Menteri era Soeharto mengadu ke DPR karena masalah sengketa tanah
8 Agustus 2024 12:14 WIB
Komisi III DPR RI menggelar rapat dengar pendapat umum dengan Fuad Bawazier di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (8/8/2024). (ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi)
Jakarta (ANTARA) - Mantan Menteri Keuangan era Presiden Soeharto, yakni Fuad Bawazier, mengadu ke Komisi III DPR RI karena rumahnya yang berlokasi di kawasan Menteng, Jakarta, terkena permasalahan sengketa tanah.
Fuad menjelaskan bahwa tanah tersebut telah dibeli oleh dirinya dan sudah memiliki sertifikat. Namun, pada tahun 2014 tanah tersebut digugat oleh pihak lain yang sebelumnya sudah pernah berperkara atas kepemilikan tanah itu, tetapi gugatannya pun sudah ditolak.
"Keputusan yang dulu itu sudah pernah diputusin, yaitu orang itu memang sudah tidak dinyatakan, ditolak permohonan pembeliannya," kata Fuad saat menghadiri rapat dengar pendapat umum di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis.
Politisi yang kini menjabat sebagai Komisaris Utama MIND.ID itu hadir dalam rapat didampingi kuasa hukumnya. Selain itu, Komisi III DPR juga menghadirkan pihak dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi DKI Jakarta dalam rapat tersebut.
Fuad mengaku heran atas adanya hal tersebut karena di kawasan rumahnya itu hanya dirinya yang digugat. Dia menduga gugatan itu justru dilakukan ketika rumahnya telah direnovasi lebih bagus dari sebelumnya.
"Mungkin setelah rumahnya dibangun bagus, baru diperkarakan oleh mafia tanah ini, bukan dulu-dulu yang perkara. Menurut saya ini sudah waktunya barang kali, waktunya reformasi hukum dilakukan," kata dia.
Baca juga: Menteri ATR: Sertifikat tanah yang sah cegah sengketa dan mafia tanah
Sementara itu Kuasa Hukum Fuad Bawazier, Sri Melyani, mengatakan bahwa gugatan pada tahun 2014 memunculkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bahwa sertifikat tanah atas nama Nuraini Bawazier tidak mengikat dan diperintahkan mengosongkan objek rumah itu.
Sampai kemudian pada 7 Agustus 2024, pengadilan sempat hendak melakukan eksekusi pengosongan rumah Fuad Bawazier itu. Namun, eksekusi itu dibatalkan setelah pihaknya melakukan perlawanan.
"Baru kali ini saya mendapatkan satu kasus yang aneh bin ajaib, orang tidak punya hak, tidak punya legal standing, tetapi dinyatakan berhak atas objek," kata Sri.
Dengan adanya hal tersebut, Komisi III DPR RI merekomendasikan agar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu dibatalkan dan tidak bisa dilakukan eksekusi atas tanah karena terdapat pertentangan bahwa penggugat tidak memiliki hak atas tanah.
Komisi III DPR RI meminta BPN DKI Jakarta tidak menerbitkan surat atau alas hak baru atas objek tersebut.
Selain itu, Komisi III DPR juga meminta kepolisian tidak mendukung pengamanan rencana eksekusi pengosongan lahan tersebut.
Baca juga: Polisi mediasi bentrok perebutan tanah sengketa di Kembangan Jakbar
Baca juga: AHY utamakan prinsip mediasi dalam penyelesaian sengketa tanah
Fuad menjelaskan bahwa tanah tersebut telah dibeli oleh dirinya dan sudah memiliki sertifikat. Namun, pada tahun 2014 tanah tersebut digugat oleh pihak lain yang sebelumnya sudah pernah berperkara atas kepemilikan tanah itu, tetapi gugatannya pun sudah ditolak.
"Keputusan yang dulu itu sudah pernah diputusin, yaitu orang itu memang sudah tidak dinyatakan, ditolak permohonan pembeliannya," kata Fuad saat menghadiri rapat dengar pendapat umum di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis.
Politisi yang kini menjabat sebagai Komisaris Utama MIND.ID itu hadir dalam rapat didampingi kuasa hukumnya. Selain itu, Komisi III DPR juga menghadirkan pihak dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi DKI Jakarta dalam rapat tersebut.
Fuad mengaku heran atas adanya hal tersebut karena di kawasan rumahnya itu hanya dirinya yang digugat. Dia menduga gugatan itu justru dilakukan ketika rumahnya telah direnovasi lebih bagus dari sebelumnya.
"Mungkin setelah rumahnya dibangun bagus, baru diperkarakan oleh mafia tanah ini, bukan dulu-dulu yang perkara. Menurut saya ini sudah waktunya barang kali, waktunya reformasi hukum dilakukan," kata dia.
Baca juga: Menteri ATR: Sertifikat tanah yang sah cegah sengketa dan mafia tanah
Sementara itu Kuasa Hukum Fuad Bawazier, Sri Melyani, mengatakan bahwa gugatan pada tahun 2014 memunculkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bahwa sertifikat tanah atas nama Nuraini Bawazier tidak mengikat dan diperintahkan mengosongkan objek rumah itu.
Sampai kemudian pada 7 Agustus 2024, pengadilan sempat hendak melakukan eksekusi pengosongan rumah Fuad Bawazier itu. Namun, eksekusi itu dibatalkan setelah pihaknya melakukan perlawanan.
"Baru kali ini saya mendapatkan satu kasus yang aneh bin ajaib, orang tidak punya hak, tidak punya legal standing, tetapi dinyatakan berhak atas objek," kata Sri.
Dengan adanya hal tersebut, Komisi III DPR RI merekomendasikan agar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu dibatalkan dan tidak bisa dilakukan eksekusi atas tanah karena terdapat pertentangan bahwa penggugat tidak memiliki hak atas tanah.
Komisi III DPR RI meminta BPN DKI Jakarta tidak menerbitkan surat atau alas hak baru atas objek tersebut.
Selain itu, Komisi III DPR juga meminta kepolisian tidak mendukung pengamanan rencana eksekusi pengosongan lahan tersebut.
Baca juga: Polisi mediasi bentrok perebutan tanah sengketa di Kembangan Jakbar
Baca juga: AHY utamakan prinsip mediasi dalam penyelesaian sengketa tanah
Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2024
Tags: