga: Kuasa hukum tegaskan bukti tas mewah merupakan jerih payah Sandra Dewi
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024
Tags: