Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan realisasi penarikan utang sebesar Rp214,7 triliun per Juni 2024 tetap sesuai target.

“Pembiayaan utang masih on-track untuk memenuhi kebutuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Jakarta, Jumat.

Realisasi tersebut setara dengan 33,1 persen dari target APBN 2024 sebesar Rp648,1 triliun, terdiri dari penerbitan SBN (neto) sebesar Rp206,2 triliun dan pinjaman (neto) sebesar Rp8,5 triliun.

Menkeu memastikan pengelolaan pembiayaan utang dilaksanakan secara hati-hati dan terukur dengan memperhatikan dinamika perekonomian dan pasar keuangan. Pengelolaan utang juga turut mempertimbangkan kondisi likuiditas Pemerintah serta menjaga keseimbangan antara biaya dan risiko utang.

Sementara itu, realisasi pembiayaan investasi mencapai Rp47,8 triliun, yang digunakan untuk mendukung peningkatan akses pembiayaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan penguatan kualitas sumber daya manusia (SDM).

Secara umum, realisasi pembiayaan anggaran hingga semester I-2024 mencapai Rp168,0 triliun atau 32,1 persen dari APBN.

Baru-baru ini, Standard & Poor’s Global Ratings (S&P) mengumumkan peringkat kredit jangka panjang Indonesia bertahan pada level BBB, sementara jangka pendek pada A-2 dengan outlook stabil.

Menkeu yakin hal itu membuktikan Indonesia mampu mengelola utang dengan akuntabel.

“Pemerintah mengelola utang secara hati-hati serta akuntabel dengan pemilihan tingkat risiko portofolio yang cermat untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi yang kuat,” katanya beberapa waktu lalu.

S&P menilai Indonesia berhasil menjaga stabilitas fiskal dengan kebijakan yang hati-hati. Pemerintah Indonesia mampu mengelola anggaran dengan disiplin dan menjaga defisit fiskal di bawah 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Selain itu, rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB juga masih relatif rendah dibandingkan peers pada level investment grade.

Stabilitas makroekonomi juga menjadi salah satu faktor utama yang mendukung peringkat kredit Indonesia. Insentif pajak yang diberikan pada industri manufaktur dan pengolahan diyakini oleh S&P akan bermanfaat dalam pengembangan sektor industri yang terkait. S&P juga menyoroti cadangan devisa dan sistem perbankan yang cukup kuat dalam menahan gejolak ekonomi.

Baca juga: Menkeu sebut peringkat kredit BBB bukti RI akuntabel kelola utang
Baca juga: BI: Pemangkasan suku bunga AS kemungkinan semakin maju dari perkiraan
Baca juga: Utang nasional Amerika tembus 35 triliun dolar AS untuk pertama kali