Jakarta (ANTARA News) - Rakyat Semenanjung Krimea di Ukraina melakukan pilihan apakah akan menjadi bagian Rusia atau menjadi negara independen (dan) tetap terkait dengan Ukraina. Referendum pada Minggu waktu setempat itu dinyatakan CNN, bisa memperburuk hubungan Amerika Serikat dan Rusia yang telah membaik selama ini.
Hasil pemungutan suara awal menunjukkan 95,5 persen pemilih menyatakan memisahkan diri dari Ukraina untuk menjagi bagian Rusia.
Terlepas status dan masa depan Semenanjung Krimea nanti, referendum itu akan bisa membenturkan Amerika Serikat dan Rusia, yang telah berakhir sejak pengakhiran Perang Dingin terjadi. Amerika Serikat tetap menyatakan referendum itu ilegal dan tidak akan mengakui hasilnya.
Sebelumnya, Semenanjung Krimea -- bagian otonom Republik Ukraina-- melalui perdana menterinya, Sergey Aksyonov, mengajak semua warganya yang sebanyak 1,5 juta jiwa itu untuk menentukan pilihan. Dia sangat sadar mata dunia tertuju ke sana sekarang, sehingga dia menyatakan, "Semua warga Krimea agar hidup bebas di dunia dalam hubungan bersahabat dengan semuanya."
Banyak TPS dipenuhi warga yang akan menentukan pilihannya, menafikan angin dingin yang selalu berembus dalam pertemanan dengan alunan musik tradisional mereka, yang mengingatkan pada masa penguasaan Uni Soviet di sana. Dari kejauhan, sekelompok tentara Rusia tanpa tanda pengenal kecuali plat nomor kendaraan Rusia, berdiri memandang ke arah mereka.
Bagi Grigoy Ilarionovich, warga semenanjung itu, menyatakan, "Ingin mengembalikan yang telah Krushchev ambil." Perdana Menteri Uni Soviet, Nikita Krushchev, memberikan Semenanjung Krimea kepada Ukraina pada 1954, walau Ukraina saat itu bagian dari Uni Soviet.
Walau secara spiritual dekat dengan Krimea, namun Victoria Khudyakova, menyatakan, akan memilih bergabung dengan Rusia. "Ini akan menentukan nasib Krimea dan sangat penting. Saya membesarkan seorang anak dan inilah tujuan kami. Bagi saya, Russia adalah kesempatan bagi kami di Krimea untuk membangun dan berkembang. Saya yakin hal itu," kata dia.
Kremlin melalui perintah orang kuat negara federasi Rusia, Vladimir Putin, semakin menguatkan "kehadirannya" walau dengan cara "tersamar" yang mudah dikenali. Semenanjung Krimea terlanjur menjadi tempat tinggal bagiya mayoritas etnik Russia dengan minoritas gabungan Tatar Krimea, dan beberapa yang lain. Mereka ini konsisten memboikot referendum yang dirancang dan digagas Kremlin itu.
Kremlin juga melancarkan kampanye bahwa mereka memiliki hak melindungi mayoritas etnik Rusia di Ukraina, yang dinyatakan tengah terancam dari kaum nasionalis radikal dan fasis.
Dari sisi Ukraina, Menteri Pertahanan Ukraina, Ihor Tenyukh, pada Jumat lalu, menyatakan, ada 22.000 tentara Rusia di Semenanjung Krimea; Rusia pernah menyatakan memiliki 25.000 tentara di Pangkalan Angkatan Laut Sevastpol. Sementara pejabat Menteri Luar Negeri Ukraina, Andril Deshchytsia, berkata, negaranya tengah terlibat perang diplomatik dengan Rusia dan mencari pemecahan damai atas krisis itu.
Delapan unit militer Ukraina telah diambil alih, 22 diblokade, dan 49 dari 56 pos patroli perbatasan ada dalam selat yang sama. Di Donetsk, dekat perbatasan dengan Rusia di timur Ukraina, ribuan demonstran pro-Rusia berkumpul di lapangan umum kota itu.
Polisi anti huru-hara juga tidak hadir seorangpun di Lapangan Lenin, Donetsk, itu walau pengawasan tetap dilakukan oleh petugas pelayanan keamanan Ukraina dan pemerintahan setempat.
Sebelumnya, pembicaraan empat mata antara Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, John Kerry, dan Menteri Luar Negeri Russia, Sergey Lavrov, berakhir dengan ketidaksepakatan. Segera setelah berbicara dengan Kerry, Sabtu lalu, Lavrov menyatakan, referendum Krimea itu telah memenuhi kaidah hukum internasional.
Menurut negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, yang terjadi saat ini di Semenanjung Krimea secara de facto adalah aneksasi. Mereka telah mengumumkan langkah-langkah sanksi bagi Rusia, yang dikatakan akan semakin berat pada tahap demi tahap.
Kiev sebagai lambang Ukraina, di bawah pemerintahan baru yang merapat ke Barat menggantikan Presiden Ukraina yang digulingkan, Viktor Yanukhovych, mendesak bahwa integritas teritorial Ukraina meliputi juga Semenanjung Krimea.
Hasil pemungutan suara awal menunjukkan 95,5 persen pemilih menyatakan memisahkan diri dari Ukraina untuk menjagi bagian Rusia.
Sebelumnya, Semenanjung Krimea -- bagian otonom Republik Ukraina-- melalui perdana menterinya, Sergey Aksyonov, mengajak semua warganya yang sebanyak 1,5 juta jiwa itu untuk menentukan pilihan. Dia sangat sadar mata dunia tertuju ke sana sekarang, sehingga dia menyatakan, "Semua warga Krimea agar hidup bebas di dunia dalam hubungan bersahabat dengan semuanya."
Banyak TPS dipenuhi warga yang akan menentukan pilihannya, menafikan angin dingin yang selalu berembus dalam pertemanan dengan alunan musik tradisional mereka, yang mengingatkan pada masa penguasaan Uni Soviet di sana. Dari kejauhan, sekelompok tentara Rusia tanpa tanda pengenal kecuali plat nomor kendaraan Rusia, berdiri memandang ke arah mereka.
Bagi Grigoy Ilarionovich, warga semenanjung itu, menyatakan, "Ingin mengembalikan yang telah Krushchev ambil." Perdana Menteri Uni Soviet, Nikita Krushchev, memberikan Semenanjung Krimea kepada Ukraina pada 1954, walau Ukraina saat itu bagian dari Uni Soviet.
Walau secara spiritual dekat dengan Krimea, namun Victoria Khudyakova, menyatakan, akan memilih bergabung dengan Rusia. "Ini akan menentukan nasib Krimea dan sangat penting. Saya membesarkan seorang anak dan inilah tujuan kami. Bagi saya, Russia adalah kesempatan bagi kami di Krimea untuk membangun dan berkembang. Saya yakin hal itu," kata dia.
Kremlin melalui perintah orang kuat negara federasi Rusia, Vladimir Putin, semakin menguatkan "kehadirannya" walau dengan cara "tersamar" yang mudah dikenali. Semenanjung Krimea terlanjur menjadi tempat tinggal bagiya mayoritas etnik Russia dengan minoritas gabungan Tatar Krimea, dan beberapa yang lain. Mereka ini konsisten memboikot referendum yang dirancang dan digagas Kremlin itu.
Kremlin juga melancarkan kampanye bahwa mereka memiliki hak melindungi mayoritas etnik Rusia di Ukraina, yang dinyatakan tengah terancam dari kaum nasionalis radikal dan fasis.
Dari sisi Ukraina, Menteri Pertahanan Ukraina, Ihor Tenyukh, pada Jumat lalu, menyatakan, ada 22.000 tentara Rusia di Semenanjung Krimea; Rusia pernah menyatakan memiliki 25.000 tentara di Pangkalan Angkatan Laut Sevastpol. Sementara pejabat Menteri Luar Negeri Ukraina, Andril Deshchytsia, berkata, negaranya tengah terlibat perang diplomatik dengan Rusia dan mencari pemecahan damai atas krisis itu.
Delapan unit militer Ukraina telah diambil alih, 22 diblokade, dan 49 dari 56 pos patroli perbatasan ada dalam selat yang sama. Di Donetsk, dekat perbatasan dengan Rusia di timur Ukraina, ribuan demonstran pro-Rusia berkumpul di lapangan umum kota itu.
Polisi anti huru-hara juga tidak hadir seorangpun di Lapangan Lenin, Donetsk, itu walau pengawasan tetap dilakukan oleh petugas pelayanan keamanan Ukraina dan pemerintahan setempat.
Sebelumnya, pembicaraan empat mata antara Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, John Kerry, dan Menteri Luar Negeri Russia, Sergey Lavrov, berakhir dengan ketidaksepakatan. Segera setelah berbicara dengan Kerry, Sabtu lalu, Lavrov menyatakan, referendum Krimea itu telah memenuhi kaidah hukum internasional.
Menurut negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, yang terjadi saat ini di Semenanjung Krimea secara de facto adalah aneksasi. Mereka telah mengumumkan langkah-langkah sanksi bagi Rusia, yang dikatakan akan semakin berat pada tahap demi tahap.
Kiev sebagai lambang Ukraina, di bawah pemerintahan baru yang merapat ke Barat menggantikan Presiden Ukraina yang digulingkan, Viktor Yanukhovych, mendesak bahwa integritas teritorial Ukraina meliputi juga Semenanjung Krimea.