Transisi energi dinilai jadi bagian penting capai SDGs
6 Agustus 2024 23:37 WIB
Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas Vivi Yulaswati dan Country Director WRI Indonesia Nirarta Samadhi di Hotel Ayanan Midplaza, Jakarta, Selasa (6/8/2024). ANTARA/M. Baqir Idrus Alatas
Jakarta (ANTARA) - Country Director World Resources Institute (WRI) Indonesia Nirarta Samadhi mengatakan transisi energi menjadi bagian penting mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs).
“Sebagai salah satu isu yang dikerjakan kemitraan WRI-Bappenas, transisi berkeadilan menjadi bagian penting dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan Indonesia,” ujarnya di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta, Selasa.
Pada RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional), kebijakan transisi energi berkeadilan menuju energi baru terbarukan merupakan salah satu dari upaya transformasi dalam lima lingkup penerapan ekonomi hijau dan pembangunan rendah karbon
Dia menyampaikan bahwa transisi yang berkeadilan memastikan manfaat dan resiko transisi menuju masa depan energi yang lebih berkelanjutan dibagi secara merata di seluruh lapisan masyarakat yang terdampak. Namun, beberapa implikasi sosial ekonomi dari transisi energi sangat signifikan dan menimbulkan resiko pada berbagai kelompok.
Pada sektor pasar kerja, beberapa pekerjaan akan hilang atau tergantikan dengan perkiraan 1,94 juta pekerja di sektor energi fosil terancam. Selanjutnya risiko peningkatan angka kemiskinan untuk pekerja dan komunitas terdampak, daya saing perusahaan domestik menurun karena berbagai kebijakan pembatasan karbon, serta penurunan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) akibat pemberlakuan insentif pajak untuk kendaraan listrik.
Di sisi lain, transisi energi berpotensi menciptakan pekerjaan hijau (green job) sebanyak 42 persen tenaga kerja tambahan atau sekitar 2,25 juta pekerjaan pada tahun 2060, terutama di sektor energi. Kedua, energi terbarukan off-grid dapat menyediakan akses energi bersih ke daerah-daerah terpencil.
“Di wilayah seperti Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan yang sangat bergantung pada batubara, kita mungkin melihat penurunan PDB akibat kebijakan percepatan penghapusan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap). Hal ini menegaskan perlunya diversifikasi ekonomi dan kebijakan yang ditargetkan untuk melindungi perekonomian masyarakat di wilayah-wilayah terdampak transisi tersebut,” ucap Nirarta.
Terakhir, Indonesia miliki potensi hilirisasi industri nikel yang mampu meningkatkan nilai tambah dan pertumbuhan ekonomi nasional menimbang 20,6 persen cadangan nikel dunia berada di tanah air.
Untuk mendukung upaya transisi berkeadilan, lanjut dia, penting merumuskan kebijakan perencanaan yang memiliki kerangka kerja menjaga dan memastikan prinsip-prinsip berkeadilan diterapkan dalam proses transisi. Terkait hal itu, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) dan WRI Indonesia mengembangkan indikator untuk membantu dan mengvaluasi dampak sosial ekonomi dari transisi energi tersebut.
Pihaknya mengharapkan indikator yang hendak disusun ini dapat digunakan sebagai alat untuk memastikan ketercapaian upaya transisi energi berkeadilan yang tercakup dalam agenda pembangunan transformasi ekonomi pada RPJPN 2025-2045.
Bagi Narirta, kolaborasi dan partisipasi dari instansi pemerintah entitas sektor swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan institusi akademik menjadi kunci mencapai keberhasilan transisi energi. Kontribusi semua kelompok sangat penting dalam menyempurnakan berbagai kajian ilmiah yang dikembangkan guna mendukung kebijakan perencanaan dan strategi terkait penerapan ekonomi hijau.
“Saya optimis dengan upaya kolaboratif yang sungguh-sungguh akan dapat membawa dampak positif terhadap masa depan Indonesia,” ungkap Country Director WRI Indonesia.
Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas Vivi Yulaswati menambahkan bahwa Kick-Off Meeting Penyusunan Studi Indikator Transisi Energi Berkeadilan akan mencakup aspek sosial, ekonomi, lingkungan, dan tata kelola.
“Transisi energi sendiri bisa banyak jalan. Mulai listrik, atau kita juga mesti mempertimbangan hidrogen misalnya, atau bioetanol, kan ada biofuel juga. Nah, ini yang kita masih belum sampai ke sana, karena baru di-launching tadi ini. Indikatornya sendiri karena berkeadilan, tentunya aspek-aspek sosial, ekonomi, lingkungan, dan juga tata kelolanya itu nanti akan kita gali dalam studi ini,” kata Vivi.
Transisi energi berkeadilan menitikberatkan pada keseimbangan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan untuk menekan risiko maupun dampak negatif.
Karena itu, kerja sama antar kedua belah pihak tersebut fokus pada pengembangan indikator transisi berkeadilan di Indonesia untuk menjaga transisi yang adil dan inklusif.
Mulai dari mitigasi kerugian ekonomi dan dampak negatif terhadap lingkungan, mengurangi kesenjangan akses terhadap energi bersih, hingga menyiapkan pengembangan sumber daya manusia, peluang kerja, dan jaminan sosial. Indikator ini untuk memonitor dan mengevaluasi secara berkala dampak transisi energi dari perspektif sosial, ekonomi, dan lingkungan di bawah rangka perencanaan pembangunan nasional.
Baca juga: Bappenas beberkan peran bisnis dalam pelaksanaan ekonomi hijau
Baca juga: Pertamina Hulu Energi raih penghargaan bisnis berkelanjutan UNGC 2024
“Sebagai salah satu isu yang dikerjakan kemitraan WRI-Bappenas, transisi berkeadilan menjadi bagian penting dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan Indonesia,” ujarnya di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta, Selasa.
Pada RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional), kebijakan transisi energi berkeadilan menuju energi baru terbarukan merupakan salah satu dari upaya transformasi dalam lima lingkup penerapan ekonomi hijau dan pembangunan rendah karbon
Dia menyampaikan bahwa transisi yang berkeadilan memastikan manfaat dan resiko transisi menuju masa depan energi yang lebih berkelanjutan dibagi secara merata di seluruh lapisan masyarakat yang terdampak. Namun, beberapa implikasi sosial ekonomi dari transisi energi sangat signifikan dan menimbulkan resiko pada berbagai kelompok.
Pada sektor pasar kerja, beberapa pekerjaan akan hilang atau tergantikan dengan perkiraan 1,94 juta pekerja di sektor energi fosil terancam. Selanjutnya risiko peningkatan angka kemiskinan untuk pekerja dan komunitas terdampak, daya saing perusahaan domestik menurun karena berbagai kebijakan pembatasan karbon, serta penurunan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) akibat pemberlakuan insentif pajak untuk kendaraan listrik.
Di sisi lain, transisi energi berpotensi menciptakan pekerjaan hijau (green job) sebanyak 42 persen tenaga kerja tambahan atau sekitar 2,25 juta pekerjaan pada tahun 2060, terutama di sektor energi. Kedua, energi terbarukan off-grid dapat menyediakan akses energi bersih ke daerah-daerah terpencil.
“Di wilayah seperti Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan yang sangat bergantung pada batubara, kita mungkin melihat penurunan PDB akibat kebijakan percepatan penghapusan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap). Hal ini menegaskan perlunya diversifikasi ekonomi dan kebijakan yang ditargetkan untuk melindungi perekonomian masyarakat di wilayah-wilayah terdampak transisi tersebut,” ucap Nirarta.
Terakhir, Indonesia miliki potensi hilirisasi industri nikel yang mampu meningkatkan nilai tambah dan pertumbuhan ekonomi nasional menimbang 20,6 persen cadangan nikel dunia berada di tanah air.
Untuk mendukung upaya transisi berkeadilan, lanjut dia, penting merumuskan kebijakan perencanaan yang memiliki kerangka kerja menjaga dan memastikan prinsip-prinsip berkeadilan diterapkan dalam proses transisi. Terkait hal itu, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) dan WRI Indonesia mengembangkan indikator untuk membantu dan mengvaluasi dampak sosial ekonomi dari transisi energi tersebut.
Pihaknya mengharapkan indikator yang hendak disusun ini dapat digunakan sebagai alat untuk memastikan ketercapaian upaya transisi energi berkeadilan yang tercakup dalam agenda pembangunan transformasi ekonomi pada RPJPN 2025-2045.
Bagi Narirta, kolaborasi dan partisipasi dari instansi pemerintah entitas sektor swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan institusi akademik menjadi kunci mencapai keberhasilan transisi energi. Kontribusi semua kelompok sangat penting dalam menyempurnakan berbagai kajian ilmiah yang dikembangkan guna mendukung kebijakan perencanaan dan strategi terkait penerapan ekonomi hijau.
“Saya optimis dengan upaya kolaboratif yang sungguh-sungguh akan dapat membawa dampak positif terhadap masa depan Indonesia,” ungkap Country Director WRI Indonesia.
Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas Vivi Yulaswati menambahkan bahwa Kick-Off Meeting Penyusunan Studi Indikator Transisi Energi Berkeadilan akan mencakup aspek sosial, ekonomi, lingkungan, dan tata kelola.
“Transisi energi sendiri bisa banyak jalan. Mulai listrik, atau kita juga mesti mempertimbangan hidrogen misalnya, atau bioetanol, kan ada biofuel juga. Nah, ini yang kita masih belum sampai ke sana, karena baru di-launching tadi ini. Indikatornya sendiri karena berkeadilan, tentunya aspek-aspek sosial, ekonomi, lingkungan, dan juga tata kelolanya itu nanti akan kita gali dalam studi ini,” kata Vivi.
Transisi energi berkeadilan menitikberatkan pada keseimbangan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan untuk menekan risiko maupun dampak negatif.
Karena itu, kerja sama antar kedua belah pihak tersebut fokus pada pengembangan indikator transisi berkeadilan di Indonesia untuk menjaga transisi yang adil dan inklusif.
Mulai dari mitigasi kerugian ekonomi dan dampak negatif terhadap lingkungan, mengurangi kesenjangan akses terhadap energi bersih, hingga menyiapkan pengembangan sumber daya manusia, peluang kerja, dan jaminan sosial. Indikator ini untuk memonitor dan mengevaluasi secara berkala dampak transisi energi dari perspektif sosial, ekonomi, dan lingkungan di bawah rangka perencanaan pembangunan nasional.
Baca juga: Bappenas beberkan peran bisnis dalam pelaksanaan ekonomi hijau
Baca juga: Pertamina Hulu Energi raih penghargaan bisnis berkelanjutan UNGC 2024
Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2024
Tags: