Waketum PBNU tegaskan pihaknya selalu dialogkan nas dengan realitas
11 Agustus 2024 19:19 WIB
Wakil Ketua Umum (Waketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Zulfa Mustofa dalam membuka Seminar Sistem Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail di Banda Aceh, Minggu (11/8/2024). (ANTARA/HO-PBNU)
Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Umum (Waketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Zulfa Mustofa menegaskan pihaknya selalu mendialogkan kalimat dasar pada dalil yang menjadi acuan suatu hukum atau nas dengan realitas yang terjadi dalam menetapkan suatu hukum.
"Dalil syar'i itu dua poin pentingnya, memahami hukum dari nas dan ini sifatnya naqli. Kedua, harus memahami waqi (realitas) itu nadhariyah (bisa dilihat), itu harus diuji," katanya dalam keterangan di Jakarta, Minggu.
Kiai Zulfa menekankan pemberian putusan hukum tidak cukup hanya dengan memahami Al-Quran dan hadis sebagai rujukan atau pijakannya, tetapi juga harus memahami realitasnya.
Sebagaimana PBNU, kata dia, yang selalu mengundang ahli dalam memberikan pemahaman realitas dalam suatu persoalan.
Contohnya, ungkap Zulfa, sebelumnya banyak ulama yang menganggap bahwa hukum memakan kepiting itu haram karena hidup di dua alam. Lantas, PBNU mengundang ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang mengungkapkan bahwa kepiting termasuk ke dalam hewan air, karena tidak mampu hidup di darat lebih dari 15 hari.
Baca juga: Said Aqil sebut kritik dari PBNU membuat PKB semakin kuat
"Kita tentu harus ngerti waqi (realitas). (Selama ini) kita cuma baca kitab yang bilang haram," ujarnya.
Nabi Muhammad SAW, ungkap Zulfa, juga melakukan hal yang sama, melalui tindakannya memberikan kurma untuk orang yang batal puasanya karena melakukan hubungan badan dengan istrinya di siang hari.
Hal tersebut, kata dia, disebabkan karena Nabi mampu melihat realitas orang tersebut yang mengaku tidak sanggup memerdekakan budak, berpuasa 60 hari berturut-turut, membagikan makanan kepada 60 orang miskin sebagai kafarat atau denda atas perbuatannya.
Hal terkait pemahaman terhadap realitas, kata dia, juga dilakukan oleh para orang terdekat nabi seperti Siti Aisyah, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib sebagai sosok-sosok yang mengombinasikan realitas dan nas dalam menetapkan hukum.
"Nabi itu fahmul waqi (memahami realitas)," tegasnya.
Oleh karena itu, Zulfa berharap kepada para ulama agar selalu memperhatikan realitas dan mengombinasikannya dengan nas yang bersumber dari Al-Quran maupun hadis nabi dalam memutuskan sebuah hukum.
Baca juga: Menag: Keterlibatan masyarakat kunci sukses program keluarga maslahat
Baca juga: Gus Halim bawa bukti tambahan dugaan fitnah Lukman Edy ke Polda Jatim
"Dalil syar'i itu dua poin pentingnya, memahami hukum dari nas dan ini sifatnya naqli. Kedua, harus memahami waqi (realitas) itu nadhariyah (bisa dilihat), itu harus diuji," katanya dalam keterangan di Jakarta, Minggu.
Kiai Zulfa menekankan pemberian putusan hukum tidak cukup hanya dengan memahami Al-Quran dan hadis sebagai rujukan atau pijakannya, tetapi juga harus memahami realitasnya.
Sebagaimana PBNU, kata dia, yang selalu mengundang ahli dalam memberikan pemahaman realitas dalam suatu persoalan.
Contohnya, ungkap Zulfa, sebelumnya banyak ulama yang menganggap bahwa hukum memakan kepiting itu haram karena hidup di dua alam. Lantas, PBNU mengundang ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang mengungkapkan bahwa kepiting termasuk ke dalam hewan air, karena tidak mampu hidup di darat lebih dari 15 hari.
Baca juga: Said Aqil sebut kritik dari PBNU membuat PKB semakin kuat
"Kita tentu harus ngerti waqi (realitas). (Selama ini) kita cuma baca kitab yang bilang haram," ujarnya.
Nabi Muhammad SAW, ungkap Zulfa, juga melakukan hal yang sama, melalui tindakannya memberikan kurma untuk orang yang batal puasanya karena melakukan hubungan badan dengan istrinya di siang hari.
Hal tersebut, kata dia, disebabkan karena Nabi mampu melihat realitas orang tersebut yang mengaku tidak sanggup memerdekakan budak, berpuasa 60 hari berturut-turut, membagikan makanan kepada 60 orang miskin sebagai kafarat atau denda atas perbuatannya.
Hal terkait pemahaman terhadap realitas, kata dia, juga dilakukan oleh para orang terdekat nabi seperti Siti Aisyah, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib sebagai sosok-sosok yang mengombinasikan realitas dan nas dalam menetapkan hukum.
"Nabi itu fahmul waqi (memahami realitas)," tegasnya.
Oleh karena itu, Zulfa berharap kepada para ulama agar selalu memperhatikan realitas dan mengombinasikannya dengan nas yang bersumber dari Al-Quran maupun hadis nabi dalam memutuskan sebuah hukum.
Baca juga: Menag: Keterlibatan masyarakat kunci sukses program keluarga maslahat
Baca juga: Gus Halim bawa bukti tambahan dugaan fitnah Lukman Edy ke Polda Jatim
Pewarta: Sean Filo Muhamad
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024
Tags: