Bekasi (ANTARA News) - Masyarakat Tionghoa Kota Bekasi, Jawa Barat, yang tergabung dalam Yayasan Pancaran Tridharma menyambut baik kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengubah istilah China menjadi Tionghoa.

"Kebijakan itu merupakan penguatan dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 bahwa Indonesia merupakan negara yang Bhineka Tunggal Ika karena secara bentuk adalah negara kepulauan," kata Ketua Yayasan Pancaran Tridharma Ronny Hermawan di Bekasi, Jumat.

Menurutnya, masyarakat Tionghoa yang sudah beranak pinak di Indonesia adalah penduduk asli Indonesia, sama dengan yang yang lainnya.

Menurutnya, tanggung jawab yang dimiliki warga Tionghoa pun terhadap Indonesia sama dengan masyarakat pribumi pada umumnya.

Salah satunya terjadi pada masa penjajahan kolonial Belanda di mana masyarakat Tionghoa bersatu dengan warga pribumi merebut kemerdekaan.

"Kakek saya pun ikut berjuang, Sersan Mayor Atmaja (Apiau) dan mendapat berbagai bintang perang sebagai veteran Republik Indonesia dari presiden dan menteri," katanya.

Namun di atas segalanya, kata dia, pengakuan itu hendaknya diikuti dengan kesempatan yang terbuka pada setiap sendi kehidupan bernegara di Indonesia.

"Kasih kami peluang dan jangan dihambat. Tionghoa Indonesia bisa juga menjadi hansip, polisi, tentara, perawat, PNS, dan lainnya," katanya.

Sementara itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Keputusan Presiden No. 12/2014 tentang pergantian istilah China menjadi Tionghoa atau Tiongkok.

Dengan Keppres yang ditandatangani pada 14 Maret 2014 itu, Presiden SBY mencabut dan menyatakan tidak berlaku Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967.

Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera itu pada pokoknya menggunakan istilah Tjina sebagai pengganti istilah Tionghoa/Tiongkok. Istilah China tersebut, dinilai telah menimbulkan dampak psikososial-diskriminatif dalam hubungan sosial warga bangsa Indonesia dari keturunan Tionghoa.