JAKARTA (ANTARA) - Siapa pun bangga bahwa hutan kita adalah bagian dari "paru-paru" dunia. Namun begitu, belantara rimba raya Indonesia telah mengalami laju deforestasi yang termasuk tinggi di dunia. Kejahatan lingkungan berbasis keserakahan manusia, terus mengancam kelestarian hutan sebagai rumah bersama kita. Mengambil langkah bergaya hidup hijau, dapatlah kiranya menyumbang andil dalam memulihkan kesehatan "paru-paru" bumi.
Indonesia memiliki hutan terluas ketiga di dunia, mencakup hutan tropis dan sumbangan dari hutan hujan Kalimantan dan Papua.
World Wide Fund for Nature (WWF) melaporkan, lebih dari 170 juta hektare hutan dunia akan menghilang secara pesat hingga 2030 mendatang dan Indonesia termasuk dalam daftar 11 wilayah yang terkonsentrasi deforestasi tinggi.
Seperti yang terjadi di berbagai negara, hutan Indonesia mengalami ancaman deforestasi yang terus membayangi keberlangsungannya. Dalam buku rekor dunia Guinness pada awal tahun 2000-an Indonesia pernah tercatat sebagai negara tropis dengan laju deforestasi tertinggi di dunia, yakni dua juta hektare per tahun. Atau Forest Watch Indonesia (FWI) menyetarakan dengan seluas tiga kali lapangan sepak bola, hutan kita hilang dalam setiap menitnya.
Hilangnya vegetasi selalu diikuti dengan hilangnya fungsi hutan sebagai pengatur iklim mikro, sumber papan juga pangan masyarakat adat atau warga lokal, konservasi air dan tanah, areal bernilai konservasi tinggi, biodiversitas, potensi obat-obatan, sumber makanan dan gizi dari hutan, energi, serta nilai sejarah kebudayaan, bahkan sebagai sumber pengetahuan yang belum tercatat.
Hutan adalah rumah bersama bagi tumbuhan dan satwa serta manusia, yang menjadi pondasi penjaga ekosistem dan penopang elemen kehidupan di bumi. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia (KLHK), luas hutan Indonesia mencapai 94,1 juta hektare atau 50,1 persen dari total daratan pada 2019.
Menilik dari titik posisi berdasarkan garis lintang wilayah yang berada di garis khatulistiwa, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan hujan tropis di wilayah Asia Tenggara, selain Malaysia dan Thailand. Sifat kelembapan hutan hujan tropis sangat mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan berbagai flora dan fauna. Lebih dari 80 persen keanekaragaman hayati dunia dapat ditemukan di hutan hujan tropis. Mampukah kita bayangkan bagaimana dampak kerusakan hutan bagi keberlangsungan hidup mereka juga kesejahteraan manusia?
Pernyataan Presiden RI Joko Widodo pada konferensi tingkat tinggi perubahan iklim (COP26) yang berlangsung di Glasgow beberapa tahun lalu dapat sedikit menghibur, karena mengklaim Indonesia berhasil menghentikan laju deforestasi hingga kebakaran hutan. Indonesia juga telah merehabilitasi 3 juta lahan kritis selama 2010-2019.
"Laju deforestasi turun signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir. Kebakaran hutan juga turun 82 persen di tahun 2020. Indonesia juga telah memulai rehabilitasi hutan mangrove seluas 600 ribu hektare sampai 2024, terluas di dunia," kata Presiden.
Panen akibat
Segenap umat manusia tak terkecuali masyarakat Indonesia tengah kegerahan dengan cuaca panas menyengat yang mendera bumi berkali-kali lipat dari sebelumnya. Fenomena pemanasan global ini tentu bukan kejadian yang tiba-tiba, melainkan buah dari tabungan perilaku buruk manusia terhadap alam selama ini, salah satunya kepada hutan.
Kejahatan hutan banyak dilakukan dalam aktivitas industri ekstraktif yang mengeruk sumber daya hutan. Bukan hanya oleh perusahaan besar, kegiatan perkebunan kecil oleh para petani pun jika diakumulasi luasnya bisa melebihi skala industri.
Eksploitasi tiada henti telah menyebabkan Pulau Sumatera kehilangan separuh hutannya yang sudah beralih fungsi untuk kepentingan industri. Begitu pula dengan Pulau Borneo dan Papua yang hanya akan menyisakan seperempat wilayah hijaunya dalam beberapa tahun mendatang. Pembalakan pohon, pembakaran hutan, dan pertambangan minerba tanpa diimbangi upaya konservasi akan mengakibatkan sakitnya paru-paru bumi.
Hutan memiliki peran penting untuk mengatur dan menjaga kestabilan iklim global. Bila hutan mengalami kerusakan maka berakibat terjadinya peningkatan suhu bumi serta perubahan iklim yang ekstrem. Sebab, hutan dengan pohon-pohon yang terdapat di dalamnya adalah produsen penghasil oksigen yang sekaligus berfungsi sebagai penyerap karbon yang besar. Lebih dari 300 miliar ton karbon tersimpan di hutan dan pohon-pohon yang ada di bumi. Deforestasi memicu pelepasan besar-besaran karbon dioksida ke atmosfer dan meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca.
Selain krisis iklim, banyak kerugian yang harus dibayar manakala hutan menderita kerusakan. Karena hutan merupakan rumah bagi lebih dari 50 persen seluruh spesies tumbuhan dan hewan, maka kerusakan hutan berarti kehilangan spesies dan habitat satwa. Berkurangnya berbagai spesies berdampak pada bidang pendidikan seperti punahnya spesies yang merupakan obyek penelitian, dan konflik antara manusia dengan satwa terpicu karena habitat mereka tergusur. Sedangkan bidang kesehatan terdampak oleh hilangnya berbagai jenis obat-obatan yang bersumber dari tanaman di hutan.
Akibat lain dari deforestasi adalah terganggunya siklus air karena hutan tidak bisa lagi menjalankan fungsinya dalam menjaga tata letak air. Padahal pepohonan di hutan memiliki fungsi menyerap curah hujan serta menghasilkan uap air yang kemudian akan dilepaskan ke atmosfer. Jika jumlah pohon terus berkurang oleh sebab tren deforestasi, maka kandungan air di udara yang nantinya akan dikembalikan ke tanah dalam bentuk hujan menjadi sedikit. Tanah yang kekurangan air hujan menjadi kering sehingga sulit bagi tanaman untuk hidup.
Kerusakan hutan juga dapat berdampak pada hilangnya mata pencaharian masyarakat sekitar hutan yang mengandalkan kegiatan ekonomi sehari-hari dari sumber daya rimba.
Belum lagi terjadinya berbagai bencana alam akibat kebotakan hutan, seperti erosi, banjir dan tanah longsor yang menimbulkan kerugian besar materiil hingga hilangnya banyak nyawa.
Gaya hidup hijau
Menyelamatkan hutan Indonesia bukan hanya tugas pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ini adalah pekerjaan besar yang mesti dipikul bersama semua kalangan dan pemangku kepentingan, dari langkah sederhana hingga tindakan keras.
Berikut sejumlah tindakan nyata yang dapat kita lakukan bagi perlindungan hutan dan masa depannya, sesuai kapasitas masing-masing:
- Masyarakat. Mulailah bergaya hidup hijau (go green) dengan menjadi konsumen yang bijak dan bertanggung jawab atas produk-produk hasil hutan. Anda bisa memilih dan membeli serta menggunakan dengan hemat produk-produk kayu dan turusannya (kertas, tisu) yang diproduksi secara lestari.
Warga, baik secara mandiri maupun dalam komunitas dapat menambah jumlah pohon di bumi dengan menanam di pekarangan rumah, di lingkungan sekitar atau memelopori aksi reboisasi di lahan-lahan gundul.
- Perusahaan. Tidak melakukan perusakan hutan dalam mencari bahan baku dan proses produksi. Mengambil dan memberi dari hutan secara berimbang. Setelah mengambil sumber daya hutan seperlunya, kemudian melakukan pemulihan atau konservasi.
- Pemerintah. Membuat regulasi berwawasan lingkungan, menegakkan kebijakan-kebijakan dan penerapan yang benar untuk melindungi hutan.
- Peradilan. Meskipun kita mendamba akan hadirnya peradilan khusus lingkungan hidup, namun bila itu terlalu lama untuk dapat direalisasikan, minimal semua pengadilan yang tengah menangani perkara kejahatan lingkungan, hendaknya memilih hakim yang berwawasan lingkungan dan memiliki keberpihakan terhadapnya. Dengan begitu itu mereka akan tergugah nuraninya untuk menghukum tegas para penjahat lingkungan.
Tak perlu ditegur oleh bencana baru tergugah kesadaran untuk menyelamatkan hutan. Mari mengembalikan hutan seperti dulu lagi, dengan berbagai peran yang mampu kita jalankan. Lestari hutanku, Selamat Hari Hutan Indonesia 2024.
Artikel
Bersama-sama menjaga kesehatan "paru-paru" dunia
Oleh Sizuka
7 Agustus 2024 11:11 WIB
Pohon-pohon rindang di hutan adalah produsen oksigen yang sekaligus berfungsi sebagai penyerap karbon yang besar. ANTARA/Sizuka
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024
Tags: