Kiev (ANTARA News) - Ukraina, Senin, berupaya mendapatkan dukungan dari negara-negara Barat setelah Presiden Rusia Vladimir Putin bersikeras bahwa Krimea memiliki hak untuk bergabung dengan negaranya.

Tim proEropa di Kiev --yang dibantu oleh aksi-aksi unjuk rasa berdarah selama tiga bulan untuk menggulingkan pemerintahan dukungan Kremlin-- sedang berpacu dengan waktu untuk menjaga kesatuan wilayahnya yang berpenduduk 46 juta jiwa, lapor AFP.

Kepemimpinan yang dideklarasikan secara sepihak di Krimea, semenanjung Ukraina yang dihuni mayoritas etnis Rusia, telah menyatakan merdeka dari Kiev dan akan menyelenggarakan pemungutan suara pada 16 Maret untuk menentukan apakah Krimea akan berpaling tunduk kepada kepemimpinan Kremlin.

Keputusan itu telah mendapat kecaman dari negara-negara kuat Barat, yang juga merasa gusar karena Rusia merebut Krimea melalui aksi yang dilancarkan beberapa hari setelah kejatuhan presiden Rusia Viktor Yanukovych pada 22 Februari lalu. Tak lama setelah jatuh, Yanukovych melarikan diri ke Rusia.

Kanselir Jerman Angela Merkel dengan keras mengatakan kepada Putin, Minggu, bahwa jajak pendapat Krimea merupakan langkah yang "ilegal".

"Amerika Serikat tidak siap mengakui hasil apapun dari apa yang disebut dengan referendum itu," kata duta besar AS Geoffrey Pyatt di Kiev, Senin.

Krisis Timur-Barat paling tajam sejak era Perang Dingin itu kian menyala ketika Kremlin mengatakan Putin telah menyatakan kepada Merkel dan Perdana Menteri Inggris David Cameron bahwa ia secara penuh mengakui langkah-langkah yang diambil para pemimpin Krimea.

Namun, kantor Merkel juga mengatakan Putin telah berjanji akan melakukan pembicaraan dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov, Senin, soal pembentukan "kelompok kontak internasional" tentang Ukraina yang sebelumnya ia tolak.

Jerman mendorong agar pembentukan dilakukan sebagai upaya untuk menghindarkan pecahnya perang di ujung timur Eropa --yang akan memungkinkan Ukraina meminta bantuan dalam melawan Rusia, negara tetangganya yang memiki persenjataan nuklir itu.

Tanda awal adanya kemajuan diplomatik muncul ketika Perdana Menteri Ukraina Arseniy Yatsenyuk bersiap-siap terbang ke Washington untuk melakukan pertemuan pertamanya dengan Presiden AS Barack Obama --ia sendiri mendorong adanya rencana perdamaian yang mencakup dukungan bagi penyelenggaraan pemilihan cepat presiden di Ukraina pada 25 Mei.

Pertemuan yang dijadwalkan berlangsung hari Rabu itu akan meningkatkan kredibilitas pemerintahan Yatsenyuk serta memberi kesempatan bagi Ukraina untuk memaparkan rincian bantuan ekonomi yang sangat penting guna menangani perekonomiannya yang sedang megap-megap.

Pemerintahan Yatsenyuk --yang belum teruji itu-- tidak diakui oleh Rusia.

"Kunjungan ini sangat penting," kata Menteri Luar Negeri sementara Ukraina Andriy Deshchytsya kepada televisi Kiev 1+1 pada Minggu malam.

Gedung Putih mengatakan Obama juga akan membahas paket bantuan ekonomi.

Sejauh ini Washington telah menjanjikan suntikan dana cepat senilai lebih dari 1 miliar dolar AS (Rp11,4 triliun) sementara Uni Eropa berjanji akan mengeluarkan 11 miliar euro (Rp174,5 triliun) untuk masa dua tahun.

Ukraina mengatakan memerlukan bantuan dana sekira 25 miliar euro (Rp396,5 triliun) pada tahun 2015 guna dapat menjalankan kehidupan negara setelah Rusia membekukan paket senilai 15 miliar dolar (Rp171,5 triliun) yang telah dijanjikannya kepada Yanukovych.

Paket itu dijanjikan Rusia sebagai imbalan atas penolakan Yanukovych bergabung dengan kesepakatan perdagangan bersejarah Uni Eropa bulan November.


Penerjemah: Tia Mutiasari