Pakar: Permintaan kelas menengah melambat pengaruhi PMI manufaktur
3 Agustus 2024 09:33 WIB
ILustrasi - Petugas memeriksa kondisi motor listrik di halaman Kemenko Marves, Jakarta, Selasa (31/10/2023). Kemenko Marves bersama AstraZeneca dan manufaktur lokal menggalakan transisi kendaraan dari yang berbahan bakar fosil menjadi listrik guna mengurangi emisi karbon di Indonesia. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww.
Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai permintaan kelas menengah di perkotaan yang melambat turut mempengaruhi pelemahan PMI manufaktur Indonesia Juli 2024.
"Permintaan kelas menengah khususnya di perkotaan melambat, karena berbagai tekanan naiknya harga kebutuhan pokok, biaya pendidikan dan perumahan serta tingginya suku bunga pinjaman," kata Bhima saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Sabtu.
Berdasarkan data S&P Global, PMI manufaktur Indonesia pada Juli 2024 terkontraksi 1,4 poin secara bulanan (month-to-month/mtm) menjadi 49,3 dari 50,7 pada Juni.
Bhima menuturkan permintaan kelas menengah yang melambat tersebut ditunjukkan dengan angka non-performing loan (NPL) atau kredit macet Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang naik ke 2,72 persen per April 2024 dibanding April 2023 yang sebesar 2,64 persen.
Kemudian, penjualan wholesales (pabrik ke dealer) mobil nasional turun 21 persen year on year (yoy) pada periode Januari-Mei 2024.
Menurut dia, kondisi melambatnya permintaan kelas menengah mengakibatkan permintaan industri tergerus, apalagi momentum kenaikan musiman konsumsi rumah tangga baru menunggu libur panjang Natal dan tahun baru.
"Jadi pelaku usaha juga antisipasi dengan mengurangi pembelian bahan baku," ujarnya.
Selain menurunnya permintaan kelas menengah, faktor lain yang juga menjadi kontribusi utama terhadap pelemahan PMI manufaktur, yaitu inkonsistensi kebijakan impor barang jadi khususnya aturan relaksasi impor sehingga menyebabkan persaingan industri di dalam negeri makin ketat dengan barang impor.
"Jadi kondisinya permintaan sedang lambat, ditambah banjir barang impor. Ya itu sebabkan industri tertekan sekali," tuturnya.
Baca juga: Kemenkeu bakal atur kolaborasi guna mitigasi pelemahan PMI manufaktur
Baca juga: Menkeu bakal investigasi pemicu melemahnya PMI manufaktur RI
"Permintaan kelas menengah khususnya di perkotaan melambat, karena berbagai tekanan naiknya harga kebutuhan pokok, biaya pendidikan dan perumahan serta tingginya suku bunga pinjaman," kata Bhima saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Sabtu.
Berdasarkan data S&P Global, PMI manufaktur Indonesia pada Juli 2024 terkontraksi 1,4 poin secara bulanan (month-to-month/mtm) menjadi 49,3 dari 50,7 pada Juni.
Bhima menuturkan permintaan kelas menengah yang melambat tersebut ditunjukkan dengan angka non-performing loan (NPL) atau kredit macet Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang naik ke 2,72 persen per April 2024 dibanding April 2023 yang sebesar 2,64 persen.
Kemudian, penjualan wholesales (pabrik ke dealer) mobil nasional turun 21 persen year on year (yoy) pada periode Januari-Mei 2024.
Menurut dia, kondisi melambatnya permintaan kelas menengah mengakibatkan permintaan industri tergerus, apalagi momentum kenaikan musiman konsumsi rumah tangga baru menunggu libur panjang Natal dan tahun baru.
"Jadi pelaku usaha juga antisipasi dengan mengurangi pembelian bahan baku," ujarnya.
Selain menurunnya permintaan kelas menengah, faktor lain yang juga menjadi kontribusi utama terhadap pelemahan PMI manufaktur, yaitu inkonsistensi kebijakan impor barang jadi khususnya aturan relaksasi impor sehingga menyebabkan persaingan industri di dalam negeri makin ketat dengan barang impor.
"Jadi kondisinya permintaan sedang lambat, ditambah banjir barang impor. Ya itu sebabkan industri tertekan sekali," tuturnya.
Baca juga: Kemenkeu bakal atur kolaborasi guna mitigasi pelemahan PMI manufaktur
Baca juga: Menkeu bakal investigasi pemicu melemahnya PMI manufaktur RI
Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2024
Tags: