Jakarta (ANTARA) - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa menyatakan keanekaragaman hayati (kehati) menjadi modal pembangunan berkelanjutan.

“Keanekaragaman hayati menjadi modal pembangunan berkelanjutan dan sektor penopang terbesar kedua bagi perekonomian Indonesia, yang memiliki 22 tipe ekosistem alami dengan 98 tipe vegetasi alami,” ujarnya dalam dokumen Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) atau Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2025-2045, Jakarta, Kamis.

Kekayaan kehati spesies terestrial Indonesia meliputi 9,7 persen tumbuhan berbunga, 15 persen mamalia, 9 persen reptil, 6 persen amfibi, 17 persen burung, dan 9 persen ikan air tawar di dunia. Sebagai negara kepulauan, Indonesia juga memiliki 4 (empat) dari 25 hotspot kehati laut di dunia.

Kekhawatiran atas hilangnya kehati menempati peringkat teratas sebagai risiko global dalam sepuluh tahun ke depan. Selama satu dekade terakhir, sekitar satu juta spesies tumbuhan dan hewan menghadapi ancaman kepunahan berdasarkan studi Intergovernmental Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) 2019.

Keadaan ini dinilai mengancam sistem ekologi dan kesejahteraan manusia, sehingga berdampak pada sektor ekonomi, kesehatan manusia, ketahanan pangan, dan konflik kepentingan.

Baca juga: Suharso tekankan urgensi SDI berikan manfaat kepada masyarakat

Memahami proyeksi status kehati di tanah air ke depan, lanjut dia, maka pendekatan business as usual tak lagi relevan dalam mengelola sumber daya alam guna mencapai Visi Indonesia Emas 2045.

Kehati disebut harus terus dipelihara untuk mempertahankan nilai tambah dan daya saing bangsa, serta menjadi modal pembangunan nasional yang menyejahterakan rakyat Indonesia.

Salah satu upaya terdepan dalam menjaga dan mengelola kehati adalah menempatkan sebagai salah satu bagian agenda pembangunan ketahanan sosial budaya dan ekologi, khususnya pada Lingkungan Hidup Berkualitas sebagaimana tujuan Indonesia Emas 15.

Karena itu, pihaknya menyusun IBSAP 2025-2045 yang selaras dengan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN 2025-2045 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. Selain itu juga mengacu pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (TPB/SDGs), serta kesepakatan global Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF).

Dalam dokumen tersebut, berisi tiga tujuan pengelolaan kehati, 13 strategi, 20 target nasional, dan 95 kelompok aksi.

Baca juga: Suharso: Pertanian regeneratif jadi solusi atasi krisis lingkungan

Tujuan pertama adalah memperkuat integrasi dan ketahanan ekosistem dalam pengelolaan kehati, mengurangi risiko kepunahan spesies, dan menjaga keanekaragaman genetik. Selanjutnya, tujuan kedua yaitu mengoptimalkan pemanfaatan berkelanjutan kehati bagi masyarakat dan generasi akan datang yang dapat dicapai melalui empat strategi, lima target nasional, dan 25 kelompok aksi.

Terakhir, tujuan tiga terkait penguatan tata kelola atau means of implementation (MOI) kehati melalui pengayaan ilmu pengetahuan dan teknologi, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, penguatan finansial, serta penguatan regulasi dan penegakan hukum.

“Ketiga tujuan ini dielaborasikan secara komprehensif ke dalam dua puluh target nasional,” kata Suharso.

Perencanaan pengelolaan kehati pada tingkat nasional turut akan diselaraskan melalui kementerian dan lembaga terkait, hingga dituangkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2025-2045 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025-2029.

“IBSAP 2025-2045 telah memuat arah dan rencana untuk memastikan tersedianya sumber daya/resources yang cukup, termasuk pengembangan mekanisme pendanaan inovatif dan partisipasi swasta. Pengembangan mekanisme pendanaan keanekaragaman hayati seperti biodiversity credit, blended finance, benefit-sharing, dan coral bond berpotensi untuk diterapkan. Selain itu, pembenahan tata kelola, termasuk dalam integrasi data dan informasi, serta penggunaan teknologi digital untuk mengelola keanekaragaman hayati secara optimal telah menjadi salah satu strategi dalam IBSAP 2025-2045,” ungkap Kepala Bappenas.

​​​​Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Convention On Biological Diversity melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati) sebagai bentuk komitmen terhadap pengelolaan kehati global.

Sejak tahun 1993, pemerintah menyusun rencana aksi pengelolaan keanekaragaman hayati, yang diperbaharui menjadi IBSAP 2003-2020 dan disesuaikan dengan Target Aichi menjadi IBSAP 2015-2020.

Seiring dengan berakhirnya implementasi IBSAP 2015–2020, IBSAP 2025–2045 disusun untuk memastikan pengelolaan kehati sesuai dengan kondisi dan kepentingan nasional.