Bea Cukai masih tunggu koordinasi Kemenkes soal cukai pangan olahan
31 Juli 2024 13:34 WIB
Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan Askolani saat ditemui usai Rapat Kerja Badan Anggaran dengan Menteri Keuangan RI dan Bank Indonesia di Jakarta, Selasa (9/7/2024) (ANTARA/Bayu Saputra)
Jakarta (ANTARA) - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih menunggu koordinasi dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) soal cukai pangan olahan.
“Regulasi kan baru dibuat. Nanti pada waktunya, mekanisme akan berkoordinasi dengan Kemenkes,” kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani kepada wartawan seusai konferensi pers di Jakarta, Rabu.
Setelah koordinasi dengan Kemenkes terjalin, lanjut Askolani, Kemenkeu melalui Badan Kebijakan Fiskal (BKF) akan menyusun kajian lengkap mengenai pengenaan cukai, yang kemudian diimplementasikan oleh DJBC.
“Jadi, ada proses yang harus kami lalui. Nanti implementasinya kita tunggu dari Kemenkes,” tambahnya.
Baca juga: Kemenkes sebut urgensi cukai produk berpemanis untuk cegah PTM
Ketentuan mengenai cukai pangan olahan tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Pada Pasal 194 Ayat 4, disebutkan bahwa Pemerintah Pusat dapat menetapkan pengenaan cukai terhadap pangan olahan tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Aturan itu bertujuan untuk mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak, di mana Pemerintah Pusat menentukan batas maksimal kandungan ketiganya dalam pangan olahan, termasuk pangan olahan siap saji.
Pada ayat 2, dijelaskan bahwa penentuan batas maksimal kandungan gula, garam, dan lemak dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang pembangunan manusia dan kebudayaan dengan mengikutsertakan kementerian dan lembaga terkait.
Baca juga: GAPMMI: Edukasi konsumen lebih penting ketimbang cukai minuman bergula
Sementara itu penentuan batas maksimal kandungan gula, garam, dan lemak dilakukan dengan mempertimbangkan kajian risiko dan/atau standar internasional.
Pasal 195 Ayat 1 dalam beleid menyebutkan bahwa setiap orang yang memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan pangan olahan, termasuk pangan olahan siap saji wajib memenuhi ketentuan batas maksimum kandungan gula, garam, dan lemak yang ditetapkan serta mencantumkan label gizi termasuk kandungan gula, garam, dan lemak pada kemasan untuk pangan olahan atau pada media informasi untuk pangan olahan siap saji.
Bagi setiap orang yang memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan pangan olahan melebihi ketentuan batas maksimum kandungan dilarang melakukan iklan, promosi, dan sponsor kegiatan pada waktu, lokasi, dan kelompok sasaran tertentu.
Baca juga: Tak Sesuai Aturan, Berbagai Produk Makanan dan Rumah Tangga Dimusnahkan Pemerintah
Pemerintah juga melarang setiap orang melakukan penjualan atau peredaran pangan olahan yang melebihi ketentuan batas maksimum kandungan gula, garam, dan lemak pada kawasan tertentu.
Setiap orang juga dibatasi dan/atau dilarang menggunakan zat/bahan yang berisiko menimbulkan penyakit tidak menular.
“Regulasi kan baru dibuat. Nanti pada waktunya, mekanisme akan berkoordinasi dengan Kemenkes,” kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani kepada wartawan seusai konferensi pers di Jakarta, Rabu.
Setelah koordinasi dengan Kemenkes terjalin, lanjut Askolani, Kemenkeu melalui Badan Kebijakan Fiskal (BKF) akan menyusun kajian lengkap mengenai pengenaan cukai, yang kemudian diimplementasikan oleh DJBC.
“Jadi, ada proses yang harus kami lalui. Nanti implementasinya kita tunggu dari Kemenkes,” tambahnya.
Baca juga: Kemenkes sebut urgensi cukai produk berpemanis untuk cegah PTM
Ketentuan mengenai cukai pangan olahan tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Pada Pasal 194 Ayat 4, disebutkan bahwa Pemerintah Pusat dapat menetapkan pengenaan cukai terhadap pangan olahan tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Aturan itu bertujuan untuk mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak, di mana Pemerintah Pusat menentukan batas maksimal kandungan ketiganya dalam pangan olahan, termasuk pangan olahan siap saji.
Pada ayat 2, dijelaskan bahwa penentuan batas maksimal kandungan gula, garam, dan lemak dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang pembangunan manusia dan kebudayaan dengan mengikutsertakan kementerian dan lembaga terkait.
Baca juga: GAPMMI: Edukasi konsumen lebih penting ketimbang cukai minuman bergula
Sementara itu penentuan batas maksimal kandungan gula, garam, dan lemak dilakukan dengan mempertimbangkan kajian risiko dan/atau standar internasional.
Pasal 195 Ayat 1 dalam beleid menyebutkan bahwa setiap orang yang memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan pangan olahan, termasuk pangan olahan siap saji wajib memenuhi ketentuan batas maksimum kandungan gula, garam, dan lemak yang ditetapkan serta mencantumkan label gizi termasuk kandungan gula, garam, dan lemak pada kemasan untuk pangan olahan atau pada media informasi untuk pangan olahan siap saji.
Bagi setiap orang yang memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan pangan olahan melebihi ketentuan batas maksimum kandungan dilarang melakukan iklan, promosi, dan sponsor kegiatan pada waktu, lokasi, dan kelompok sasaran tertentu.
Baca juga: Tak Sesuai Aturan, Berbagai Produk Makanan dan Rumah Tangga Dimusnahkan Pemerintah
Pemerintah juga melarang setiap orang melakukan penjualan atau peredaran pangan olahan yang melebihi ketentuan batas maksimum kandungan gula, garam, dan lemak pada kawasan tertentu.
Setiap orang juga dibatasi dan/atau dilarang menggunakan zat/bahan yang berisiko menimbulkan penyakit tidak menular.
Pewarta: Imamatul Silfia
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2024
Tags: