Surabaya (ANTARA News) - Puluhan radio kuno mulai dari radio buatan tahun 1925 hingga 1980-an yang diproduksi Belanda, Jerman, Jepang, dan Ceko dipamerkan di Museum Seni "House of Sampoerna" Surabaya pada 17 Maret hingga 13 April mendatang.

"Bukan hanya kekunoan, tapi kami nilai sejarah dari radio, karena proklamasi kemerdekaan tersiar berkat radio, karena televisi belum ada, apalagi Internet dan media sosial," kata anggota Padmaditya (Pelestari Audio Radio Yogyakarta) Iwan Gandjar Indrawan di Surabaya, Senin.

Di sela-sela pameran bertajuk "Layang Swara" yang sempat disaksikan sejumlah turis dari Eropa itu, ia menjelaskan anggota komunitas yang berjumlah tujuh orang itu memiliki koleksi 400-an radio dan megaphone kuno.

"Tapi, radio yang kami pamerkan di sini berkisar 56 radio dan megaphone milik tujuh anggota komunitas itu. Kondisi puluhan radio dan megaphone kuno itu nisbi bagus atau berkisar 80 persen, karena cukup terawat," katanya.

Dalam pameran yang digelar Museum HoS bekerja sama dengan Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) itu, ia sempat memperdengarkan suara radio yang dibuat pada tahun 1925 dengan bunyi masih nisbi-bagus dan masih mampu menangkap gelombang AM dan FM.

Selain itu, ada salah satu radio kuno yang dipamerkan antara merek "Philips Aida" keluaran sekitar tahun 1946 pasca-Perang Dunia II. Radio buatan Eindhoven, Belanda, ini dilengkapi dengan skala gelombang radio yang dihiasi dengan nama-nama kota dengan ejaan lama seperti Batavia, Soerabaia, dan Bandoeng.

Ada pula "Philips Kompas" yang juga diproduksi pasca-Perang Dunia II yang memiliki keunikan pada jarum gelombangnya yang mirip dengan jarum kompas. Ada pula "Bence" yang merupakan radio yang dipasarkan di Indonesia sekitar tahun 1950-an dan diproduksi di daerah Dinoyo, Surabaya.

"Selain itu, ada juga megaphone kuno yang pernah dipakai dalam film tentang Soegija Pranata," katanya tentang pameran untuk menyambut Hari Siaran Nasional yang jatuh setiap tanggal 1 April itu.

Sementara itu, anggota lain dari komunitas itu, Endro Nugoroho, mengatakan dirinya tertarik dengan radio kuno, karena desain yang unik, kualitas suara yang lebih natural, dan nilai sejarah atau kelangkaan.

"Suaranya lebih natural karena memakai tabung dan sifatnya analog, sehingga suara tidak diolah terlebih dulu seperti dalam alat komunikasi sekarang yang menggunakan transistor dan rekayasa digital," katanya.

Namun, katanya, penelusuran/pelacakan radio kuno itu tidak mudah, karena dirinya harus melakukan "hunting" hingga ke Palembang, Malang, Kediri, Bandung, Solo, dan sebagainya. "Harganya juga nisbi-murah yakni mulai Rp2 juta hingga Rp15 juta," katanya.

Apalagi, bila radio kuno itu mengalami kerusakan, maka dirinya perlu mencari komponen di pasar loak hingga berbulan-bulan. "Kalau kami memiliki dua radio kuno yang sejenis, maka akan kami jual bila ada turis yang kebetulan ke Yogyakarta dan berminat," katanya.