Ketua MPR: Indonesia seharusnya jadi pemain utama wisata medis
8 Agustus 2024 22:22 WIB
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet dalam acara Angkat Sumpah Dokter ke-55, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), di Tangerang Selatan, Banten, Kamis (8/8/2024). (ANTARA/HO-MPR)
Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet mengatakan Indonesia seharusnya dapat menjadi pemain utama dalam wisata medis bagi warga dunia berobat.
"Dengan sumber daya manusia dan sumber daya rumah sakit yang dimiliki, Indonesia sebetulnya bisa menjadi tuan rumah bagi warganya dalam berobat. Bahkan Indonesia seharusnya bisa menjadi pemain utama dalam wisata medis, menjadi tempat yang nyaman bagi warga dunia berobat," kata Bamsoet dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.
Hal itu disampaikannya dalam acara Angkat Sumpah Dokter ke-55, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), di Tangerang Selatan, Banten.
Dia menuturkan bahwa riset Patients Beyond Borders memperlihatkan warga Indonesia sangat gemar berobat ke luar negeri dengan total pengeluaran per tahunnya mencapai 11,5 miliar dolar AS dan dari jumlah itu 80 persennya dihabiskan di Malaysia.
"Selain karena biayanya yang lebih murah dan pelayanannya lebih nyaman, warga Indonesia memilih berobat ke luar negeri karena alat kesehatannya yang sangat lengkap," ucapnya.
Selain itu, dia menyebut rasio jumlah dokter dibandingkan jumlah penduduk di Indonesia masih tergolong rendah sebab organisasi kesehatan dunia (WHO) mensyaratkan setiap negara memiliki rasio sekurang-kurangnya 1 banding 1.000
Adapun, kata dia, rasio penduduk dengan dokter di Indonesia berkisar 0,47 banding 1.000, yang membuat Indonesia menempati urutan ke-147 di dunia dan ke-9 di ASEAN.
"Untuk mencapai jumlah ideal, Indonesia masih kekurangan sekitar 124.000 dokter umum dan 29.000 orang dokter spesialis," katanya.
Bamsoet pun menilai solusinya tidak hanya pemerintah memberikan izin praktik kepada dokter asing untuk menutupi kekurangan rasio dokter di Indonesia, melainkan juga memberikan berbagai fasilitas dan kemudahan kepada Fakultas Kedokteran di berbagai perguruan tinggi Tanah Air.
"Misalnya, dengan menempatkan pajak terhadap alat kesehatan tidak masuk dalam kategori pajak barang mewah. Melainkan ada perlakuan khusus, sehingga bisa meringankan beban operasional kampus dan rumah sakit yang pada akhirnya meringankan biaya praktek kuliah sekaligus biaya rakyat jika ingin berobat," ujarnya.
Dia pun mengatakan saat ini jumlah lulusan dokter di Indonesia setiap tahunnya masih tergolong rendah.
"Sebagai gambaran, setiap tahunnya Indonesia hanya mengeluarkan 2.700 lulusan dokter spesialis. Itu pun distribusinya tidak merata, sebagian besar hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa, bahkan hanya ada di kota-kota besarnya saja," tuturnya.
Maka dia mengatakan pemerintah membuat terobosan melalui Academic Health System (AHS), Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) berbasis Rumah Sakit Pendidikan sebagai Penyelenggara Utama (RSP-PU), untuk mengatasi kekurangan tenaga dokter spesialis di Indonesia.
"AHS merupakan model kerja sama terintegrasi antara perguruan tinggi, rumah sakit pendidikan, wahana pendidikan dan/atau pemerintah daerah dalam menyelenggarakan program pendidikan, penelitian, pelayanan kesehatan dan pengabdian kepada masyarakat secara terpadu," kata Bamsoet.
Baca juga: Ketua MPR ingin hukum warisan kolonial diganti hukum nasional di 2045
Baca juga: Ketua MPR: Pembangunan desa berperan kurangi kesenjangan pembangunan
Baca juga: Ketua MPR minta pemerintah susun regulasi penggunaan sepeda listrik
"Dengan sumber daya manusia dan sumber daya rumah sakit yang dimiliki, Indonesia sebetulnya bisa menjadi tuan rumah bagi warganya dalam berobat. Bahkan Indonesia seharusnya bisa menjadi pemain utama dalam wisata medis, menjadi tempat yang nyaman bagi warga dunia berobat," kata Bamsoet dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.
Hal itu disampaikannya dalam acara Angkat Sumpah Dokter ke-55, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), di Tangerang Selatan, Banten.
Dia menuturkan bahwa riset Patients Beyond Borders memperlihatkan warga Indonesia sangat gemar berobat ke luar negeri dengan total pengeluaran per tahunnya mencapai 11,5 miliar dolar AS dan dari jumlah itu 80 persennya dihabiskan di Malaysia.
"Selain karena biayanya yang lebih murah dan pelayanannya lebih nyaman, warga Indonesia memilih berobat ke luar negeri karena alat kesehatannya yang sangat lengkap," ucapnya.
Selain itu, dia menyebut rasio jumlah dokter dibandingkan jumlah penduduk di Indonesia masih tergolong rendah sebab organisasi kesehatan dunia (WHO) mensyaratkan setiap negara memiliki rasio sekurang-kurangnya 1 banding 1.000
Adapun, kata dia, rasio penduduk dengan dokter di Indonesia berkisar 0,47 banding 1.000, yang membuat Indonesia menempati urutan ke-147 di dunia dan ke-9 di ASEAN.
"Untuk mencapai jumlah ideal, Indonesia masih kekurangan sekitar 124.000 dokter umum dan 29.000 orang dokter spesialis," katanya.
Bamsoet pun menilai solusinya tidak hanya pemerintah memberikan izin praktik kepada dokter asing untuk menutupi kekurangan rasio dokter di Indonesia, melainkan juga memberikan berbagai fasilitas dan kemudahan kepada Fakultas Kedokteran di berbagai perguruan tinggi Tanah Air.
"Misalnya, dengan menempatkan pajak terhadap alat kesehatan tidak masuk dalam kategori pajak barang mewah. Melainkan ada perlakuan khusus, sehingga bisa meringankan beban operasional kampus dan rumah sakit yang pada akhirnya meringankan biaya praktek kuliah sekaligus biaya rakyat jika ingin berobat," ujarnya.
Dia pun mengatakan saat ini jumlah lulusan dokter di Indonesia setiap tahunnya masih tergolong rendah.
"Sebagai gambaran, setiap tahunnya Indonesia hanya mengeluarkan 2.700 lulusan dokter spesialis. Itu pun distribusinya tidak merata, sebagian besar hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa, bahkan hanya ada di kota-kota besarnya saja," tuturnya.
Maka dia mengatakan pemerintah membuat terobosan melalui Academic Health System (AHS), Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) berbasis Rumah Sakit Pendidikan sebagai Penyelenggara Utama (RSP-PU), untuk mengatasi kekurangan tenaga dokter spesialis di Indonesia.
"AHS merupakan model kerja sama terintegrasi antara perguruan tinggi, rumah sakit pendidikan, wahana pendidikan dan/atau pemerintah daerah dalam menyelenggarakan program pendidikan, penelitian, pelayanan kesehatan dan pengabdian kepada masyarakat secara terpadu," kata Bamsoet.
Baca juga: Ketua MPR ingin hukum warisan kolonial diganti hukum nasional di 2045
Baca juga: Ketua MPR: Pembangunan desa berperan kurangi kesenjangan pembangunan
Baca juga: Ketua MPR minta pemerintah susun regulasi penggunaan sepeda listrik
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024
Tags: