Memasuki bagian depan museum, ribuan stupa karya Albert Setyawan, bertajuk Cosmic Labyrinth: The Silent Pathway ada. Bukan stupa kebanyakan, karena dia diinspirasi bentuk rumah ibadah: gereja, mesjid, dan candi. 1.200 stupa ini mencerminkan ke-bhinneka-an, penciri Indonesia sepanjang masa dengan toleransinya.
Mirip dengan relief di Candi Borobudur dan candi lain, relief gerbang itu terbangun dari grafit.
Sekumpulan figur grafis duduk mengelilingi meja, mereka berwajah. Mereka adalah pahlawan dan presiden Indonesia dulu sampai saat ini. Di antara figur-figur ini, hanya ada satu figur yakni figur perempuan yang berdiri, karya yang dinamakan Endang Wiharso --empuna karya-- The Indonesian: No Time to Hide.
Eko Nugroho mengajukan Penghasut Badai-badai, patung serupa manusia berdiri dan duduk berbagai macam posisi di atas rakit bambu dan drum minyak bekas.
Negara Indonesia yang disokong kekayaan minyak dan sumber daya alam lainnya dia representasikan dalam karyanya ini.
Terakhir, di tengah ruangan museum giliran karya Sri Astari, Pendopo: Dancing the Wild Seas yang giliran layak mendapat perhatian, serupa sembilan patung wayang penari yang sedang berada dalam pendopo.
Dari budaya Jawa, pendopo bagian penting dalam rumah tradisional mereka, tempat (juga) tradisi dan budaya Jawa dijaga dan dikawal.