KemenPPPA: Ekonomi dan rendahnya pendidikan faktor terjadinya TPPO
1 Agustus 2024 21:38 WIB
Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Pekerja dan TPPO KemenPPPA Prijadi Santoso (kiri) dan Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Wonosobo sekaligus penyintas TPPO Maizidah Salas dalam media talk bertema "Perempuan Merdeka dari Ancaman Tindak Pidana Perdagangan Orang", di Jakarta, Kamis (1/8/2024). ANTARA/Anita Permata Dewi
Jakarta (ANTARA) - Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Pekerja dan TPPO Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Prijadi Santoso mengatakan bahwa faktor ekonomi dan rendahnya pendidikan menjadi salah satu faktor terjadinya perdagangan orang di Indonesia.
"Masalah ekonomi, kemudian pendidikan serta keterbatasan pengetahuan terkait informasi yang layak menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan anak dapat terjerumus ke dalam tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Apalagi dengan ditambahnya kemajuan teknologi yang tidak dibarengi dengan literasi digital yang mumpuni," kata Prijadi Santoso dalam diskusi media di Jakarta, Kamis.
Selain itu, anak-anak yang berasal dari keluarga yang kondisinya tidak optimal seperti miskin, pendidikan rendah, gaya hidup konsumtif berakibat pada salah pergaulan, baik di ranah luring maupun daring yang menyebabkan anak terjerat dalam genggaman pelaku TPPO.
Pihaknya menambahkan, dalam kasus TPPO, pelaku mendekati anak-anak yang hendak disasar dengan berbagai cara yang intinya membujuk dan menipu korban, ada yang dengan cara dipacari dengan mudah karena anak-anak haus kasih sayang orang tua.
Baca juga: Kementerian PPPA: Kemajuan teknologi informasi picu naiknya angka TPPO
Baca juga: BP2MI bentuk relawan berantas sindikat penempatan ilegal PMI
Prijadi Santoso menuturkan relasi kuasa juga menjadi faktor terjadinya TPPO.
Budaya patriarki yang masih kuat menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender yang ditandai dengan adanya pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi, dan kekerasan terhadap perempuan.
"Kondisi perempuan yang seperti ini sangat rentan untuk dijadikan objek," katanya.
Faktor lainnya, menurut dia, minimnya pengawasan, seperti jangkauan pencatatan akta kelahiran yang masih rendah yang memungkinkan terjadinya pemalsuan umur dan identitas lainnya.
Semakin lemahnya fungsi lembaga ketahanan keluarga dan lembaga masyarakat, juga berkembangnya sikap permisif masyarakat terhadap lingkungan masyarakat di sekitarnya membuat jaringan TPPO bisa makin meluas, kata Prijadi Santoso.
Baca juga: LPSK tampung 1.297 permohonan perlindungan korban TPPO selama 2023
Baca juga: Menteri Bintang: Lawan dan akhiri segala bentuk perdagangan orang
Baca juga: Komnas Perempuan minta prinsip non-punishment bagi korban TPPO diterapkan
"Masalah ekonomi, kemudian pendidikan serta keterbatasan pengetahuan terkait informasi yang layak menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan anak dapat terjerumus ke dalam tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Apalagi dengan ditambahnya kemajuan teknologi yang tidak dibarengi dengan literasi digital yang mumpuni," kata Prijadi Santoso dalam diskusi media di Jakarta, Kamis.
Selain itu, anak-anak yang berasal dari keluarga yang kondisinya tidak optimal seperti miskin, pendidikan rendah, gaya hidup konsumtif berakibat pada salah pergaulan, baik di ranah luring maupun daring yang menyebabkan anak terjerat dalam genggaman pelaku TPPO.
Pihaknya menambahkan, dalam kasus TPPO, pelaku mendekati anak-anak yang hendak disasar dengan berbagai cara yang intinya membujuk dan menipu korban, ada yang dengan cara dipacari dengan mudah karena anak-anak haus kasih sayang orang tua.
Baca juga: Kementerian PPPA: Kemajuan teknologi informasi picu naiknya angka TPPO
Baca juga: BP2MI bentuk relawan berantas sindikat penempatan ilegal PMI
Prijadi Santoso menuturkan relasi kuasa juga menjadi faktor terjadinya TPPO.
Budaya patriarki yang masih kuat menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender yang ditandai dengan adanya pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi, dan kekerasan terhadap perempuan.
"Kondisi perempuan yang seperti ini sangat rentan untuk dijadikan objek," katanya.
Faktor lainnya, menurut dia, minimnya pengawasan, seperti jangkauan pencatatan akta kelahiran yang masih rendah yang memungkinkan terjadinya pemalsuan umur dan identitas lainnya.
Semakin lemahnya fungsi lembaga ketahanan keluarga dan lembaga masyarakat, juga berkembangnya sikap permisif masyarakat terhadap lingkungan masyarakat di sekitarnya membuat jaringan TPPO bisa makin meluas, kata Prijadi Santoso.
Baca juga: LPSK tampung 1.297 permohonan perlindungan korban TPPO selama 2023
Baca juga: Menteri Bintang: Lawan dan akhiri segala bentuk perdagangan orang
Baca juga: Komnas Perempuan minta prinsip non-punishment bagi korban TPPO diterapkan
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2024
Tags: