Denpasar (ANTARA News) - Partisipasi perempuan untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan dan proses politik pada kesehariannya belum terlaksana dengan baik, meskipun telah dijamin dalam undang-undang.

"Kami memandang kaum perempuan masih banyak belum bisa mengambil keputusan secara mandiri, keputusan dan pilihannya dipengaruhi laki-laki, keluarga atau kelompok tertentu," kata Kepala Bidang Advokasi dan Fasilitasi Gender dalam Politik dan Pengambilan Keputusan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Hasnah Aziz, di Denpasar, Minggu.

Hasnah Aziz mengatakan di sela kampanye publik "Pilih Caleg Perempuan", bahwa masih banyak perempuan memiliki keterbatasan dalam kemampuannya untuk berpartisipasi aktif di politik, dalam arti dapat berargumentasi, berdebat, menganalisa situasi, dan mencari solusi atas suatu persoalan.

"Hal ini didasari karena kebanyakan perempuan berpikir bahwa hubungan dengan anak-anak dan keluarga yang harmonis menjadi satu hal yang terpenting dalam hidupnya," tambah Hasnah.

Sampai saat ini, jelas Hasnah, masalah yang dihadapi perempuan Indonesia belum sepenuhnya mendapat tanggapan positif dari pengambil kebijakan. Oleh karena itu, sebelum ada kebijakan yang responsif terhadap permasalahan perempuan, maka diharapkan perempuan sendiri harus mampu membangun persaudaraan sejati.

"Kami harapkan sehingga kaum perempuan yang nasibnya lebih baik harus dapat menolong sesama perempuan dan masyarakat lain yang tidak beruntung, agar dapat membantu mengubah nasib mereka menjadi lebih baik," ujarnya.

Oleh karena itu, kata dia, penyekat-penyekat kaum perempuan, khususnya di Indonesia dalam era globalisasi harus mampu dihilangkan untuk menjadi kesamaan gender dengan laki-laki.

"Untuk mewujudkan semua itu, kita harus berani berjuang dan menunjukkan kemampuan di segala bidang, bahwa kaum perempuan bisa bekerja secara profesional dan mengambil keputusan yang sama juga," katanya.

Sebelumnya, Ketua Panitia Tim Kampanye Publik "Pilih Caleg Perempuan" Heri Rakhmadi mengatakan perempuan memiliki peluang besar menduduki kursi legislatif di berbagai tingkatan, karena secara demografi kaum perempuan lebih banyak dari laki-laki.

"Kami menilai secara normatif kaum perempuan setidaknya mampu duduk di kursi legislatif sama dengan laki-laki dengan porsi yang sama. Tetapi kenyataannya justru dalam kancah politik, perempuan sangat sedikit duduk di parlemen," katanya.

Ia mengatakan pada Pemilu Legislatif 2014 memiliki makna mendalam bagi penguatan hak-hak politik perempuan. Sebab dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD memberikan hak istimewa bagi kaum perempuan dalam pengurus partai dan pengajuan bakal calon anggota legislatif.

"Karena dengan UU tersebut maka kepengurusan partai di semua tingkatan wajib mengakomodir sekurang-kurangnya 30 persen perempuan. Begitu juga dalam proses pengajuan bakal caleg wajib menyertakan 30 persen perempuan di setiap daerah pemilihan," ujarnya.

Namun, kata dia, kekuatan politik perempuan belum terkonsolidasi dengan baik sehingga berbagai kebijakan "affirmative action" atau tindakan khusus untuk perempuan belum dapat dimanfaatkan secara optimal.

Oleh karena itu, kata Heri Rakhmadi, peningkatan kesadaran dan keterwakilan politik perempuan masih perlu terus ditingkatkan sehingga terbangun pentingnya eksistensi dan peran perempuan dalam bidang politik.

"Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu kampanye publik yang intensif dengan memanfaatkan berbagai saluran komunikasi yang ada," ucapnya. (*)