Riset: partisipasi masyarakat dalam pemilu 75 persen
9 Maret 2014 03:34 WIB
Aksi Damai Pemilu Massa dari Himpunan Mahasiswa Yogyakarta (Himayo) melakukan aksi Pemilu Damai Untuk Indonesia di Jl. Malioboro, Yogyakarta, Jumat (7/3). Aksi tersebut untuk mengajak seluruh lapisan masyarakat agar menyelenggarakan Pemilu 2014 dengan damai dan mereka menuntut pemerintah agar penyelenggaraan Pemilu 2014 dapat berjalan tanpa ada unsur kekerasan, intimidasi, provokasi serta politik uang. ANTARA FOTO/Noveradika ()
Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Survei Cirus Surveyors Group memprediksi tingkat partisipasi masyarakat dalam Pemilu 2014 bisa sesuai target Komisi Pemilihan Umum (KPU) yaitu 70 -- 75 persen.
"Antusiasme publik terhadap Pemilu sebenarnya cukup tinggi, bisa mencapai 90 persen," kata Direktur Eksekutif Cirus Surveyors Group Andrinof Chaniago di Jakarta, Sabtu.
Namun, dari angka tersebut, sekitar 10 persen terindikasi golput karena 5 persen di antaranya mengaku tidak akan datang ke TPS. Alasannya karena keinginan pribadi. Sementara sisa 5 persennya menyatakan golput karena banyaknya kesalahan administrasi.
"Jadi kami perkirakan tingkat partisipasi masyarakat 70-75 persen tahun ini," ujarnya.
Berdasarkan hasil riset lembaga tersebut, 94,23 persen dari 2.200 responden menyatakan akan menggunakan hak pilih dalam pemilu. Sementara 1,8 persen mengaku tidak akan memilih dan 3,97 persen menjawab tidak tahu.
Direktur Riset Cirus Surveyors Group Kadek Dwita Apriani menjelaskan tingginya antusiasme responden terhadap pemilu disebabkan oleh banyaknya wacana di media, terutama televisi.
Kendati demikian, tingginya antusiasme masyarakat, menurut dia tak seimbang dengan sosialisasi yang dilakukan penyelenggara pemilu. Pasalnya, 42,83 persen responden mengaku tidak tahu bahwa Pemilu Legislatif akan diselenggarakan pada 9 April.
"Yang mengaku tahu sekitar 57,17 persen. Makanya penyelenggara pemilu perlu mensosialisasikan lagi. Saya yakin potensi golput bisa ditekan," tuturnya.
Kadek mengatakan sosialisasi penting guna meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilu, terlebih di tengah tingginya apatisme publik.
"Karena di beberapa tempat, banyak juga orang yang memilih karena dipaksa, ada yang memobilisasi. Mereka biasanya menjaga di TPS pada H-1 atau H-2. Makanya tentu akan sangat merugikan," katanya.
Survei yang melibatkan 2.200 responden di 33 provinsi itu dilakukan dengan metode wawancara tatap muka. Survei dilakukan dalam rentang waktu 1 Februari -- 8 Maret 2014. Namun, data responden dari kegiatan wawancara dilakukan 20 -- 26 Februari 2014.
Ada pun "margin of error" sebesar lebih kurang 2,0 persen dengan tingkat kepercayaan (significant level) 95 persen.
(A062/C004)
"Antusiasme publik terhadap Pemilu sebenarnya cukup tinggi, bisa mencapai 90 persen," kata Direktur Eksekutif Cirus Surveyors Group Andrinof Chaniago di Jakarta, Sabtu.
Namun, dari angka tersebut, sekitar 10 persen terindikasi golput karena 5 persen di antaranya mengaku tidak akan datang ke TPS. Alasannya karena keinginan pribadi. Sementara sisa 5 persennya menyatakan golput karena banyaknya kesalahan administrasi.
"Jadi kami perkirakan tingkat partisipasi masyarakat 70-75 persen tahun ini," ujarnya.
Berdasarkan hasil riset lembaga tersebut, 94,23 persen dari 2.200 responden menyatakan akan menggunakan hak pilih dalam pemilu. Sementara 1,8 persen mengaku tidak akan memilih dan 3,97 persen menjawab tidak tahu.
Direktur Riset Cirus Surveyors Group Kadek Dwita Apriani menjelaskan tingginya antusiasme responden terhadap pemilu disebabkan oleh banyaknya wacana di media, terutama televisi.
Kendati demikian, tingginya antusiasme masyarakat, menurut dia tak seimbang dengan sosialisasi yang dilakukan penyelenggara pemilu. Pasalnya, 42,83 persen responden mengaku tidak tahu bahwa Pemilu Legislatif akan diselenggarakan pada 9 April.
"Yang mengaku tahu sekitar 57,17 persen. Makanya penyelenggara pemilu perlu mensosialisasikan lagi. Saya yakin potensi golput bisa ditekan," tuturnya.
Kadek mengatakan sosialisasi penting guna meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilu, terlebih di tengah tingginya apatisme publik.
"Karena di beberapa tempat, banyak juga orang yang memilih karena dipaksa, ada yang memobilisasi. Mereka biasanya menjaga di TPS pada H-1 atau H-2. Makanya tentu akan sangat merugikan," katanya.
Survei yang melibatkan 2.200 responden di 33 provinsi itu dilakukan dengan metode wawancara tatap muka. Survei dilakukan dalam rentang waktu 1 Februari -- 8 Maret 2014. Namun, data responden dari kegiatan wawancara dilakukan 20 -- 26 Februari 2014.
Ada pun "margin of error" sebesar lebih kurang 2,0 persen dengan tingkat kepercayaan (significant level) 95 persen.
(A062/C004)
Pewarta: Ade Irma Junida
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2014
Tags: