Jakarta (ANTARA) - Fenomena pelecehan menjadi perhatian khusus yang perlu dihindari agar tidak membahayakan bagi diri sendiri maupun orang sekitar. Ada banyak sekali jenis pelecehan yang dapat terjadi dalam lingkungan masyarakat di hampir di seluruh pelosok dunia, termasuk di Indonesia.

Pelecehan verbal yang belakangan ini populer di media sosial dengan istilah catcalling. Catcalling merupakan bentuk komunikasi di mana pelaku menyampaikan emosi verbal kepada korbannya, seperti bersiul, mengomentari bentuk fisik korban dengan menyerang karakteristik seksual korban.

Bentuk pelecehan verbal lainnya berupa tindakan diskriminasi gender yang kerap dialami perempuan, mulai dari lingkungan terkecil keluarga, lingkungan pekerjaan, sosial budaya masyarakat, hingga dunia politik.

Perilaku pelecehan verbal yang cukup populer dan terjadi di banyak negara adalah penguntitan atau stalking. Kisah nyata tentang penguntitan, bahkan menjadi inspirasi pembuatan film di berbagai negara.

Quora, sebuah platform tanya jawab yang memberdayakan orang-orang untuk berbagi dan mengembangkan pengetahuan dengan yang lain telah membahas mengenai pelecehan verbal sebagai topik yang menarik untuk individu dari berbagai negara berbagi pengalaman dan memahami dunia lebih baik.

Banyak dari individu, seperti Kamp Laurie dari Florida mengatakan pelecehan verbal, seperti kata-kata yang menimbulkan rasa sakit atau penderitaan mental. Sementara seseorang yang menyebutkan dirinya sebagai Anonim dari Afrika Selatan mengatakan sebagai seorang gadis kecil, sangat menyakitkan ketika terus-menerus mendengar ayah berkata,"Gadis bodoh...kenapa kamu tidak bisa seperti kakakmu, dia sangat pintar...kamu bisa belajar darinya."

Menurut sebuah kajian dari Uni Eropa, beberapa waktu lalu, seperti dikutip dari Kantor Berita Reuters bahwa perempuan adalah target utama dari tindakan ujaran kebencian di dunia maya, yang berupa bahasa-bahasa kasar, pelecehan, provokasi, hingga kekerasan seksual.

Kajian tersebut dilakukan di YouTube, Reddit, dan X —yang dulu dikenal sebagai Twitter— di empat negara Uni Eropa pada Januari-Juni 2022. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa perempuan, di seluruh platform dan dari negara-negara tersebut, menjadi target utama.

Agency for Fundamental Rights (FRA), institusi yang melakukan kajian itu, menjelaskan bahwa jumlah unggahan yang menyerang perempuan hampir tiga kali lipat dari jumlah unggahan yang menyerang orang-orang keturunan Afrika di Bulgaria, Jerman, Italia, dan Swedia, negara-negara yang menjadi tempat kajian tersebut dilaksanakan.

Menurut mereka, hasil dari kajian itu seharusnya mendorong Uni Eropa dan platform-platform media sosial untuk benar-benar memperhatikan sejumlah hal ketika memoderasi konten, semisal gender dan etnis.


Peran medsos

Tindakan pelecehan yang populer dengan istilah catcalling, pernah meramaikan media sosial di Indonesia melalui pengakuan salah seorang wisatawan di Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara, Nussa Tenggara Barat, yang mengeluh karena mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan saat berlibur. Perempuan itu mengungkapkan kekesalannya karena merasa tidak nyaman oleh gangguan dalam bentuk candaan dari lawan jenis yang tidak dikenalnya.

Sementara itu, platform TikTok, baru-baru ini mengunggah kasus pelecehan terhadap dua tamu perempuan di sebuah restoran di Jakarta Selatan yang mendapat perlakukan tidak pantas dari oknum pramusaji saat menerima tagihan untuk pemesanan makanan yang terdapat tulisan tangan berupa kata-kata tidak pantas berkonotasi seksual dan menyerang secara fisik terhadap salah satu tamu perempuan itu.

Setelah ramai di media sosial, pemilik restoran melakukan investigasi dan mengambil tindakan pemecatan terhadap oknum pramusaji tersebut sehingga mengundang pujian dari warganet.

Kasus-kasus pelecehan, khususnya verbal, layaknya seperti fenomena gunung es. Bila korban berani berbicara atau speak up tanpa rasa takut, maka kasusnya bisa menjadi viral dan mendapatkan solusi.

Namun tidak demikian, bagi sebagian orang, seperti anak-anak, khususnya remaja dan perempuan dewasa yang tidak memiliki nyali untuk mengungkapkan peristiwa tersebut. Alih-alih menulis di media sosial, mengadu kepada orang tua atau teman dekat saja merasa malu.

Belum lagi, munculnya kekhawatiran akan adanya intimidasi dari pihak terkait, baik pelaku pribadi, kelompok hingga mewakili instansi atau perusahaan yang umumnya akan bertindak resisten dan menutup-nutupi permasalahan.

Pelecehan seksual verbal dapat dikategorikan suatu delik aduan yang berpotensi sebagai perbuatan pidana. Pelecehan seksual verbal (catcalling) dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang telah memenuhi unsur-unsur, asas dalam hukum pidana, serta nilai-nilai yang terkandung di dalam masyarakat.

Pelecehan verbal dapat dikenakan tindak pidana mengacu pada UU Tindak Pidana Kekerasan SOsial (TPKS). Tindakan tersebut dapat dikenakan menurut Pasal 5 UU TPKS, pelecehan verbal dan pelecehan nonfisik lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp10 juta.

Upaya mencegah terjadinya pelecehan verbal sejatinya dimulai dari keluarga, orang tua sering kali lebih memprioritaskan mengajari anak-anak mereka tentang keamanan, keselamatan dan kesehatan, namun sayangnya, banyak yang mengabaikan pentingnya mendidik anak tentang batasan pribadi.

Psikolog anak dan remaja Ratih Zulhaqi mengatakan anak dan remaja perlu diajarkan tentang pendidikan seksual dan relasi yang sehat agar bisa membedakan yang benar dan salah dan mencegah terjadinya pelecehan seksual.

Ratih yang merupakan alumni dari Universitas Indonesia mengingatkan tentang pentingnya edukasi ini penting agar anak dan remaja mengerti sejauh mana batas privasi dirinya dan mengetahui jika situasinya sudah mengarah ke pelecehan seksual.

Selain itu, anak perlu juga diajarkan cara menjaga diri saat dalam situasi mengarah ke pelecehan seksual dengan berani bertindak tegas dengan mengungkapkan perasaan tidak nyaman seseorang.

Kepedulian masyarakat terhadap catcalling dan pelecehan verbal di tempat umum sangat minim, sehingga mengakibatkan reaksi masyarakat yang relatif apatis ketika menemukan tindakan pelecehan itu.

Bentuk pelecehan verbal agaknya paling sulit untuk ditindaklanjuti sebab bukti yang tidak cukup. Bentuk pelecehan verbal seringkali disepelekan, namun pelecehan verbal dapat menjadi tahap awal dari tindakan pelecehan yang lebih jauh lagi.